Manhaj

Hakikat Kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sang Khairul Anam

Hakekat kecintaan kepada RasulKewajiban mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tak disangsikan lagi bagi setiap muslim yang jujur dalam keislamannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok panutan umat Islam dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sejarah telah mencatat bagaimana kegigihan dan kesabaran beliau dalam berdakwah, sehingga beliau pantas menjadi pemimpin para nabi dan para rasul.

          Umat telah merasakan bagaimana kesungguhan dan keseriusan beliau demi tersampaikannya hidayah kepada mereka. Rasa belas kasih kepada umat beliau mendasari setiap dakwah yang diajarkan. Benar-benar umat merasakan kasih sayang beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menjadi saksi akan semua itu. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya),

“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari bangsa kalian, berat terasa olehnya penderitaan  kalian, sangat menginginkan (keselamatan dan hidayah) untuk kalian, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)

          Barang siapa yang membaca sejarah kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti akan tumbuh kecintaan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hukum mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

          Mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagian dari ibadah yang sangat mulia dan wujud kesempurnaan dan kejujuran iman seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَالَّذِينَفْسِيبِيَدِهِلاَيُؤْمِنُأَحَدُكُمْحَتَّىأَكُونَأَحَبَّإِلَيْهِمِنْوَالِدِهِوَوَلَدِهِوَالنَّاسِأَجْمَعِينَ

“Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian beriman hingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 69, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

          Mana yang didahulukan antara kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kecintaan terhadap dirinya sendiri?

          Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, kemudian Umar bin al-Khaththab mengatakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkaulah yang lebih aku cintai dari segalanya kecuali terhadap diriku sendiri.”

          Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ،وَالَّذِينَفْسِيبِيَدِهِ،حَتَّىأَكُونَأَحَبَّإِلَيْكَمِنْنَفْسِكَ

“Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya.Hingga aku (Rasulullah) lebih engkau cintai dari pada dirimu sendiri.”

Maka sahabat Umar berkata: “Maka sekarang Demi Allah, sungguh engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekarang wahai Umar (engkau telah menggetahui dan telah mengucapkan ucapan yang benar).” (HR. al-Bukhari no. 6632)

          Ibnu Baththal, al-Qadhi Iyadh dan selain keduanya mengatakan, “Cinta terbagi menjadi 3 macam. Pertama, cinta pemuliaan dan penghormatan seperti kecintaan kepada orang tua.Kedua, cinta belas kasih seperti kecintaan kepada anak. Ketiga, cinta persamaan dan kebaikan seperti kecintaan kepada sesama manusia. Maka terkumpullah semua kecintaan itu terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 2/15)

Merasakan Manisnya Buah Keimanan

          Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa keimanan itu memiliki rasa yang manis dan lezat. Kalau demikian, tentunya setiap mukmin pasti ingin merasakannya.Lalu bagaimana caranya? Di antara caranya adalah dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌمَنْكُنَّفِيهِوَجَدَحَلاَوَةَالإِيمَانِ: أَنْيَكُونَاللهُوَرَسُولُهُأَحَبَّإِلَيْهِمِمَّاسِوَاهُمَا،وَأَنْيُحِبَّالمَرْءَلاَيُحِبُّهُإِلَّالِلهِ،وَأَنْيَكْرَهَأَنْيَعُودَفِيالكُفْرِكَمَايَكْرَهُأَنْيُقْذَفَفِيالنَّارِ

“Tiga hal, barangsiapa yang tiga hal tersebut ada pada dirinya, pasti ia akan merasakan manisnya keimanan; Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, mencintai seseorang tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah, dan ia tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan kedalam api neraka.” (HR. al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 67, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Dengan Apa Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

          Wahai saudaraku, ketahuilah mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bukan sebatas pengakuan saja. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka wajib memberikan kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ilmu dan amalan yang benar, kalau tidak dilandasi dengan ilmu dan amalan yang benar maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

          Dalam masalah ini, realita umat Islam terbagi dalam beberapa kelompok,

          Pertama, kelompok yang ghuluw yaitu mereka yang dalam mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melampaui batasan-batasan syariat. Mengagungkan dan mengangkat beliau hingga mencapai martabat ilahiyyah (peribadatan kepada selain Allah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَتُطْرُونِي،كَمَاأَطْرَتْالنَّصَارَىابْنَمَرْيَمَ،فَإِنَّمَاأَنَاعَبْدُهُ،فَقُولُواعَبْدُاللهِ،وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian berbuat melampaui batas terhadap diriku sebagaimana kaum nashrani telah melampaui batas terhadap Isa bin Maryam, sesungguhnya aku adalah hamba Allah, maka ucapkanlah (bahwa aku) adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 3445, dari sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu)

          Maksudnya, beliau adalah hamba Allah, sebagai makhluk manusiawi yang tidak berhak untuk diibadahi, namun beliau dimuliakan karena berposisi seorang rasul (utusan) Allah yang wajib diikuti syariatnya.

          Kedua, kelompok yang mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengada-adakan acara-acara perayaan dan peringatan-peringatan yang tidak dikenal dan tidak pernah diamalkan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama salaf (selain hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adhha).

          Di masa khilafah Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ada seorang Yahudi bertemu dengan sang khalifah Umar, seraya mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian telah membaca sebuah ayat dalam kitab kalian (al-Qur’an), kalau sekiranya ayat itu turun kepada kami niscaya akan kami jadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari Ied. Umar bertanya, “Ayat apa itu? Ia menjawab, ayat

الْيَوْمَأَكْمَلْتُلَكُمْدِينَكُمْوَأَتْمَمْتُعَلَيْكُمْنِعْمَتِيوَرَضِيتُلَكُمُالْإِسْلَامَدِينًا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan Islam sebagai agama kalian, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan telah Ku-ridhai Islam agama kalian.” (al-Maidah: 3)

          Kata Umar, “Demi Allah sungguh aku tahu kapan hari diturunkan ayat itu kepada Rasulullah, dan kapan waktu diturunkannya kepada Rasulullah, ayat itu turun di waktu sore pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum’at. (HR. al- Bukhari no. 45, Muslim no. 3017, dan Ahmad no. 188)

          Dari kisah ini, kenapa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikannya sebagai hari besar, untuk dirayakan dan diperingati? Kenapa khalifah Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali ridwanullah ‘alaihi ajmain tidak menjadikannya sebagai hari bersejarah yang pantas untuk diadakan perayaan dan peringatan? Kenapa al-Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad tidak juga merayakannya dan memperingatinya?

          Peristiwa perang Badr adalah peristiwa yang amat menentukan eksistensi umat Islam waktu itu. Sehingga Rasulullah berdoa, “Ya Allah penuhilah apa yang Engkau janjikan kepadaku, Ya Allah jika Engkau binasakan pasukan ini Engkau tidak akan diibadahi lagi di muka bumi ini”.

          Peristiwa penaklukan kota Mekkah (Fathu Makkah) juga peristiwa yang amat besar dalam sejarah Islam, sebagai hari kemenangan dan kejayaan umat Islam.

          Pertanyaannya, kenapa para sahabat Rasulullah dan para ulama terkemuka setelahnya tidak menjadikannya sebagai hari-hari besar umat Islam? Apakah mereka tidak mencintai Rasulullah? Apakah para ulama semisal al-Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad tidak menghargai perjuangan Rasulullah dan para shahabanya?

          Kalau para shahabat Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali ridwanullah ‘alaihi ajmain, mereka semua merasa lapang dan cukup dengan ketentuan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adhha dalam setahun, serta hari Jum’at dalam seminggu, apakah kita tidak merasa lapang dan cukup sebagaimana perasaan lapang dan cukupnya para shahabat Rasulullah?

          Kalau para ulama kita semisal al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Sufyan ast-Tsauri, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan para ulama lainnya sudah merasa lapang dan cukup dengan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amalan para shahabatnya, apakah kita tidak merasa lapang dan cukup sebagaimana perasaan lapang dan cukupnya para ulama tersebut?

          Marilah kita perhatikan perkataan yang sangat mulia dan indah dari al-Imam Malik rahimahullah salah seorang guru al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah,

لَنْتَصْلُحَهذِهِاْلأُمَّةإِلَّابِمَاصَلُحَأَوَّلهُاَ

“Tidak akan menjadi jaya umat ini kecuali dengan prinsip, cara, dan metode yang ditempuh oleh  generasi awal (salaf) umat ini.”

          Ketiga, kelompok yang mendasari  kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ilmu dan amalan yang benar. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah. Mereka benar-benar menjaga perintah dan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya),

“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)

          Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti mencintai Allah, tidaklah Allah menjadikan seseorang sebagai nabi atau rasul melainkan dari hamba-Nya yang sangat dicintai-Nya, terlebih lagi beliau sebagai khalilullah (kekasih Allah).

          Tolok ukur kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya bukan pada semangat memperbanyak amalan tanpa mengikuti rambu-rambu syariat, tetapi terletak pada kesungguhan dalam mengikuti petunjuk dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

          Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat di atas, “Ayat yang mulia ini menjadi hakim terhadap siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah, ternyata ia tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia dusta dalam pengakuannya itu. Sampai ia mengikuti syariat dan agama yang dibimbingkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh amalan, perbuatan, dan perkataan. Sebagaimana telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْعَمِلَعَمَلاًلَيْسَعَلَيْهِأَمْرُنَافَهُوَرَدُّ

“Barangsiapa yang beramal/beribadah dengan berbagai amal/ibadah apapun yang tidak didasarkan atas petunjukku maka pasti tertolak.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/32)

          Wahai sauadaraku, perhatikanlah nasehat yang amat berharga dari panutan kita yaitu al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah,

مَنِاسْتَحْسَنَفَقَدْشَرَعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan (berdasarkan logika, perasaan dan semangat tanpa dasar ilmu yang benar) sungguh ia telah membuat syariat (baru).”

          Wahai saudaraku, dengan demikian terjawablah pertanyaan di atas, dengan apa mencitai Rasulullah? Dengan ilmu dan amalan yang benar, berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah serta penerapan salaful ummah.Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Arif hafizhahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button