Saudariku Muslimah, Tetaplah di Atas Fitrah
Edisi: 07 || 1441H
Tema: Keluarga
بسم الله الرّحمان الرّحيم
Islam menempatkan wanita pada posisi penting, baik dalam keluarga maupun masyarakatnya. Bagaimana tidak? Seorang wanita adalah pendidik generasi muslim. Baik dan buruknya seorang anak erat kaitannya dengan keshalihan seorang ibu. Seorang wanita juga pendamping suami dalam menjalankan tugasnya. Di rumah, ia yang menyiapkan bekal, mengiringi keberangkatan hingga menyambut kedatangan suami.
Pembaca rahimakumullah, masih lekat di ingatan kita peristiwa saat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam berada dalam sebuah goa. Sebelum diangkat menjadi nabi ataupun rasul, beliau menyendiri untuk beribadah kepada Allah ta’ala dan mengasingkan diri dari kerusakan kaumnya. Lalu sesekali Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam kembali ke rumah.
Di rumah, istri beliau tercinta, Khadijah, telah menyiapkan bekal untuk sang suami. Dengan bekal yang disiapkan tadi, beliau kembali ke goa untuk melanjutkan tahannuts (ibadahnya). Demikian seterusnya hingga datanglah malaikat Jibril membawa wahyu dari Allah ta’ala.
“Bacalah!, kata malaikat Jibril. “Aku tidak bisa membaca!”, jawab Muhammad shalallahu’alaihi wasallam. Kemudian malaikat itu memegang badan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam hingga beliau kehabisan nafas. Akhirnya malaikat itu melepaskan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam sembari kembali berkata, “Bacalah!”
Jawaban yang sama disampaikan oleh beliau dan terulang kejadian tersebut untuk ketiga kalinya. Di saat itulah, malaikat Jibril membacakan firman Allah ta’ala (artinya),
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Rabb-mu lah yang paing pemurah.” (al-‘Alaq: 1-5)
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam pulang dengan merekam ayat-ayat tersebut dalam kondisi hati yang bergetar. Beliau segera menemui Khadijah bintu Khuwailid radhiallahuanha sembari berucap, “Selimuti aku! Selimuti aku!”
Khadijah begitu tanggap. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam segera diselimuti hingga rasa takut itu hilang. “Apa yang telah terjadi terhadapku ini?” tanya beliau kepada Khadijah. Lantas Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya sambil berkata, “Aku sangat khawatir terhadap diriku!”
“Sekali-kali tidak! Demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selamanya!” hibur Khadijah.
“Sungguh engkau adalah penyambung silaturahmi, pemikul beban orang kesusahan, memberi orang yang tidak punya, penjamu para tamu serta menolong sesama dalam berbagai peristiwa yang menimpa mereka.” (Shahih al-Bukhari [1/3])
Pembaca rahimakumullah, perhatikan peran Khadijah radhiallahuanha, seorang istri di awal masa kenabian. Khadijah adalah anugerah Allah ta’ala kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Sosok wanita yang setia mendampingi beliau. Wanita yang selalu menyertai di kala suka dan duka.
Semua itu lantaran terkumpulnya kepribadian yang shalihah dan pekerti yang luhur. Bahkan di saat dakwah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam didustakan dan ditentang oleh kaumnya, Khadijah radhiallahuanha tampil sebagai wanita pertama yang beriman. Ia tampil sebagai orang yang membela Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, sang suami sekaligus sang rasul.
Khadijah menolong Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dalam meyebarkan agama Islam, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat. Rela menyerahkan diri dan hartanya kepada beliau shalallahu’alaihi wasallam. Pantas bila Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda tentang Khadijah,
“Dia beriman saat semua mengingkari. Dia membenarkanku ketika yang lain mendustakanku, menyerahkan hartanya selagi semua orang menahannya. Allah menganugerahiku anak darinya manakala wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku.” (Musnad Imam Ahmad [6/118])
Kisah di atas menunjukkan peran penting seorang wanita. Tentunya wanita yang bisa berperan adalah wanita yang memiliki kepribadian dan agama yang baik. Sehingga menjadi sebuah kewajiban untuk mencetak seorang wanita yang shalihah. Dialah yang akan berperan dalam kehidupan ini sesuai porsinya.
Islam sangat memuliakan wanita. Oleh karena itu, ditetapkanlah syariat khusus tentang wanita. Islam ingin wanita tetap terhormat. Jangan sampai seowang wanita keluar dari fitrahnya sehingga rusaklah wanita tersebut.
Aturan yang Allah ta’ala tetapkan untuk seorang wanita meliputi: kewajiban, anjuran, hingga larangan yang harus ditinggalkan. Semua itu bukan pengekangan akan tetapi pemuliaan dan penjagaan Islam kepada seorang wanita.
Pembaca rahimakumullah, buletin al-Ilmu edisi ini akan mengangkat tema larangan yang harus ditinggalkan oleh seorang muslimah agar ia tetap di atas kehormatannya. Sekali lagi, larangan tersebut bukanlah pengekangan hak wanita. Justru sebagai upaya Islam untuk memuliakan dan melindungi wanita sesuai kedudukannya.
Safar tanpa Mahram
Kebiasaan safar (berpergian) tanpa mahram bagi seorang wanita seolah dianggap biasa. Entah karena tidak tahu hukumnya ataukah karena meremehkan permasalahan ini. Allahul musta’an.
Allah ta’ala Sang Pencipta manusia telah menentukan aturan untuk kemaslahatan mereka. Setiap perintah dalam syariat pasti mendatangkan kebaikan, dan tidaklah ada sebuah larangan dari suatu perbuatan melainkan karena hal tersebut mengandung mudharat.
Di antara aturan tersebut, larangan safar bagi seorang wanita tanpa mahramnya. Banyak hadits yang menerangkan haramnya safar seorang wanita tanpa ditemani mahramnya. Di antaranya sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam,
لاتسافر المرأة إلاّ مع ذي محرم
“Janganlah seorang wanita safar tanpa mahram.” (HR. al-Bukhari no. 1862, dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahuanhu)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak boleh bagi seorang wanita safar untuk keperluan ibadah, perdagangan, jual-beli, silaturahmi dan lain sebagainya tanpa disertai/ditemani oleh mahramnya.” (al-Majmu’ [2/249])
Betapa banyak bahaya yang muncul di balik safarnya seorang wanita tanpa mahram. Berbagai kejahatan terkait kehormatan wanita, kejahatan fisik maupun hartanya telah terjadi. Maka dari itu, hendaknya pada orang tua dan segenap penanggung jawab bagi seorang wanita memperhatikan masalah ini! Barakallahufikum.
Berjabat Tangan dengan Selain Mahram
Berjabat tangan dengan pria lain yang bukan mahram merupakan pintu fitnah dan kejelekan. Maka dari itu Islam melarangnya.
Ummul Mukminin Aisyah radhiallahuanha berkata,
“Tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita selain yang beliau nikahi.” (HR. al-Bukhari)
Wajar bila Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
لأن يطعن في رأس رجل بمخيط من حديد خير من أن يمسّ امرأة لا تحلّ له
“Sungguh ditusukkan jarum ke kepala orang laki-laki lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (ash-Shahihah no. 226)
Sebagian orang meremehkan permasalahan ini. Mereka beralasan, “Kami tidak terfitnah karena berjabat tangan dengan mereka.” Maka jawabannya adalah bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Beliau sebagai manusia terbaik lagi paling bertakwa tetapi masih tetap menjaga diri dari berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya.
Lalu bagaimana dengan selain beliau shalallahu’alaihi wasallam? Tentu lebih utama untuk menjaga diri darinya.
Berpuasa Sunnah Tanpa Izin Suami
Sekalipun dalam urusan ibadah, seorang istri harus taat kepada suaminya. Syariat mengajarkan kepada seorang wanita agar meminta izin suami saat hendak berpuasa sunnah/nafilah. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
لا يحلّ للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلّا بإذنه
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sunnah/nafilah dalam keadaan suaminya ada, kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim no. 5195, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahuanhu)
Tabarruj ketika Keluar Rumah
Tabarruj (bersolek) saat keluar rumah bagi seorang wanita merupakan perkara terlarang. Tabarruj bisa berbentuk menggunakan minyak wangi, berpakaian ketat, menampakkan perhiasan dan lain-lain.
Terlampau banyak mudharat yang ditimbulkan akibat tabarruj. Maka dari itu, Sang pembuat syariat, Allah ta’ala yang Maha bijak lagi hikmah melarang darinya melaui lisan Rasul-Nya yang mulia,
أيّما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الآ خرة
“Wanita manapun yang memakai minyak wangi maka janganlah ia menghadiri shalat Isya’ bersama kami!” (HR. Muslim no. 444, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahuanhu)
Dalam hal ini, pula hendaknya seorang ibu membiasakan pakaian penutup aurat untuk putrinya. Melatih sejak dini lebih baik sebelum anak terbiasa dengan kebiasaan jelek dalam berpakaian.
Meratap
Ketika ditimpa musibah, banyak dari kalangan wanita yang kurang sabar menghadapinya. Terkhusus ketika ada dari anggota keluarganya yang meninggal dunia. Maka mereka meratapi kematian anggota keluarga tersebut. Ratapan mereka bermacam-macam, ada yang menangis histeris, menangis sambil menjambak-jambak rambut, menyobek-nyobek pakaian, memukul-mukul wajah, dan sebagainya.
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam telah melarang dari perbuatan meratap, sebagaimana perkataan shahabiyah Ummu Athiyah radhiallahuanha (artinya),
“Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam melarang kami dari meratap.” (HR. Abu Dawud no. 2720)
Ancaman Keras bagi Orang yang Meratap
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Meratap itu termasuk perkara jahiliyah. Sesungguhnya wanita yang meratap, apabila dia mati sebelum bertaubat maka Allah memotongkan untuknya pakaian dari cairan aspal dan baju dari lidah api.” (HR. Ibnu Majah no. 1285).
Wabillahit-taufiq.
Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy hafizhahullah