Siroh

Az-Zubair bin al-‘Awwam Kilas Balik dari Sebuah Perjuangan

Az-Zubair bin al-'AwwamJiwa kesatria menjadi sifat kesempurnaan seorang laki-laki. Keberanian, ketangguhan, dan ketegasan adalah ciri pribadi muslim sejati. Betapa mulia seorang yang kisah hidupnya sarat akan perjuangan, pengorbanan dalam laga jihad fi sabilillah. Kesatria yang kokoh di atas keteguhan iman. Inilah az-Zubair bin al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Shahabat mulia, mengumpulkan hampir seluruh keutamaan Islam. Keberanian ibarat pakaian yang begitu lekat pada pribadinya. Beliau kerap terlibat dalam pertempuran demi pertempuran. Jihad telah menjadi amalan besar yang senantiasa mewarnai perjalanan hidupnya.

Mengenal Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu
Berkunyah dengan Abu ‘Abdillah. Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari bibi beliau, Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib. Seorang yang berkulit coklat, memiliki postur tubuh yang seimbang, berperawakan tinggi, sampai-sampai ketika beliau menunggangi kuda kaki beliau menyentuh tanah. Berjenggot tipis, demikian pula dengan kedua pipinya. Banyak bulu rambut di tubuhnya. Beliau dilahirkan di tahun yang sama dengan kelahiran ‘Ali, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Sa’d bin Abi Waqqash ridwanullah ‘alaihi ajmain. Pada usia delapan tahun, az-Zubair radhiyallahu ‘anhu masuk Islam. Dalam keadaan yatim, Shafiyyah mendidiknya dengan pendidikan yang keras. Wanita mulia ini berperan besar menjadikan az-Zubair sosok yang tangguh dan pemberani. Suatu ketika sebagian orang mempertanyakan sikap kerasnya terhadap putranya yang masih belia, maka berkatalah sang Ibu, “Aku memukulnya tidak lain agar kelak dia mampu mengerahkan dan mengendalikan pasukan yang menggemparkan.”

Keutamaannya di Dalam Islam
Beliau radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan banyak keutamaan dalam keislamannya. Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu termasuk dalam as-Sabiqunal Awwalun, yaitu kalangan shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali masuk Islam. Beliau masuk Islam melalui ajakan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Di usianya yang baru dua belas tahun, beliau menjadi orang yang pertama kali menghunuskan pedang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika itu tersiar berita bohong tentang penangkapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh musyrikin Makkah. Keluarlah az-Zubair radhiyallahu ‘anhu yang masih belia dengan pedang di tangannya. Sampai akhirnya beliau menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi bertanya, “Ada apa denganmu wahai Zubair?” Beliau menyampaikan kepada Rasul dan berkata, “Aku datang untuk melukai dengan pedangku ini siapa yang menangkapmu.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan untuknya dan pedangnya. Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu turut berhijrah bersama para shahabat dua kali, hijrah ke Habasyah dan ke Madinah. Di Madinah, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan beliau dengan Salamah bin Salaamah radhiyallahu ‘anhu. Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu juga salah satu dari al-‘Asyarah al-Mubasysyarun bil Jannah, yaitu sepuluh shahabat yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan masuk Jannah. Di akhir masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau juga terpilih menjadi anggota Ahlusy Syura (enam shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipilih ‘Umar untuk menentukan pengganti beliau sebagai khalifah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada bukit Hira’ yang sedang bergoncang, “Tenanglah Hira’, tidaklah berada di atasmu melainkan seorang Nabi, Shiddiq, dan Syahid.” Ketika itu az-Zubair turut berada di atasnya bersama beberapa shahabat yang lain.

Sepak Terjang dalam Kancah Jihad
Di usia tujuh belas tahun, beliau radhiyallahu ‘anhu telah mengawali pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelahnya, beliau tak pernah luput dari pertempuran-pertempuran berikutnya. Bersamanya ada sebuah pedang besar yang berlapis perak.
Pada perang Badr, beliau radhiyallahu ‘anhu menjadi salah satu dari dua penunggang kuda. Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu berada di sayap kanan, sementara di sayap kiri adalah al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu beliau mengenakan sorban berwarna kuning, lalu turunlah para malaikat penolong dengan penampakan sebagaimana az-Zubair kala itu. Kisah kepahlawanan beliau kembali mencuat di perang Uhud. Pada hari itu pembawa panji kaum musyrikin bernama Thalhah bin Abi Thalhah menantang adu tanding. Pasukan Islam tampak menghindar darinya. Maka majulah az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, beliau meloncat hingga naik di atas unta tunggangan Thalhah. Lalu beliau melemparkan Thalhah hingga tersungkur, kemudian secepat kilat menebasnya dengan pedang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyanjung az-Zubair radhiyallahu ‘anhu karenanya. Pada perang Khandaq, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta di antara para shahabat yang sanggup mencari berita tentang Bani Quraidhah. Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu tampil, menyambut permintaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memacu kudanya hingga datang kembali membawa berita. Untuk kedua kalinya, kembali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta di antara mereka untuk hal yang sama. Lagi-lagi beliau menyanggupi dan pergi. Hingga ketiga kalinya hal serupa terulang, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Setiap nabi memiliki hawari (penolong), dan hawari-ku adalah az-Zubair.” Ketika perang Khandaq berkecamuk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan sebutan ayah dan ibunya untuk az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru, “Panahlah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu!” Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu turut pula dalam peristiwa Hudaibiyah. Kemudian juga pada perang Khaibar. Masih bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa Fathu Makkah, az-Zubair memasuki Makkah dengan membawa dua panji perang. Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pula, az-Zubair menyuguhkan aksi-aksi heroik di front jihad pada perang Hunain, Thaif, dan Tabuk. Bahkan, hampir tidak ada satu pun anggota tubuhnya melainkan terdapat luka padanya dalam pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di masa Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, beliau terjun ke medan perang Yarmuk. Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu menjadi salah satu penunggang kuda. Beberapa jagoan perang berkumpul di hari itu dan mengajaknya maju menyerbu barisan Romawi. Az-Zubair berkata, “Kalian tidak akan mampu bertahan.” “Tentu kami mampu.” jawab mereka. Maka majulah mereka, dan tatkala mereka menggempur barikade pasukan Romawi mereka pun mundur, hanya az-Zubair radhiyallahu ‘anhu seorang diri yang terus menerobos barisan Romawi hingga keluar dari sisi yang lain. Beliau lalu kembali ke posisi pasukan Islam. Para pendekar itu pun datang kedua kalinya dengan tantangan serupa. Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu kembali beraksi sebagaimana kali yang pertama, hingga beliaupun mendapat satu luka menganga di tengkuknya. Demikian pula pada peristiwa penaklukan Mesir. Ketika berlangsung pengepungan para mujahidin terhadap benteng pertahanan musuh di hari keempat pertempuran, az-Zubair radhiyallahu ‘anhu kembali mengambil perannya. Beliau bersama pasukannya memanjat dinding benteng, hingga aksinya tersebut membuat musuh lari keluar dari gerbang benteng dan meminta perdamaian. Demikian penggalan-penggalan perjalanan hidup az-Zubair radhiyallahu ‘anhu yang sarat dengan nuansa perjuangan. Luka-luka di tubuhnya seolah mengisahkan perihal kepahlawanan pemiliknya. Bahkan terdapat tiga luka menganga akibat sabetan pedang di tubuh beliau. ‘Urwah, putranya biasa memainkan jemarinya masuk di bekas luka tersebut. Dua luka ketika pertempuran Badr, dan satu ketika pertempuran Yarmuk.

Sekilas Kehidupan Rumah Tangganya
Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu memiliki empat orang istri. Mereka adalah Asma’ bintu Abi Bakr, ‘Atikah saudari Sa’d bin Zaid, Ummu Khalid bintu Khalid, serta Ummu Mush’ab al-Kalbiyah. Semakin sempurna pribadi beliau dengan sifat pencemburu yang dimilikinya. Tatkala telah menjadi istri, Asma’ meminta izin untuk hadir shalat jama’ah di masjid. Keluarnya Asma’ dari rumahnya ini terasa berat bagi az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. Beliau pun mengizinkannya demi mengetahui larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari menghalangi wanita untuk ke masjid. Namun, suatu malam bersembunyilah az-Zubair di kegelapan jalanan. Tatkala sang Istri melewatinya, beliau menyentuhkan tangannya ke tubuh Asma’. Seketika Asma’ bertasbih dan berbalik pulang. Asma’ pun tidak lagi pergi ke masjid setelahnya. Kehidupan yang keras membekaskan ketegasan pula pada perangai az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. Demikian dirasakan oleh Asma’, istrinya. Datanglah Asma’ kepada sang Ayah mengadukan sikap az-Zubair radhiyallahu ‘anhu terhadapnya. Dengan bijak Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menasihati, “Wahai putriku, bersabarlah. Sesungguhnya seorang wanita apabila memiliki suami yang shalih kemudian suaminya meninggal, lalu dia tidak menikah lagi, niscaya Allah kumpulkan keduanya di Jannah.”

Sifat-sifat Mulia Yang Dimilikinya
Tak hanya di medan jihad, sifat- sifat mulia juga menjadi bagian keseharian beliau. Karena sifat amanah yang beliau miliki, ada tujuh shahabat yang mewasiatkan harta warisan kepadanya untuk dibagikan kepada ahli waris mereka kelak. Di antaranya adalah ‘Utsman, Ibnu Mas’ud, dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf ridwanullah ‘alaihi ajmain. Sifat dermawan juga menonjol pada diri az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. Dahulu beliau memiliki seribu budak yang diperoleh dari sekian pertempuran yang diikutinya. Budak-budak tersebut senantiasa membayarkan upeti kepada beliau. Maka tidak sedikit pun dari upeti-upeti tersebut kecuali beliau sedekahkan seluruhnya. Beliau radhiyallahu ‘anhu juga pernah menjual sebuah rumah miliknya hanya seharga enam ratus ribu dirham. Berkatalah seseorang kepadanya, “Engkau telah keliru!” Maka beliau menjawab, “Sekali-kali tidak, ini adalah (infak) di jalan Allah.”

Akhir Kehidupan Beliau
Segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan terjadi pada diri hamba-hamba-Nya. Di hari Kamis 10 Jumadal Ula bulan Rajab tahun 36 H, az-Zubair radhiyallahu ‘anhu terbunuh pada hari perang Jamal. Ketika itu beliau pergi berpaling meninggalkan peperangan. Datanglah ‘Amr bin Jurmuz at-Tamimi beserta kedua rekannya menyusul beliau di Wadi as-Siba’. ‘Amr bin Jurmuz mendahului kedua temannya lalu dengan tega membunuh beliau yang sedang tidur. Saat itu beliau berusia 67 tahun, dan di daerah itu pula az-Zubair dikebumikan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Beliau radhiyallahu ‘anhu meninggalkan harta senilai lima juta dua ratus ribu dirham. Setelah dikeluarkan darinya untuk pembayaran hutang-hutang, maka masing-masing istri beliau mendapatkan bagian warisan senilai satu juta seratus ribu dirham. Demikianlah, kilas balik dari rangkaian perjuangan salah satu dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi. Perjuangan dalam resolusi jihad yang berkibar dengan berbagai syarat dan ketentuannya. Bukanlah semacam aksi-aksi kekerasan mengatasnamakan jihad yang berkembang pada masa ini. Allahul Musta’an.

Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Muhammad Hadi hafizhahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button