Adab

Menjaga Nikmat Rasa Aman

Edisi: 31 || 1440H
Tema: Adab

بسم الله لرّحمان الرّحيم

Segala puji kesempurnaan hanya milik Allah ta’ala yang telah melimpahkan berbagai macam nikmat yang tak terhitung jumlahnya kepada kita. Di antara nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh-Nya adalah nikmat rasa aman. dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,

من أصبح آمنا في سربه, معافى في جسده, عنده طعام يومه,فكأمهّا حيزت له الدّنيا بحذافرها

“Barangsiapa di waktu pagi mendapati tempat tinggal dan keluarganya dalam keadaan aman, tubuhnya dalam kondisi sehat serta dia memiliki persediaan bahan makanan untuk hari itu maka seakan-akan dia telah mendapatkan dunia seluruhnya.” (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad no. 300)

Para pembaca rahimakumullah. Sungguh sangat beralasan doa yang telah dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam kepada Rabbnya,

رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًۭا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ

“Ya Allah, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang kepada Allah dan hari akhir.” (al-Baqarah: 126)

Nabi Ibrahim alaihissalam telah memohon kepada Allah ta’ala agar dianugerahkan terlebih dahulu rasa aman sebelum permohonan limpahan rezeki. Karena rasa aman adalah perkara yang sangat penting dan lebih dibutuhkan sebelum mendapatkan rezeki.

Seseorang tidak akan mungkin bisa menikmati dan merasakan rezeki yang ada tatkala dalam kondisi ketakutan dan kecemasan. Jangankan untuk merasakan dan menikmati, bahkan untuk mencari dan memperoleh rezeki itupun akan sangat kesulitan jika kondisinya tidak aman. Pada ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ

“Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (al-Baqarah: 155)

Ujian berupa rasa takuk lebih berat dibandingkan ujian berupa kelaparan. Oleh karena itu ujian rasa takut disebutkan terlebih dahulu sebelum ujian berupa kelaparan. Karena orang yang kelaparan bisa pergi untuk mencari penghilang laparnya meskipun hanya mendapatkan kulit pohon. Lain halnya dengan orang yang ketakutan, tidak bisa duduk tenang di rumah atau pun tokonya meskipun dalam keadaan kenyang. (lihat Syarh Riyadush Shalihin Ibnu Utsaimin).

Jaga Nikmat Baik-Baik

Para pembaca rahimakumullah. Kita sangat berharap agar Allah ta’ala senantiasa memberikan rasa aman kepada negeri kita ini. Marilah kita menengok sejenak kepada negara-negara yang diuji oleh Allah ta’ala dengan dicabutnya nikmat yang besar ini, betapa ragam peristiwa dan kejadian pilu yang dirasakan oleh penduduknya.

Semoga Allah ta’ala menjauhkan kita dari itu semua. Ada beberapa hal yang dapat kita tempuh agar Allah selalu memberikan dan menjaga nikmat rasa aman kepada negeri ini, diantaranya:

1. Menjalankan Tauhid dan Beramal Shalih

Allah ta’ala berfirman (artinya), “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kalian yang beriman dan yang mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa yang (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nur: 55)

2. Senantiasa Mensyukuri Nikmat Allah ta’ala berfirman,

لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“Sesungguhnya jika kalian bersyukur, maka niscaya Aku akan menambah nikmat kepada kalian. Tetapi jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat.” (Ibrahim: 7)

Allah ta’ala telah mengingatkan kaum Quraisy akan nikmat yang telah diberikan kepada mereka,

فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ

“Maka beribadahlah kalian kepada Rabb (pemilik) rumah ini (Ka’bah)! Dia yang telah memberi makan saat kalian lapar dan memberi rasa aman saat kalian ketakutan.” (al-Quraisy: 3-4)

Allah ta’ala telah menyebutkan sekaligus mengisahkan kepada kita akibat dari suatu kaum yang tidak mau mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada mereka,

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman dan tenteram, rezeki datang kepada mereka melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah menimpakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” (an-Nahl: 112)

Demikianlah sunnatullah, bahwa Allah ta’ala tidaklah mengubah keadaan suatu kaum, dari yang baik ke yang buruk atau dari yang buruk ke yang baik kecuali memang kaum itu sendiri yang menjadi sebab perubahan. Allah ta’ala berfirman,

لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

“Sesungguhnya Alla tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d: 11)

3. Sesantiasa Berjalan Bersama Penguasa dan Menaatinya dalam Kebaikan

Para pembaca rahimakumullah. Di antara sebab langgengnya rasa aman di suatu negeri adalah ketika pada penduduknya senatiasa bersinergi dengan penguasanya dalam bentuk mendengar dan taat kepada penguasa tersebut dalam perkara yang baik. Allah ta’ala telah memerintahkan,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) serta pemegang kekuasaan (pemerintah) kalian.” (an-Nisa’: 59)

Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda (artinya), “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (ajaranku) dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian …” (HR. Abu Dawud no. 3991, At-Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no. 42 dari shahabat Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahuanhu)

Bukankah kita selama ini telah menjadi saksi dari akibat dan dampak negatif tatkala prinsip mendengar dan taat kepada penguasa ini diabaikan? Bukan kesejahteraan dan keamanan yang timbul, justru malah membawa kerusakan, kecemasan serta ketakutan.

“Ketidakadilan” dan “kezhaliman” ataupun “kekurangan” penguasa -kalau memang mau diistilahkan demikian- bukan sebagai alasan bagi kita (sebagai rakyat) untuk tidak menaati mereka. Bersabar serta memberikan masukan dengan cara yang syar’i itulah yang seharusnya dilakukan. Demikian pula tidak lupa untuk mendoakan kebaikan bagi mereka.

Sungguh, jika penguasa suatu negeri dalam keadaan baik maka rakyatpun akan merasakan dan mendapatkan kebaikan pula. Mendoakan kebaikan bagi mereka juga merupakan bagian dari memberikan nasehat, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam,

الدّين النّصيحة. قلنا:لمن؟ قال: ولكتابه ولرسوله ولأئمّة المسلمين وعامّتهم

“Agama (Islam) ini adalah nasehat.” Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Kata beliau, “Untuk Allah, Kitab-Nya dan Rasul-Nya serta untuk para imam (pemimpin) kaum muslimin dan awam mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya).

Para pembaca rahimakumullah. Banyak hal yang perlu kita introspeksi bersama. Termasuk dalam permasalahan para pemimpin. Jangan salahkan siapa-siapa jika ternyata Allah ta’ala memberikan kepada kita para pemimpin yang “kurang baik”.

Karena bisa jadi semua itu disebabkan kita sebagai rakyat juga dalam kondisi yang tidak baik. Allah ta’ala hanyalah memberikan pemimpin kepada suatu kaum sesuai dengan perbuatan kaum itu sendiri. Allah ta’ala berfirman,

وَكَذٰلِكَ نُوَلِّيْ بَعْضَ الظّٰلِمِيْنَ بَعْضًاۢ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Yang demikian itu kami jadikan pemimpin sebagian orang-orang yang zhalim bagi sebagian yang lain disebabkan paerbuatan yang mereka lakukan.” (al-An’am: 129)

Dikisahkan bahwa suatu hari datang seseorang yang berpaham khawarij kepada shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahuanhu. Orang ini berkata, “Ada apa dengan orang-orang ini? Mereka senantiasa mengkritikmu sekarang dan tidak mengkritik Abu Bakar dan Umar pada masa-masa keduanya.” Maka Ali radhiallahuanhu pun menjawab, “Hal tersebut karena rakyat pada masa keduanya adalah aku dan orang-orang semisalku. Adapun sekarang, rakyat pada masaku adalah kamu dan orang-orang semacam dirimu.” (lihat Syarh Riyadhus Shalihin ibnu Utsaimin).

Wallahu a’lam bishshawab. Semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button