BERSAHUR DAN BERIFTHAR (BERBUKA) MENURUT TUNTUNAN RASULULLAH
Sahur dan ifthar merupakan dua prosesi yang cukup berarti dalam keberlangsungan shaum seseorang. Ia tidak hanya sekedar makan dan minum, namun ia justru sebagai ibadah yang membedakan antara kita (kaum muslimin) dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashoro). Sebagaimana yang diriwayatkan oleh shahabat Amr bin Ash bahwa Rasulullah bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ اْلكِتابِ أَكْلَة السَّحَر
“Pembeda antara shaum kita dengan shaumnya Ahlul Kitab (adalah) adanya makan sahur.” (H.R Muslim)
A. TUNTUNAN RASULULLAH DALAM BERSAHUR
Perlu kita ketahui bahwa makan sahur adalah sesuatu yang disunnahkan dan mengandung barokah yang banyak sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur terdapat barokah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id menyimpulkan bahwa barakah makan sahur ada yang bersifat kebaikan duniawi dan ada yang bersifat kebaikan ukhrawi. (Fathul Baari hadits no. 1923)
Di antara barakah tersebut adalah :
1. Ittiba’ As-Sunnah (mengikuti jejak Rasulullah ),
2. Membedakan diri dengan Ahlul Kitab,
3. Memperkuat diri dalam ibadah shaum,
4. Mencegah timbulnya akhlak yang jelek seperti marah dan lainnya dikarenakan rasa lapar,
5. Membantu seseorang untuk bangun malam dalam rangka berdzikir dan berdo’a di waktu yang mustajab,
6. Membantu seseorang untuk niat shaum bagi yang lupa berniat sebelum tidur.
1. Mengakhirkan Sahur dan Jarak (Waktu) antara Sahur dengan Shalat Shubuh
Mengakhirkan sahur termasuk sunnah Rasulullah . Hal ini tentunya sangat berbeda dengan kebiasaan kebanyakan kaum muslimin yang bersahur jauh sebelum munculnya fajar shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shalat shubuh). Shahabat Anas bin Malik dan Zaid bin Tsabit berkata :
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِي ثُمَّ قَامَ إلى الصَّلاةِ قُلْتُ : كمْ كانَ بَيْنَ الأذانِ وَالسَّحُورِ ؟ قال : قَدْرَ خَمْسِيْنَ آيَــة
“Kami makan sahur bersama Nabi kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh, saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya: berapa jarak antara adzan dengan sahur Beliau menjawab: kurang lebih sepanjang bacaan lima puluh ayat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Kapan waktu akhir makan sahur dan bagaimanakah imsak menurut syariat Islam
Waktu terakhir untuk makan sahur telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu dengan terbit dan jelasnya fajar shodiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shubuh) sebagaimana firman Allah :
وَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكمُ الخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الفـَجْرِ
“Silahkan kalian makan dan minum sampai nampak dengan jelas cahaya fajar.” (Al-Baqarah : 187)
Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah:
إنَّ بلاَلاً كَانَ يُؤَذنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لا يُؤَذنُ حَتَّى يَطلُعَ الفَجْرُ
“Sesungguhnya Bilal beradzan di malam hari, maka berkata Rasulullah : Silahkan kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum beradzan, sesungguhnya dia tidak beradzan kecuali setelah terbit fajar.” (H.R Al Bukhari )
Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan di atas, maka imsak tidak ada tuntunannya dari Rasulullah , sehingga walaupun pengumuman imsak telah dikumandangkan , sedangkan fajar shodiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shubuh) belum tampak, maka masih di perbolehkan bagi kaum muslimin untuk makan sahur.
3. Bersahur dengan Tamr (Kurma)
Sebaiknya dalam hidangan sahur terdapat tamr karena Nabi bersabda:
نِعْمَ سَحُوْرُ المُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik makanan sahur seorang mu’min adalah tamr”. (H.R. Abu Dawud dan yang lainnya, lihat Ash Shohihah no. 562)
B. TUNTUNAN RASULULLAH DALAM BERIFTHAR
1. Kapan Diperbolehkan Berifthar
Al-ifthar boleh dilakukan bila telah masuk waktu malam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah shaum sampai malam hari.” (Al-Baqarah: 187)
Yang mana ayat ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah bahwa hal itu terjadi apabila telah muncul kegelapan malam dan telah hilang cahaya siang serta tenggelamnya matahari, sebagaimana hadits Abdullah bin Abu Aufa berkata:
كنَّا مََعَ رَسُولِ اللهِ فِي سَفَرٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَلمَّا غَابَتِ الشَّمْسُ قال يَا فُلانُ اِنْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا قال يَا رَسُولَ اللهِ إنَّ عَلَيْكَ نـَهَارًا قال اِنْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا فَنَزَلَ فَجَدَحَ فَأتَاهُ بِهِ فَشَرِبَ النَّبِي صلى الله عليه و سلم ثُمَّ قال بِيَدِهِ : إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَهُناَ وَجَاءَ اللـَّيْلُ مِنْ هَهُنـَا فَقَدْ أفْطرَ الصَائِمُ
“Kami bersama Rasulullah di dalam sebuah perjalan di bulan Ramadhan, ketika matahari telah terbenam, beliau berkata (kepada salah seorang shahabatnya): Wahai fulan turunlah (dari kendaraanmu) dan siapkan makanan untuk kami. Shahabat tadi Berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau masih di siang hari. Berkata Rasulullah turunlah dan siapkan makan untuk kami! Kemudian orang tersebut turun lalu mempersiapkan makanan dan menghidangkannya kepada Rasulullah , beliau pun kemudian minum seraya berkata sambil menunjuk dengan tangannya: “Jika telah tenggelam matahari dari arah sini (barat) dan telah muncul kegelapan malam dari arah sini (timur) maka telah boleh berbuka bagi orang yang shaum.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
2. Dengan Makanan Apa Seorang Berifthar
Sebaiknya bagi seorang yang shaum agar berifthar (berbuka) dengan ruthob (kurma setengah matang), kalau tidak mendapatkannya boleh dengan tamr (kurma yang masak), kalau tidak ada boleh dengan air, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik, bahwasanya beliau bersabda:
كَانَ رَسُولُ اللهِ يُفْطِرُ عَلى رُطبَاتٍ قَبْلَ أنْ يُصَلِّيَ فَإنْ لَمْ يَكُنْ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فإنْ لَمْ يَكـُنْ تَمَرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Bahwasanya Rasulullah dahulu berbuka (berifthar) sebelum maghrib dengan beberapa ruthob, jika tidak mendapatinya maka dengan kurma yang sudah matang, kalau tidak mendapatinya maka dengan meneguk air beberapa tegukan.”
(Shohih Sunan Abu Dawud hadits no. 2356)
3. Doa Ketika Berifthar
Telah disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim dari shahabat Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah bila berifthar mengucapkan:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلّتِ اْلعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله ُ
“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan tercatatlah al-ajr (balasannya) insya Allah. (Shahih Sunan Abu Dawud (no.2357).
4. Menyegerakan Berifthar
Menyegerakan ifthar merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Rasulullah dan dicontohkannya sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abu Aufa yang telah lalu. Dan hadits Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطرَ
“Kaum muslimin akan selalu berada dalam kebaikan (kemuliaan) selama mereka masih menyegerakan al-ifthar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al Imam Ibnu Daqiq Al-Id menegaskan bahwa penundaan al-ifthar merupakan kebiasaan kelompok sesat Syi’ah, yang mana mereka selalu menunggu munculnya bintang-bintang di langit (sebagai tanda awal berifthar bagi mereka -pen) dan ini menyelisihi sunnah Rasulullah. Sebagaimana hadits dari sahabat Sahl bin Sa’d:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُومَ
“Umatku akan senantiasa di atas sunnahku, selama mereka tidak menunda iftharnya sampai munculnya bintang-bintang.” (H.R. Ibnu Hibban, lihat Fathul Bari hadits no. 1957)
HADITS HADITS PALSU ATAU LEMAH YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
ثَلاَثَةٌ لَيسَ عَلَيْهِمْ حِسَابٌ فِيْمَا طَعِمُواْ إِذَا كَانَ حَلاَلاً ، الصَّائِمُ وَ الْمَتَسَحِّرُ وَ المُرَابِطُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Tiga golongan yang tidak ada hisab (dosa) atas mereka dari apa-apa yang mereka santap selama dari yang halal, yaitu: orang yang shaum (saat berifthar), orang yang bersahur, dan orang yang ribath (jaga) di jalan Allah”. (H.R Ath Thabrani)
Keterangan:
Hadits ini madhu’ (palsu), karena ada seorang rawi yang dikenal sebagai pendusta yaitu Abush Shabah.
Asy Syaikh Al Albani berkata: “Diantara pengaruh buruk dari hadits ini adalah apa yang terjadi pada kebanyakan kaum muslimin saat ini. Tidaklah mereka berhenti dari berifthar kecuali menjelang sholat isya’. Hal ini dikarenakan tersibukkan oleh banyaknya hidangan ifthar dari berbagai macam makanan, minuman, buah-buahan dan yang lainnya !, Bagaimana tidak, karena ada hadits palsu: “Tiga golongan yang tidak ada hisab (dosa) atas mereka dari apa-apa yang mereka santap … (seperti hadits diatas –pen)”. Dengan kebiasaan seperti ini akhirnya mereka terjatuh ke dalam dua perbuatan yang dilarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah yaitu berlebihan (di saat berifthar) dan mengakhirkan shalat maghrib.
Rasulullah bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ مَا لَمْ يُؤَخِّرُواْ المَغْرِبَ إِلَى أَنْ تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ
“Senantiasa umatku dalam keadaan baik atau diatas fitrah selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang”.
Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi. (Lihat Silsilah Adh Adha’ifah no. 631, karya Asy Syaikh Al Albani)
Wallahu a’lam bish – shawab