Menyoroti Wali Berperilaku ‘Nyeleneh’
Wali yang berperilaku ‘nyeleneh’ sebagaimana yang dikenal oleh Kaum Shufi sebagai Wali Majdzub, menurut mereka merupakan orang yang ditarik langsung oleh Allah Ta’ala sampai terbuka hijabnya (batas kesadarannya). Dikatakan pula bahwa Wali majdzub merupakan seseorang yang telah tenggelam dipenuhi rasa cinta dan rasa rindunya terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Dalam artian kecintaan Wali Majdzub terhadap Allah Ta’ala melebihi batasan. Sehingga perilakunya nampak seperti mendekati orang gila dan tidak ingat dengan urusan duniawi.
Wali Majdzub jika diperintah shalat terkadang tidak nyambung pikirannya. Dari segi ibadah, Wali Majdzub tidak dikenai taklif (beban) syariat, sama seperti orang gila.
Apakah demikian keadaan seorang yang disebut sebagai wali?
Tentunya kondisi tersebut sangat bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an ketika menyebutkan dan menjelaskan tentang wali Allah. Allah Ta’ala berfirman :
{ أَلَاۤ إِنَّ أَوۡلِیَاۤءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡهِمۡ وَلَا هُمۡ یَحۡزَنُونَ (٦٢) ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ یَتَّقُونَ (٦٣) }
“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [QS. Yunus : 62-63].
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Bahwasannya Wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah ‘Azza wa Jalla tentang mereka sehingga setiap orang yang bertakwa adalah wali-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/278).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, __“Wali Allah ‘Azza wa Jalla adalah orang yang berilmu tentang Allah ‘Azza wa Jalla dan terus-menerus di atas ketaatan kepada-Nya dengan mengikhlaskan peribadatan.”_ (Fathul Bari, 11/342).
Dari beberapa ucapan ulama di atas, sangat jelas bagi kita siapa yang dimaksud dengan wali Allah ‘Azza wa Jalla. Semua ucapan ulama tersebut tidak saling bertentangan walaupun ungkapannya berbeda-beda. Semua pendapat mereka bermuara pada firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam Surat Yunus : 62-63.
Seorang yg mencapai tingkatan wali yang dinilai bahwa ia adalah seseorang yang mencintai Allah Ta’ala, pastinya ia akan menempuh sebab-sebab yang dengannya ia akan mendapatkan kecintaan Allah, tak hanya sebatas pengakuan dan klaim ia cinta kepada Allah namun kosong dari pembuktian cintanya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman :
{ قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِی یُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَیَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورࣱ رَّحِیمࣱ (٣١)}
“Katakanlah (Muhammad), “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. [QS. Ali ‘Imran : 31].
Cinta kepada Allah adalah jenis ibadah yang paling agung dan tanda cinta kepada Allah adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga orang yang tidak mengikuti Rasulullah bukanlah Wali Allah dan ia tidak mencintai Allah. Maka bagaimana mungkin seorang yang majdzub yang hilang akal, berperilaku ‘nyeleneh’ layaknya ‘orang gila’, tidak bisa shalat dan juga tidak mampu melakukan berbagai bentuk perintah syari’at dikatakan bahwa ia adalah seorang yang mencintai Allah atau wali Allah?!
Sungguh klaim yang terlalu dipaksakan dalam menilai seorang sebagai wali Allah Jalla wa ‘Ala.
Sebagian pihak menilai seorang sebagai wali Allah manakala ia mampu melakukan hal-hal di luar kebiasaan manusia, seperti berjalan di atas air maupun terbang di udara atau kemampuan lain yang mereka sebut sebagai karamah.
Lalu Bagaimana kita bisa membedakan antara Wali Allah dan yang bukan Wali Allah (Wali Setan)?
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, __”Apabila dirimu tersamarkan, maka singkaplah dengan tiga keadaan, yaitu: pada shalatnya, dan pada kecintaannya kepada sunnah dan ahlusunnah, atau kebenciannya terhadap mereka, kemudian pada dakwahnya kepada Allah dan para rasul-Nya, memurnikan tauhid, serta mengikuti dan berhukum kepada sunnah.