Siapa Saja Mahram Kita? Bagian Kedua
Pembaca rahimakumullah,
Pada bagian pertama kita telah mengetahui siapa saja mahram kita (para wanita yang haram kita nikahi) berdasarkan kategori nasab keturunan.
Berikutnya adalah pembahasan ketegori kedua sampai keempat.
Kategori wanita-wanita mahram karena sepersusuan.
1. Ibu susuan.
2. Saudara perempuan (sepersusuan).
Sebagaimana disebutkan dalam Surah An Nisa ayat 23, ibu (susuan) menjadi mahramnya dan suami wanita yang menyusui menjadi ayah susuannya.
Jika telah terjadi status ayah dan ibu (karena penyusuan), berlaku pula hal-hal yang bercabang darinya seperti saudara kandung keduanya, orang tua maupun kakek-nenek dari keduanya, maupun keturunan (anak cucu) dari keduanya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
( يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ )
Menjadi mahram karena susuan, sebagaimana menjadi mahram karena nasab. (HR. al-Bukhari).
Maka bercabanglah mahram itu dari sisi wanita yang menyusui dan suami wanita yang menyusui tersebut.
Sebagaimana bercabang pada kerabat-kerabat. Untuk anak yang disusuinya, bercabangnya mahram itu hanya pada keturunannya saja.
Namun, dipersyaratkan bahwa penyusuan itu adalah 5 kali susuan di masa (usia anak maksimal) dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam Sunnah (Nabi).
. Mahram karena sebab pernikahan ada 4, yaitu:
1. Istri ayah kandung, dan seterusnya ke atas (istri kakek, istri dari ayah kakek, dan seterusnya, pent).
2. Istri anak kandung, dan seterusnya ke bawah (istri cucu, istri cicit, dan seterusnya, pent).
Baik mereka mendapatkan hak waris, ataupun terhalangi hak warisnya.
3. Ibu dari para istri, dan seterusnya ke atas.
Ketiga kelompok wanita tersebut menjadi mahram dengan sekedar pelaksanaan akad nikah.
4. Anak tiri perempuan, yaitu anak kandung istri (dari suami yang lain, pent), dan seterusnya ke bawah.
(Anak perempuan istri) ini tidaklah menjadi mahram hingga seorang laki-laki itu berhubungan suami istri dengan istrinya tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam (potongan) ayat ini:
{ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ }
Dan para anak tiri kalian yang berada di bawah pengasuhan kalian dari istri-istri yang kalian telah berhubungan dengannya … (QS. an Nisaa’ : 23).
Mayoritas Ulama berpendapat, bahwa firman Allah (yang artinya): “yang berada di bawah pengasuhan kalian”, itu adalah ungkapan untuk hal yang sering terjadi. Bukan yang dipahami dari zhahir ayat tersebut. Karena sesungguhnya anak tiri perempuan menjadi mahram meski tidak berada dalam pengasuhannya (saat kecil).
Namun, hal itu disebutkan pada ayat tersebut karena adanya 2 (dua) faedah:
Faedah Pertama:
Terdapat peringatan akan hikmah diharamkannya menikahi anak tiri perempuan, karena kedudukannya bagaikan anak perempuan kandung. Maka suatu hal yang sangat buruk jika diperbolehkan (menikahinya).
Faedah Kedua: Di dalam potongan ayat tersebut, terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya berkhalwat (berduaan) dengan anak tiri perempuan, dan sesungguhnya anak tiri perempuan itu kedudukannya seperti anak yang dalam pengasuhannya, seperti anak kandungnya dan semisalnya.
. Wanita yang bukan mahram namun haram dinikahi dalam penggabungan pada satu pernikahan.
Allah telah menyebutkan (larangan) menggabungkan dua perempuan kakak beradik (menjadi istri satu lelaki di satu waktu, pent).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengharamkan menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah atau bibinya dari jalur ibu.
Maka setiap dua wanita yang keduanya memiliki hubungan (kekerabatan) yang kalau seandainya salah satunya laki-laki dan yang lain wanita terhitung mahram, diharamkan digabungkan (menjadi istri satu lelaki di satu waktu, pent).
Karena hal itu bisa menjadi sebab putusnya hubungan antar kerabat dekat.
Wallahu a’lamu bish shawab
(Disadur dari Taisiir Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannan karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Si’diy).