Siroh

Ummu Salamah radhiallahuanha Keteguhan Hati Melahirkan Kemuliaan

Edisi: 24 || 1439H

Tema: Siroh

Setiap hamba tentunya mendambakan kebahagiaan mengiringi perjalanan hidupnya. Masing-masingnya mempunyai pilihan dengan cara apa dan bagaimana dia meraih kebahagiaan. Sudah barang tentu, kebahagiaan akan diraih dengan mengikuti bimbingan Allah dan Rasul-Nya.

Inilah beberapa bagian dari alur kehidupan Ummu Salamah. Jiwanya tenang dengan keimanan. Seorang wanita shalihah yang menjelma sebagai sosok istri yang setia lagi penuh ketaatan. Membangun kecintaan di atas kecintaannya kepada Allah ta’ala.

Mengenal Ummu Salamah

Namanya adalah Hindun bintu Abi Umayyah la-Makhzumiyyah. Seorang wanita jelita yang memiliki kedudukan dan kemuliaan, lagi terjaga kehormatannya. Muslimah yang taat serta tekun beribadah. Beliau adalah sepupu Khalid bin al-Walid radhiallahuanhu sekaligus Abu Jahl.

Sebelum menjadi istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, Ummu Salamah adalah istri dari shahabat Abu Salamah radhiallahuanhu. Sepasang suami istri yang saling mencintai karena Allah ta’ala. Keduanya masuk Islam sejak awal-awal masa keislaman, serta turut berhijrah ke Habasyah. Demikian pula, keduanya termasuk di antara kaum muhajirin di kota Madinah.

Kehidupannya Bersama Abu Salamah

Abu Salamah bin Abdil Asad al-Makhzumi adalah seorang lelaki yang shalih. Beliau adalah saudara susuan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bersamanya, Ummu Salamah melaui hari-hari sebagai seorang istri yang penuh kesetiaan. Keduanya berhijrah ke Habasyah, dan di sana Allah ta’ala mengaruniakan anak kepada mereka. Setelahnya, mereka pun kembali ke Makkah.

Hingga datanglah perintah hijrah ke Madinah. Abu Salamah memutuskan untuk pergi berhijrah. Beliau pun menaiki untanya, membawa serta sang istri dan Salamah, putranya. Tatkala mereka mulai beranjak, sekelompok orang dari Bani al-Mughirah (keluarga besar Ummu Salamah) melihatnya.

Mereka pun tidak rela Abu Salamah membawa pergi wanita mereka. Para kerabat Ummu Salamah ini menahan Ummu Salamah dari kepergiannya. Ternyata perbuatan mereka diketahui pada kerabat Abu Salamah dari keluarga besar Bani Abdil Asad.

Demi melihat apa yang terjadi, mereka pun tidak rela Salamah, putra kabilah mereka berada di kabilah ibunya. Sanak kerabat Abu Salamah lalu menarik Salamah dan membawanya. Sementara itu, Ummu Salamah harus tinggal bersama keluarga besarnya, terpisah dari suami dan anaknya.

Demi memenuhi perintah Rabbnya Abu Salamah melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah.

Dalam kesedihannya, Ummu Salamah senantiasa pergi di pagi hari ke al-Abthah, pinggiran kota Makkah. Di sana beliau duduk dan menangis. Begitulah keadaannya hingga berlalu waktu kira-kira setahun lamanya.

Suatu hari, seseorang dari Bani al-Mughirah menyaksikan keadaan Ummu Salamah ini dan merasa iba. Dia lalu menyeru kepada keluarga besar Bani al-Mughirah, membangkitkan rasa belas kasihan mereka terhadap Ummu Salamah yang terpisahkan dari suami dan putranya.

Maka, para kerabat Ummu Salamah kemudian memberikan kebebasan baginya untuk pergi mencari suaminya. Bersama dengan itu, Bani Abdil Asad juga meyerahkan Salamah.

Wanita mulia ini kemudian menaiki tunggangannya, membawa serta putranya di pangkuannya. Beliau bermaksud menemui sang suami di Madinah. Tak seorang pun menyertai keduanya. Beliau mencukupkan dengan siapapun yang akan ditemuinya nanti, untuk bisa menyampaikan kepada suaminya.

Tatkala Ummu Salamah tiba di daerah Tan’im, beliau bertemu dengan Utsman bin Thalhah. Allah ta’ala memberikan pertolongan kepada Ummu Salamah melalui keberadaan Utsman bin Thalhah. Lelaki tersebut bermurah hati mengantarkan dan menyertai kepergian wanita ini menuju suaminya di Madinah.

Utsman bin Thalhah lalu mengambil tali kekang unta tunggangan Ummu Salamah dan menuntunnya. Setiap kali singgah di suatu tempat, Utsman menderumkan unta tersebut, menurunkan Ummu Salamah dan putranya. Lalu,dia sendiri menuju sebuah pohon dan berbaring di bawahnya.

Ketika mendekati waktu sore, Utsman pun menaiki unta dan membawanya mendekat ke tempat Ummu Salamah, lalu dia menjauh agar Ummu Salamah menaikinya. Jika Ummu Salamah sudah berada di atas untanya, barulah Utsman datang dan mengambil tali kekangnya.

Dia kembali menuntun unta tersebut hingga tiba di persinggahan berikutnya. Demikianlah yang selalu diperbuat Utsman hingga akhirnya mereka tiba di Madinah.

Ketika Utsman melihat perkampungan tempat Abu Salamah berada, dia pun mengatakan kepada Ummu Salamah, “Suamimu berada di perkampungan ini.” Maka masuklah Ummu Salamah ke kampung tersebut dengan begitu gembira. Utsman kemudian berbalik kembali ke kota Makkah.

Demikianlah Ummu Salamah melanjutkan kehidupannya bersama suami yang dicintainya sekaligus menjadi wanita pertama yang berhijrah ke Madinah. Dalam rumah tangganya bersama Abu Salamah, beliau melahirkan anak-anak; Umar, Salamah, Zainab, dan Durrah.

Suatu hari, Ummu Salamah berkata kepada suaminya,

“Telah sampai kepadaku bahwasannya tidaklah seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, yang mana dia termasuk ahlul jannah, kemudian dia tidak menikah lagi, melainkan Allah akan menyatukan keduanya di jannah. Maka kemarilah, berjanjilah untuk tidak menikah lagi sepeninggalku dan akupun tak akan menikah sepeninggalmu.”

Abu Salamah justru mengatakan, “Apakah engkau mau menaatiku?” “Tentu!”, jawab Ummu Salamah. Abu Salamah melanjutkan, “Apabila aku mati, maka menikahlah! Ya Allah, berikanlah rezeki kepada Ummu Salamah sepeninggalku berupa seorang lelaki yang lebih baik dariku, yang tidak akan membuatnya bersedih dan tidak pula menyakitinya.”

Dari sang suami, Ummu Salamah mendengar hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ucapan ketika seorang ditimpa musibah,

إناّ لله وإناّ إليه راجعون, اللّهم أجرني في مصيبتي, وأخلف لي خيرا منها

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Allah, berilah pahala untukku pada musibah yang menimpaku ini dan gantikanlah untukku dengan yang lebih baik darinya.”

Suatu ketika, tibalah waktunya Abu Salamah menghadap Rabbnya. Beliau meninggal karena luka parah yang beliau dapatkan ketika perang uhud. Terlintas dalam pikiran Ummu Salamah dengan kepergian suami yang dicintanya, “Siapa kiranya orang yang lebih baik dari Abu Salamah, seorang yang telah berhijrah di awal waktu?!”

Namun, Allah ta’ala meneguhkan hatinya hingga beliau pun mengucapkan doa sebagaimana yang beliau dengar dari suaminya. Maka pada saatnya, Allah ta’ala benar-benar menggantikan seorang yang lebih baik dari Abu Salamah untuknya.

Hari-Hari bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Pada bulan syawwal tahun 4 H, setelah Ummu Salamah menyelesaikan masa ‘iddahnya, datanglah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan pinangan. Sebelumnya, Abu Bakr dan Umar radhiallahuanhuma telah lebih dulu menyampaikan pinangan.

Namun, Ummu Salamah belum berkenan menerima. Ummu Salamah adalah seorang wanita yang demikian dewasa. Kehidupan mengajari dan menjadikannya sosok yang penuh pertimbangan.

Beliau tidak serta-merta menerima pinangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sampai beliau menjelaskan tentang keadaan dirinya; seorang wanita yang telah berumur, memiliki anak-anak, dan sosok yang pencemburu.

Sampai akhirnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menenangkan hati Ummu Salamah, maka diterimalah pinangan tersebut.

Pada perjanjian Hudaibiyyah, kembali tampak kedewasaan Ummu Salamah dan kematangannya dalam berpikir. Seusai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari perjanjian, beliau menyeru kepada shahabat agar bangkit untuk menyembelih dan mencukur rambut mereka.

Namun para shahabat yang sedang diliputi kesedihan seolah tak menghiraukan seruan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengulangi sampai tiga kali. Ketika tak ada seorangpun yang bangkit, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masuk menemui Ummu Salamah dan mengeluhkan kejadian ini.

Maka sang istri mengutarakan sarannya, “Wahai Nabi Allah, apakah Anda menyukai hal itu! Keluarlah, lalu janganlah Anda berbicara sepatah kata pun kepada mereka sampai Anda menyembelih sembelihan dan memanggil tukang cukur untuk mencukur Anda.”

Bangkitlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengikuti saran istrinya. Melihat apa yang diperbuat Rasulullah, para shahabat pun bangkit lalu menyembelih sembelihan mereka, kemudian saling mencukur satu sama lain.

Sebagai istri Nabi, Ummu Salamah mewujudkan kecintaannya kepada sang suami dalam banyak hal, di antaranya: beliau rela memerdekakan Safinah, budak laki-laki miliknya dengan syarat; senantiasa melayani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sepajang hidupnya. Subhanallah.

Akhir Kehidupan di Dunia

Sepeninggal Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, Ummu Salamah menjalani sisa usianya sebagai Ummul Mukminin (Ibunda Kaum Mukminin) dengan penuh kemuliaan. Beliau meriwayatkan banyak hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Pada tahun 61H, Allah ta’ala berkehendak mewafatkan wanita mulia ini. Beliau meninggal di usia 90 tahun. Ummu Salamah menjadi yang terakhir meninggal di antara para istri Nabi. Semoga Allah ta’ala meridhainya.

Para pembaca yang mulia, tiada yang mampu menerka, kapan musibah itu terjadi, kapan pula mereda. Manusia memang bisa berharap dan berencana, tapi kadang hidup bergulir ke arah yang tidak disangka-sangka sesuai kehendak Sang Pencipta.

Tidak ada yang mengetahui akan adanya perubahan, kecuali Dzat yang menciptakan kehidupan. Keteguhan hati akan janji Allah dan Rasul-Nya menjadi jalan keluarnya, berupa pertolongan serta ganjaran-Nya. Disadari, bahwa ada banyak hikmah yang bisa dipetik di balik setiap musibah yang terjadi.

Tak perduli betapa deras airnya, hujan akan selalu berhenti. Setiap tetes air mata dan luka akan mengering, matahari akan selalu terbit dan tenggelam setiap harinya, sampai batas waktu yang ditentukan-Nya.

Wallahu a’lam bishshawwab

Penulis: al-Ustadz Muhammad Hadi hafizhahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button