Siapa yang Lebih Didahulukan dalam Berbakti?
Edisi: 27 || 1440H
Tema: Keluarga
بسم الله لرّحمان الرّحيم
Dialah seorang yang telah mengandung dan menjagamu dalam sebuah tempat yang aman dan nyaman. Seorang yang selalu membawamu kemanapun dia pergi. Dialah yang kemudian berusaha untuk menghadirkanmu meskipun dengan penuh resiko, yang kemudian setelah itu memberikan nutrisi sempurna kepadamu tanpa pamrih.
Dialah seorang yang rela terbangun dan terjaga di malam hari saat mendengar engkau membutuhkannya. Seorang yang senantiasa merawat dan menjagamu serta membimbingmu hingga engkau dapat “menegakkan” jasadmu.
Dialah seorang yang selalu menyebut namamu agar mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat dalam doa-doanya. Dialah, dialah dan dialah… Sekian banyak perngorbanan dan jasa yang dia persembahkan untukmu. Dialah ibundamu…
Para pembaca rahimakumullah, demikian sedikit gambaran bagaimana “aktifitas” seorang ibu. Jika sebagian orang menyatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka tentunya jasa seorang ibu lebih dari itu. Jasa-jasa yang seorang ibu lebih baik dari itu.
Jasa-jasa yang tak terhingga dia berikan, tanpa sedikitpun ada rasa keluh kesah apalagi penyesalan. Seseorang yang mengandungmu dalam rahimnya selama sembilan bulan, melahirkan dengan bertaruhkan nyawa, menyusuimu hingga dua tahun lamanya, menjaga dan merawatmu hingga engkau tumbuh dewasa.
Sekian banyak jasa dan pengorbanan seorang ibu yang semua itu menjadi alasan yang kuat akan wajibnya seorang anak untuk memberikan baktinya kepada sang ibunda lebih dari yang lain. Pernah suatu saat seseorang bertanya kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam,
يارسول الله,من أحقّ النّاس بحسن صحابتي؟ قال:أمّك,قال:ثمّ من؟قال: أمّك, قال:ثمّ من؟ قال:أمّك,قال:ثمّ من؟ قال: ثمّ أبوك
‘Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?’ Beliau shalallahu’alaihi wasallam menjawab, “Ibumu,” ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shalallahu’alaihi wasallam menjawab “Ibumu.” ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shalallahu’alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shalallahu’alaihi wasallam menjawab “Kemudian ayahmu.” (HR. al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahuanhu)
Al-Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, ketika mengaitkan hadits Abu Hurairah di atas denga firman Allah ta’ala,
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍۢ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah kemudian menyapihnya dalam usia dua tahun.” (Luqman: 14)
Bahwa pada ayat ini, Allah ta’ala menyebutkan tiga pengorbanan dan “penderitaan” yang dialami oleh seorang ibu, dan tidak dialami oelh seorang ayah, yaitu:
1. Pengorbanan saat mengandung
2. Pengorbanan saat melahirkan
3. Pengorbanan saat menyusui hingga menyapihnya.
Tiga hal yang ‘hanya’ seorang ibu yang mengalami dan merasakannya. Inilah salah satu rahasia dan sebab mengapa Nabi menyebutkan sampai tiga kali penyebutan saat ditanya siapakah orang yang paling berhak dan lebih didahulukan untuk kita berbakti kepadanya.
Nabi shalallahu’alaihi wasallam menjawab “Ibumu” hingga tiga kali jawaban, lalu dikali keempat beliau baru menyebut “Ayahmu”.
Doa untuk Ibunda
Para pembaca rahimakumulllah, ragam cara yang bisa dilakukan seorang anak dalam berbakti kepada orangtua, terkhusus kepada ibunya. Bisa berupa pemberian materi, sikap dan tutur kata yang baik, patuh dan taat dalam perkara yang bukan maksiat, menjaga nama baik dan kehormatan mereka dan yang semisalnya.
Namun tidak kalah penting dari semua itu adalah mendoakan kebaikan untuk keduanya. Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahuanhu pernah berkisah, ‘Dahulu aku mengajak ibuku yang ketika itu masih musyrik agar masuk Islam.
Suatu hari aku mengajaknya masuk Islam namum ibuku membalas dengan mengatakan ucapan tentang Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam yang tidak aku suka.
Lalu aku mendatangi Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, Sesungguhnya aku mengajak ibuku masuk Islam namun dia menolak. Hari ini aku mengajaknya kembali akan tetapi justru dia mengucapkan ucapan tentangmu yang tidak aku suka.
Maka berdoalah kepada Allah agar memberikan hidayah kepada ibunda Abu Hurairah. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam lalu berdoa, ‘Ya Allah, berilah hidayah kepada ibunda Abu Hurairah!’. Maka aku keluar dalam kondisi gembira dengan doa yang dipanjatkan Nabi shalallahu’alaihi wasallam.
Tatkala aku pulang ke rumah aku mendapati pintu tertutup. Ibuku mendengar langkah kakiku kemudian dia berkata, ‘Berhentilah wahai Abu Hurairah!”. Aku mendengar percikan air yang ternyata ibuku mandi lalu mengenakan baju dan kerudungnya dan kemudian berkata,
ياأباهريرة أشهدأن لاإله إلاّالله وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله
‘Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.’
Aku segera menghadap kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dalam keadaan menangis gembira, ‘Ya Rasulullah, bergembiralah. Allah telah mengabulkan doamu dan ibunda Abu Hurairah telah mendapatkan hidayah Islam.’ Maka Nabi shalallahu’alaihi wasallam pun memuji Allah ta’ala.
Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menjadikan aku dan ibuku menjadi orang yang mencintai kaum mukminin dan merekapun mencintai kami berdua!’.
Maka Nabi shalallahu’alaihi wasallam lalu berdoa, ‘Ya Allah, jadikan kedua hamba-Mu ini mencintai hamba-hamba-Mu kaum mukminin dan jadikan kaum mukminin mencintai keduanya! Tidaklah ada seorang mukmin yang mendengar namaku kecuali dia akan mencintaiku meskipun tidak melihatku’.” (HR. Muslim no. 6551 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahuanhu)
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, ‘Pernah suatu malam kami bersama Abu Hurairah radhiallahuanhu. Beliau saat ituberdoa,
اللّهمّ اغفر لأبي هريرة ولأمّي ولمن استغفرلهما
‘Ya Allah ampunilah Abu Hurairah, ibuku dan orang-orang yang memintakan ampun bagi keduanya.’
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, ‘Maka kamipun memintakan ampun untuk keduanya sehingga kami berharap termasuk dalam doa Abu Hurairah tersebut.” (HR. al-Bukhari dalam kitab Al Adabul Mufrad)
Pada kesempatan lain, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Murrah Maula Ummu Hani’ bintu Abi Thalib, bahwa pernah suatu hari dia berkendara bersama Abu Hurairah menuju tempat kediaman beliau yang berada di suatu daerah yang disebut al-‘Aqiq.
Ketika telah sampai di tempat tersebut, Abu Hurairah berteriak memberikan ucapan salam kepada ibunya,
عليك السّلام ورحمة الله وبركاته ياأمّتاه
‘Semoga tercurah keselamatan dan rahmat Allah kepadamu wahai ibundaku.’
Lalu ibundanya membalas,
وعليك السّلام ورحمة الله وبركاته
‘Semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah kepadmu pula.”
Abu Hurairah radhiallahuanhu kemudian berkata,
رحمك الله كما ربّيني صغيرا
‘Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau telah memeliharaku saat aku masih kecil.’
Ibundanya kembali membalas,
يابنيّ وأنت فجزاك الله خيرا ورضي عنك كما بررتني كبيرا
‘Wahai anakku, demikian pula engkau. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan Dia meridhaimu sebagaimana engkau telah berbakti kepadaku saat aku telah berusia senja.’ (HR. al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrad)
Subhanallah, kisah teladan dari shahabat Abu Hurairah radhiallahuanhu yang patut kita contoh. Bagaimana usaha beliau untuk memberikan yang terbaik bagi sang ibunda tercinta. Mengajak ibunya masuk Islam, memintakan kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam agar mendoakan ibunya untuk mendapatkan cahaya hidayah dari Allah ta’ala hingga pemberian salam dan doa.
Berbuat Baik Meskipun Kafir
Para pembaca rahimakumullah, berbuat baik dan menjalin hubungan kepada orangtua yang ternyata masih kafir bukanlah suatu yang dilarang dalam Islam. Sebatas pergaulan dan hubungan yang baik tidak mengapa selama tidak melampaui batas-batas syariat antara seorang muslim dan seorang kafir meskipun orang tua sendiri.
Diriwayatkan dari shahabiyah Asma’ bintu Abu Bakr radhiallahuanha, beliau berkata, ‘Ibuku datang kepadaku dan dia dalam keadaan musyrik di masa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Kemudian aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, ‘Dia sangat ingin bertemu denganku, apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?’ Beliau shalallahu’alaihi wasallam menjawab, ‘Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. al-Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 1003)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan firman Allah ta’ala,
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kalian dari orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian untuk kalian berbuat baik kepada mereka dan berbuat adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Beliau rahimahullah menyatakan, ‘Allah ta’ala tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian terkait masalah agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah dari mereka.’
Lalu beliau rahimahullah menyebutkan hadits Asma’ bintu Abi Bakr radhiallahuanha di atas. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
wabillahi at-taufiq.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah