Manhaj

Definisi Bid’ah menurut Ulama Syafi’iyah

 

Dewasa ini, pembahasan tentang “bid’ah” acapkali menjadi momok bagi sebagian kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa pembahasan tentang bid’ah berpotensi memecah belah persatuan kaum muslimin, sehingga didapati sebagian mereka antipati dengan pembahsan bid’ah, padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di beberapa haditsnya memperingatkan dengan tegas kepada kaum muslimin akan bahaya bid’ah.

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Waspadalah kalian dari hal-hal baru dalam agama. Karena setiap hal yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Abu Daud).

Setelah ditelisik lebih dalam didapati bahwa di antara sebab munculnya fenomena ini adalah ketidaktahuan atau kesalahpahaman sebagian orang tentang definisi bid’ah yang terlarang dalam islam.

Secara bahasa, bid’ah berasal dari Bahasa Arab bada’a yang berarti memulai hal baru.

al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata (artinya), “Bid’ah itu asalnya (secara bahasa) adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. (Fathul Bari).

Bid’ah jenis ini dikenal dengan nama bid’ah lughawi, jika tidak bertentangan dengan syari’at maka hukumnya boleh.

Adapun secara istilah syar’i, bid’ah adalah segala bentuk cara beragama yang tidak ada contohnya dan tidak ada tuntunannya dalam syariat.

al-Imam asy-Syatibi rahimahullah berkata (artinya), “Bid’ah adalah tata cara baru dalam beragama yang memiliki kemiripan dengan tata cara yang syar’i, bahkan memiliki maksud atau tujuan yang serupa pula”. (al-I’tisham).

Bid’ah jenis ini dikenal dengan nama bid’ah syar’i, jenis inilah yang terlarang dalam Islam karena tidak bersumber dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa membuat hal baru dalam urusan agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Amat sangat disesalkan, banyak masyarakat umum di kalangan kaum muslimin mencampur adukan antara definisi bid’ah secara bahasa dan secara syar’i.

Mereka menganggap jika membuat, melakukan atau menentukan cara baru dalam suatu ibadah semisal memberi tambahan waktu shalat wajib lebih dari 5 waktu yang ada dianggap bid’ah karena tidak dikenal atau tidak ada contohnya di zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkendara dengan menggunakan mobil juga bid’ah karena mobil pun tidak dikenal di masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Tentu anggapan tersebut di atas adalah anggapan yang salah, karena meskipun mobil merupakan suatu hal yang baru, tidak ada di masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun kasus ini tidak termasuk dalam urusan agama, sehingga mengendarai mobil bukan termasuk bid’ah syar’i yang terlarang.

Kondisi ini semakin diperparah tatkala sebagian kaum muslimin salah dalam memahami ucapan Imam asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua jenis, bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang buruk (bid’ah madzmumah).

Mereka merasa didukung oleh Imam asy-Syafi’i akan kebatilan mereka yang melegalkan bid’ah dalam urusan agama dan merasa bahwa amalan-amalan bid’ah yang mereka lakukan adalah termasuk bid’ah hasanah.

Maksud dari ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan madzmumah telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya al-Imam al-hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani salah satu ulama’ besar Madzhab Syafi’i beliau berkata (artinya),
“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah: suatu hal yang baru dan tidak mempunyai dasar dalam hukum syariat, ini disebut bid’ah dalam syariat (bid’ah syar’i). Segala sesuatu yang mempunyai dasar dalam syariat, ada tuntunannya dalam syariat, maka bukan termasuk bid’ah. Bid’ah dalam urusan agama (bid’ah syar’i) adalah bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah).

Berbeda halnya dengan bid’ah secara bahasa (bid’ah lughawi); yaitu segala sesuatu yang baru tanpa adanya contoh sebelumnya disebut juga bid’ah, terkadang merupakan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) terkadang merupakan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah)”. (Fathul Bari).

Dari ucapan al-Imam Ibnu Hajar di atas, kita mengetahui bahwa pembagian bid’ah menjadi hasanah dan madzmumah hanya berlaku bagi jenis bid’ah lughawi saja. Adapun bid’ah dalam urusan agama (bid’ah syar’i) maka semuanya tercela dan terlarang.

Ini sekaligus menjelaskan kepada kita maksud dari ucapan Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu Anhu yang menyatakan bahwa Shalat Tarawih secara berjamaah di masjid merupakan bid’ah yang baik.

Ucapan Umar bin al-Khattab ini telah dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah (artinya), “Adapun maksud dari ucapan sebagian ulama salaf ketika menyebutkan adanya sebagian bentuk bid’ah yang baik, maka hal itu berlaku pada bid’ah lughawi saja dan tidak pada bid’ah syar’i.

Di antaranya adalah ucapan Umar bin al-Khattab Radhiyallahu Anhu tatkala beliau mengumpulkan manusia untuk mengerjakan shalat tarawih di hadapan seorang imam secara berjamaah di masjid. Ketika hal itu terlaksana lantas kemudian beliau berkata “Inilah bid’ah yang baik”.

Juga diriwayatkan dari beliau bahwa beliau Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Jika ini adalah bid’ah, maka inilah bid’ah yang baik’.

Yang dimaksud beliau adalah bahwa di zaman itu perbuatan tersebut (Shalat Tarawih berjamaah) belum terjadi sebelumnya, namun perbuatan itu memiliki dasar dalam syariat, yaitu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dahulu menghasung manusia untuk melaksanakan Shalat Tarawih, dan di zaman Nabi manusia telah mengerjakannya secara berjamaah di masjid dengan beberapa jama’ah.

Bahkan beliau juga pernah Shalat Tarawih berjama’ah bersama para shahabat lebih dari sekali. Tapi kemudian beliau menghindari hal tersebut karena khawatir bahwa Shalat Tarawih akan Allah wajibkan atas manusia yang akan membuat mereka kesulitan untuk melaksanakannya.

Namun ketika beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah meninggal, maka kehawatiran ini sudah tidak lagi ada”. (Jami’ al-Ulum wal Hikam).

Dari sini kita ketahui bahwa disebutnya Shalat Tarawih berjama’ah sebagai bid’ah di masa Umar maksudnya adalah bid’ah secara bahasa.

Adapun secara syar’i amalan tersebut bukan bid’ah karena hakekatnya pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Semoga dengan penjelasan ini akan semakin banyak yang paham tentang hakikat bid’ah, sehingga tidak ada lagi fenomena anti atau pobia pembahasan bid’ah, bahkan masing-masing kita akan senang dengan pembahasan bid’ah karena akan menjadi sarana untuk mengoreksi dan memperbaiki amalan-amalan ibadah yang selama ini kita lakukan, sudah benarkah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam ataukah tidak.

Wallahu a’lamu bis shawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Baca Juga
Close
Back to top button