Proses Turunnya Al-Qu’ran dan Perayaan Malam Nuzulul Qur’an

Nuzulul Quran (turunnya al-Quran) adalah keyakinan dasar umat Islam, sekaligus interpretasi pemahaman salaf bahwa al-Quran itu turun dari Allah yang Maha Tinggi di atas langit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
{كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ} [ص: 29]
” Kitab ( Al Qur’an )yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Shad: 29).
Masyhur di kalangan masyarakat kita adanya peringatan malam Nuzulul Qur’an. Sebenarnya apa maksud dari Nuzulul Qur’an?
Nuzulul Qur’an yang mereka maksudkan adalah turunnya Al-Qur’an ke langit dunia, bukan turunnya Al-Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara bertahap, sesuai dengan peristiwa yang dialami Nabi selama masa kenabian. Untuk itu, perlu kita memahami terlebih dahulu proses turunnya Al-Qur’an itu sendiri.
Fase-fase Turunnya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an)
Proses turunnya Al-Qur’an melalui beberapa fase. Secara ringkas, ada dua fase yang penting untuk kita pahami, yaitu: fase turunnya Al-Qur’an sekaligus secara utuh, dan fase turunnya Al-Qur’an secara parsial dan bertahap.
Awal Mula Turunnya Al-Qur’an
Para ulama sepakat, bahwa surat Al-’Alaq ayat 1-5 adalah yang pertama kali turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dikisahkan di dalam hadits sahih, bahwa awal kali Nabi mendapat wahyu ketika beliau beribadah di dalam Goa Hira. Beliau didatangi malaikat Jibril, didekap dan dibacakan lima ayat pertama surat Al-’Alaq. (HR. Al-Bukhari [3]).
Tidak diketahui secara pasti tanggal kejadian ini.
Fase Turunnya Al-Qur’an Secara Bertahap
Turunnya Al-Qur’an secara bertahap adalah fase yang dirasakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama menjalani masa kenabian dan disaksikan langsung oleh para Sahabat. Fase ini disebut dengan fase tasyri’ (masa syariat diturunkan).
Allah Ta’ala telah menyebutkan hal ini di dalam Al-Qur’an, ketika membantah orang-orang kafir yang mempersoalkan turunnya Al-Qur’an secara bertahap. Allah Ta’ala berfirman:
{وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا} [الفرقان: 32]
“Orang-orang kafir berkata, ” Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah (Al-Qur’an Kami turunkan secara bertahap) supaya Kami memperteguh hatimu ( Muhammad ) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil ( berangsur-angsur, perlahan dan benar ). (QS. Al-Furqan: 32).
Fase Turunnya Al-Qur’an Secara Utuh
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh shahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala:
{إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ} [القدر: 1]
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadar: 1).
Beliau menyatakan, “Allah menurunkan Al-Qur’an pada malam lailatul qadar secara utuh di langit dunia, di tempat munculnya bintang-bintang.” (HR. Al-Hakim [2/222]).
Dinukilkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa Al-Qur’an termaktub dalam al-Lauhul Mahfuzh, kemudian Allah turunkan ke Baitul ‘Izzah, sebuah rumah yang menyerupai Ka’bah di bumi, berada di langit dunia, melalui para malaikat Safarah (pemegang catatan takdir).
Namun, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan mengenai fase ini:
Turunnya al-Qur’an secara utuh tidak bertentangan dengan awal mula turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, tidak menutup kemungkinan dua kejadian tersebut terjadi bersamaan di malam lailatul qadar.
Turunnya al-Qur’an secara utuh tidak berkaitan dengan hukum syar’I yang berlaku ketika itu. Akan tetapi hanya menunjukkan keutamaan umat Islam dan kemuliaan Al-Qur’an itu sendiri, serta keistimewaannya dibandingkan kitab-kitab suci yang lain.
Proses turunnya al-Qur’an ke langit dunia merupakan perkara gaib yang tidak mampu dijangkau nalar manusia.
Malaikat Jibril mendengar ayat Al-Qur’an secara langsung dari Allah Subhanahu wa ta’ala, kemudian disampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak sebagaimana yang dipahami sebagian orang, bahwa Jibril mengambil Al-Qur’an di Baitul ‘Izzah!
Kapan Malam Nuzulul Qur’an?
Para Ulama berselisih pendapat tentang hal ini. Pendapat yang masyhur dan dijadikan pegangan oleh orang-orang yang merayakan Nuzulul Qur’an adalah tanggal 17 Ramadhan. Pendapat ini merujuk kepada firman Allah Ta’ala tentang perang Badar Kubro:
إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَما أَنْزَلْنا عَلى عَبْدِنا يَوْمَ الْفُرْقانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعانِ
“Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami ( Muhammad ) pada hari Furqan (pembeda), yaitu pada hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al-Anfal: 41)
Hari al-Furqan yang dimaksud adalah hari peperangan Badar, yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah, menurut sebagian ahli sejarah seperti Ibnu Hisyam. (Sirah Ibnu Hisyam, hlm 240).
Pendapat yang lain menyatakan tanggal 24 Ramadhan, merujuk kepada riwayat Imam Ahmad. Pendapat ini selaras dengan ayat-ayat yang menunjukkan turunnya al-Qur’an pada malam lailatul qadar yang terjadi di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. (Tafsir Ibnu Katsir [2/58]).
Apakah kita merayakan malam Nuzulul Qur’an?
Dengan adanya perbedaan pendapat tentang kepastian kapan terjadi nuzulul qur’an, tentu membuat hati merasa ragu untuk memastikan kapan turunnya Al Qur’an.
Meskipun bagi orang-orang yang merayakannya, perayaan nuzulul qur’an adalah mengambil nilai-nilai keagungan Al-Qur’an dan hasungan untuk senantiasa membaca dan mentadaburinya, sehingga tidak ada keharusan untuk disesuaikan dengan tanggalnya yang benar!
Akan tetapi, menurut keyakinan kami, bahwa mengadakan perayaan di luar dua hari raya yang telah ditetapkan Islam (Idul Fithri dan Idul Adha) hukumnya adalah tidak diperbolehkan. Meskipun ada kepastian tanggal kejadiannya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang-orang Anshar dari dua hari raya mereka, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا ، وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Dahulu kalian punya dua hari raya yang kalian bermain-main padanya. Sekarang, Allah telah gantikan dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. An-Nasa’I [1/1555]).
Para shahabat juga sama sekali tidak ada yang merayakannya. Belum pernah kami ketahui ada satu nukilan pun dari shahabat, tabi’in atau generasi setelah mereka yang membuat perayaan ini.
Padahal mengikuti jejak para shahabat adalah jalan lurus yang diwasiatkan oleh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah:
“Wajib bagi kalian mengikuti sunahku dan sunah para khulafa’ rasyidin setelahku. Gigit sunah itu kuat-kuat dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati dari perkara bid’ah (dalam agama), sebab seluruh bid’ah itu sesat.” (HR. At-Tirmidzi [2676]).
Semoga Allah memberi hidayah dan taufiknya kepada kaum muslimin.