Manhaj

Bersandar kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul shalallahu’alaihi wasallam

Edisi: 18 || 1441H
Tema: Manhaj

بسم الله الرّحمان الرّحيم

Bersandar kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul shalallahu’alaihi wasallam

Seorang muslim wajib bersandar kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, baik dalam hal: akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalahnya. Ketika seorang muslim telah berpengang teguh dengan keduanya maka dia dijamin tidak akan tersesat selamanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shalallahu’alaihi wasallam dalam haditsnya yang shahih,

خلفت فيكم شيئين لن تضلّوا بعد هما:كتاب الله وسنّتي

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat setelah keduanya, yaitu: Kitabullah (al-Qur’an) dan sunnahku (ajaranku).” (HR. al-Hakim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahuanhu)

Sebaliknya, seorang muslim hendaknya menjahui sikap ikut-ikutan dalam beragama (taklid) tanpa dasar yang jelas.

Para pembaca rahimakumullah, pada ulama telah menjelaskan bahwa sikap taklid termasuk amalan kaum jahiliyah. Di mana mereka menjalankan agama tidak sesuai dengan petunjuk para nabi yang Allah ta’ala utus kepada mereka. Akan tetapi agama mereka dibangun di atas taklid buta terhadap nenek moyang mereka.

Allah ta’ala mencela sikap mereka ini dalam beberapa ayat-Nya, di antaranya adalah:

وَكَذٰلِكَ مَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيْرٍۙ اِلَّا قَالَ مُتْرَفُوْهَآ ۙاِنَّا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا عَلٰٓى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰٓى اٰثٰرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka’.” (az-Zukhruf: 23)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah’, maka mereka menjawab, ‘(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati babak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (Luqman: 21)

Berikut ini beberapa perkataan para imam mazhab yang empat terkait keharusan berpegang teguh terhadap al-Quran dan as-Sunnah serta wejangan untuk meninggalkan pendapat mereka jika ternyata menyelisihi keduanya.

1. Al-Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah
Para pembaca rahimakumullah, sungguh para murid beliau telah meriwayatkan perkataan yang banyak dan beragam dari beliau tentang wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taklid (sikap mengikuti tanpa dalil) kepada pendapat-pendapat para imam jika menyelisihi hadits. Di antara perkataan beliau adalah:

a. “Jika haditsnya shahih maka itulah mazhabku.” (Ibnu ‘Abidin dalam kitab al Hasyiyah [1/63])

b. “Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapatu sebelum dia mengetahui dari mana aku mengambil pendapatku tersebut. Sesungguhnya aku manusia biasa, hari ini berpendapat suatu pendapat dan besok ternyata berubah.” (Ibnu ‘Abidin dalam kitab al-Hasyiyah terhadap al-Bahr ar-Raiq [6/293])

c. “Jika aku berpendapat yang menyelisihi Kitabullah dan sunnah Rasul maka tinggalkanlah pendapatku.” (al-Fulany dalam kitab al-Iqazh hal. 50)

2. Al-Imam Malik bin Anas radhiallahuanhu

a. “Sesungguhnya aku manusia biasa, terkadang salah dan terkadang benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang mencocoki al-Qur’an dan as-Sunnah maka ambillah dan yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah maka tinggalkanlah.” (Ibnu ‘Abdil Bar dalam kitab al-Jami’ [2/32])

b. Ibnu Wahab rahimahullah pernah bercerita tentang jawaban al-Imam Malik bin Anas rahimahullah terkait menyela-nyela jari-jari kaki saat berwudhu. Beliau menjawab bahwa hal tersebut tidak wajib. Kemudian Ibnu Wahab rahimahullah menyampaikan kepada al-Imam Malik bin Anas tentang sebuah hadits bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menyela-nyela jari-jari kaki beliau dengan jari kelingking. Tatkala membaca hadits tersebut, Malik lalu berkata, “Hadits ini hasan dan aku tidak pernah mendengarnya kecuali sekarang ini.” Setelah kejadian ini maka Malik memfatwakan tentang kewajiban menyela-nyela jari-jari saat berwudhu. (Ibnu Abi Hatim dalam kitab Muqaddimah al-Jarh Wa at-Ta’dil hal. 31-32)

3. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah

a. “Kaum muslimin bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sebuah sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam maka tidak halal baginya untuk neninggalkannya hanya karena ucapan seseorang.” (al-Fulany hal. 68)

b. “Jika kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah maka berpeganglah dengan sunnah Rasulullah tersebut dan tinggalkan pendapatku.” (an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ [1/63])

c. “Jika haditsnya shahih maka itulah mazhabku.” (an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ [1/63])

d. “Setiap permasalahan yang telah jelas hadits tentangnya dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menurut pakar hadits yang ternyata berbeda dengan pendapatku maka aku rujuk dari pendapatku tersebut saat aku hidup dan setelah matiku.” (Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah [9/107])

e. “Setiap yang aku ucapkan dan ternyata terdapat hadits shahih dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam yang menyelisihi ucapanku maka hadits Nabi lebih diutamakan dan janganlah kalian taklid kepadaku.” (Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih [15/9/2])

f. “Setiap hadits dari Nabi maka itulah pendapatku meskipun kalian belum pernah mendengar dariku.” (Ibnu Abi Hatim hal. 93-94)

4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Para pembaca rahimakumullah, di antara ucapan beliau adalah:

a. “Jangan bersikap taklid kepadaku, Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, dan juga ats-Tsauri. Ambillah pendapat dari sumber yang diambil oleh para imam tersebut!”

b. “Jangan bersikap taklid tentang perkara agamamu dari seorangpun. Segala sesuatu yang bersumber dari nabi dan para shahabat maka ambillah. Adapun setelah masa tabi’in maka perlu diteliti terlebih dahulu.” (Abu Dawud dalam kitab Masail al-Imam Ahmad hal. 276)

c. “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” (Ibnul Jauzi dalam kitab al-Manaqib hal. 182)

d. “Pendapat al-Auza’i, Malik, Abu hanifah hanyalah suatu pendapat. Adapun hujjah (dalil) adalah atsar (hadits).” (Ibnu Abdil Bar dalam kitab al-Jami’i [2/149])

Demikianlah beberapa penyataan para imam mazhab yang empat. Semoga Allah ta’ala merahmati dan meridhai mereka. Mereka senantiasa memberikan arahan kepada kita untuk berpegang dan bersandar kepada al-Quran dan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wasallam serta melarang dari perbuatan taklid meskipun kepada mereka sendiri tanpa didasari dengan hujjah (dalil) yang jelas.

Sungguh, barangsiapa yang berpegang dengan dalil yang shahih meskipun bertentangan dengan pendapat sebagian para imam atau bahkan seluruhnya, tidaklah berarti dia menentang atau keluar dari mazhab para imam tersebut. Bahkan pada hakikatnya dia telah mengikuti petuah dan wejangan mereka, sebagaimana yang telah tertuang pada pernyataan-pernyataan di atas.

Berbeda halnya dengan orang yang sengaja meninggalkan dalil yang terang benderang hanya semata-mata karena tidak sesuai dengan pendapat atau ucapan para imam tersebut atau siapapun yang “dianggap” olehnya. Jika kondisinya seperti itu, maka sebenarnya dia bukanlah orang yang berpengang dengan mazhab dengan baik dan jujur karena pada hakikatnya di telah menyelisihi nasehat para imam tersebut.

Sementara Allah ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)

Allah ta’ala juga berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (an-Nur: 63)

Contoh Teladan dalam Berpegang dengan Sunnah

Para pembaca rahimakumullah, sebuah kisah menarik -terkait permasalahan yang kita bahas- sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thahawy rahimahullah dalam kitab Syarah Ma’anil Atsar [1/372] dan Abu Ya’la rahimahullah dalam kitab Musnad-nya [3/317] dari Salim bin Abdillah bin ‘Umar radhiallahuanhuma, beliau berkisah, “Suatu hari aku pernah bermajelis bersama Ibnu Umar radhiallahuanhu di sebuah masjid. Kemudian datang seseorang dari penduduk Syam dan bertanya kepada beliau tentang tamaththu’ umrah ke haji.

Beliau radhiallahuanhu menjawab, “Suatu hal yang baik.” Orang itu berkata, “Sesungguhnya dahulu ayahmu (yakni Umar bin al-Khaththab radhiallahuanhu) melarang yang demikian.”

Mendengar ucapan orang tersebut beliau berkata, “Celaka engkau. Jikalau ayahku telah melarang yang demiklian namun ternyata Rasulullah telah melakukan bahkan memerintahkan, maka apakah ucapan ayahku yang engkau ambil atau perintah Rasulullah?”, orang itu menjawab, “Tentu perintah Rasulullah.” Setelah itu Ibnu Umar berkata, “Pergilah engkau dariku.”

Lihatlah bagaimana shahabat yang mulia lebih menhedepankan hadits Rasulullah ketimbang sekedar pendapat orang lain meskipun ayahnya sendiri, khalifah kedua, Umar bin al Khaththab radhiallahuanhu. Subhanallah.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Amiin.

Allahu a’lam bishshawab.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button