Manhaj

MENGAGUNGKAN SUNNAH NABI Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Buletin Islam Al Ilmu edisi no : 24 / VI / 1431

Sunnah secara bahasa adalah jalan atau cara, sehingga Sunnah Nabi secara bahasa yaitu jalan atau cara Nabi.

Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As-Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh, dan itu meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para khalifahnya radliyallahu ‘anhum, baik dalam keyakinan, amalan, maupun ucapan. Demikianlah makna As-Sunnah secara umum.

Itulah yang dimaksud dengan As-Sunnah dalam pembahasan ini, sehingga tidak terpaku pada istilah sunnah menurut ahli fiqih, atau sunnah menurut ahli ushul fiqih, ataupun sunnah dalam arti aqidah, tetapi mencakup maknanya yang luas. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَاشِدِينَ

”Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para Al-Khulafaa’ Ar-Rasyidiin…” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Perintah Memuliakan Sunnah

Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sebuah istilah yang kerap kita dengar dan kita ucapkan. Karena memang ia merupakan landasan hidup kita sebagai penganut ajaran Islam. Kita semua sepakat untuk menjunjung tinggi dan mengagungkan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, dan bersepakat pula bahwa yang merendahkannya berarti menghinakan Islam dan ajaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Namun, jika kita menengok realita yang ada, apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyikapi Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam nampaknya sudah jauh dari yang semestinya. Bahkan keadaannya sangat parah. Tidak tanggung-tanggung, diantara mereka ada yang menolak terang-terangan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dari jenis Ahad (yang tidak sampai pada derajat Mutawatir) dalam masalah aqidah. Padahal, ia adalah hujjah, dapat dijadikan sebagai dalil.

Ada pula yang menolak dan mengingkari Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam secara total dengan berkedok mengikuti Al-Qur’an saja. Padahal Al-Qur’an tidak mungkin dipisahkan dari As-Sunnah. Al-Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa saja yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam (sunnahnya), sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya):

“Segala apa yang dibawa Rasul, maka ambillah. Dan segala apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Al-Imam Abu Qilabah rahimahullah berkata: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan menyebutkan sunnah kepadanya, lalu ia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari ini (penyebutan sunnah), dan sebutkan (pada kami), Kitabullah (Al-Qur’an saja).’ Maka ketahuilah bahwa dia adalah orang yang sesat.” (Lihat Thabaqat Ibni Sa’d, 7/184, Ta’zhimus Sunnah, hal. 25)

Bentuk yang lebih parah dari ‘sekedar’ menolak adalah mengolok-olok As-Sunnah dan orang-orang yang berupaya berjalan di atasnya. Ada pula yang dengan terang-terangan menolak hadits Nabi karena dinilai tidak sesuai dengan akal atau realita zaman (menurut apa yang ia sangka).

Sangat disayangkan bila sikap-sikap seperti ini justru ada pada orang-orang yang terjun ke kancah dakwah. Padahal lisan mereka juga mengatakan bahwa kita wajib mengagungkan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Mengagungkan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perkara besar dan bukan sekedar isapan jempol. Ia butuh bukti nyata dan praktek dalam kehidupan. Namun kini keadaannya justru sebaliknya. Banyak orang menolaknya, banyak orang mengabaikannya, bahkan mengolok-ngoloknya. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya):

“Barangsiapa yang menaati Rasul berarti ia telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

Ayat-ayat ini menunjukkan secara tegas bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni wajib mengambilnya. Hal ini merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan Sunnah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai pedoman dalam melangkah dan melakukan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla jadikan Nabi-Nya sebagai penjelas dan penjabar Al-Qur’an, bukan sekedar menyampaikan atau membacakannya secara lafazh saja, sebagaimana dalam firman-Nya (artinya):

”Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)

Demikian pula sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah. Kemudian untuk mendengar dan taat kepada pimpinan, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku, ia akan melihat perbedaan yang banyak. Maka disaat seperti itu, wajib atas kalian bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin. Gigitlah (sunnah itu) dengan gigi-gigi geraham kalian! (Berpegangteguhlah dengan sunnah itu!–red). Jauhilah perkara-perkara yang baru (bid’ah)! karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Larangan Meninggalkan Sunnah Nabi

Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu mengatakan: “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, kecuali pasti saya juga melakukannya. Dan saya takut, jika saya tinggalkan sesuatu darinya lalu saya menjadi sesat.”

Wahai saudaraku, orang nomor satu setelah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam (Abu Bakar radliyallahu ‘anhu) khawatir terhadap dirinya untuk tersesat jika menyelisihi sesuatu dari Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka bagaimana jadinya dengan sebuah jaman yang penduduknya mengolok-olok Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mereka dan perintah-perintahnya, bahkan berbangga dengan menyelisihi dan mengolok-oloknya?!

Maka sangatlah mengherankan kalau seseorang mengerti Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lalu meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lain. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang tahu sanad hadits dan keshahihannya kemudian memilih pendapat Sufyan (maksudnya Sufyan Ats Tsauri-red). Padahal Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya): “Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah syirik.” (Fathul Majid, hal. 466).

Demikian pula suatu saat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ditanya tentang sebuah masalah, maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka si penanya mengatakan: ”Wahai Al-Imam Asy-Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka beliau gemetar lalu mengatakan: ”Wahai, bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu diatas pendengaran dan penglihatanku (yang aku junjung tinggi–red).” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’zhimus Sunnah, hal. 28).

Dalam kesempatan lain, beliau ditanya dengan pertanyaan yang mirip lalu beliau gemetar dan menjawab: ”Apakah engkau melihat aku seorang Nashrani? Apakah engkau melihatku keluar dari gereja? Ataukah engkau melihatku memakai ikat di tengah badanku (yang biasa dipakai orang-orang Nashrani–red)? Aku meriwayatkan hadits dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu aku tidak mengambilnya sebagai pendapatku?!” (Miftahul Jannah, no. 6)

Pahala Bagi Orang yang Berpegang dengan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api. Bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam) pada saat itu, akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seorang shahabat bertanya: “Lima puluh dari mereka, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Pahala lima puluh dari kalian.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 494)

Jaminan Bagi Orang Yang Berpegang Teguh Dengan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Selama seseorang berada di atas Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka ia tetap berada di atas istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian, berarti ia telah melenceng dari jalan yang lurus, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma: ”Manusia akan tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Riwayat Al-Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 197).
‘Urwah bin Zubair rahimahullah mengatakan: ”Mengikuti Sunnah-sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat Al-Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 198)

Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan: ”Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka ia berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat Al-Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 200)

Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya):

”Dan jika kalian menaatinya niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (An-Nur: 54)

Contoh Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang Mulai Terlihat Asing bagi Sebagian Kaum Muslimin

1. Memelihara Jenggot.

Memelihara jenggot merupakan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Bahkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya untuk memlihara jenggot, sebagaimana dalam sabdanya:

“Potonglah kumis dan peliharalah jenggot kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

“Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan peliharalah jenggot kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

“Potonglah kumis dan biarkan jenggot kalian, selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim)

Dan masih banyak lagi dalil yang lainnya.

Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Jenggot merupakan kesempurnaan penciptaan laki-laki.” (Lihat Al-Umm, juz 6, halaman 89)

2. Shalat Berjamaah di Masjid

Melaksanakan shalat fardhu lima waktu secara berjamaah merupakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya):

“…Ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)

Berkata Al-Imam As-Sa’dy: “Maksudnya shalatlah bersama orang-orang yang shalat. Maka didalamnya terkandung perintah untuk shalat secara berjama’ah.” (Tafsir As-Sa’dy, hal. 50)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Shahabat Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kami SUNANUL HUDA (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran). Dan diantara sunanul huda adalah melaksanakan shalat (lima waktu secara berjama’ah) di masjid yang dikumandangkan adzan.” (Riwayat Muslim)

3. Meluruskan dan Merapatkan Shaf

Meluruskan dan merapatkan shaf juga merupakan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang sangat penting, karena lurus dan rapatnya shaf merupakan kesempurnaan shalat, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Lurus dan rapatkan shaf-shaf kalian! karena lurus dan rapatnya shaf termasuk dari kesempurnaan shalat.” (HR. Muslim)

Bahkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengancam akan terjadinya perslisihan, bagi siapa yang tidak meluruskan dan merapatkan shafnya ketika shalat berjamaah, dengan sabdanya:

“Sungguh hendaklah kalian meluruskan dan merapatkan shaf. Atau (jika tidak), sungguh Allah akan menjadikan perselisihan di dalam hati-hati kalian.” (HR. Muslim dan Abu Dawud, dengan lafazh riwayat Abu Dawud)

Cara merapatkan shaf adalah merapatkan kaki dengan kaki, pundak dengan pundak. Berkata Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu: “…Adalah seorang diantara kami (para shahabat radliyallahu ‘anhum) merapatkan pundaknya dengan pundak orang disebelahnya, kakinya dengan kaki orang yang disebelahnya.” (Riwayat Al-Bukhari)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button