MENYAMBUT BULAN PENUH BERKAH
Para pembaca rahimakumullah, tidak ada yang pantas untuk dilakukan saat bulan Ramadhan tiba selain menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan suka cita.
Rasa syukurpun menjadi suatu hal yang wajib atas kesempatan yang diberikan Allah untuk bertemu dengan bulan Ramadhan seraya diiringi harapan agar dimudahkan oleh-Nya untuk mengisi hari-harinya dan menghidupkan malam-malamnya dengan amalan-amalan shalih.
Adalah Rasulullah dahulu segera menyampaikan kabar gembira kepada para shahabat manakala bulan yang penuh berkah tersebut tiba dan sekaligus menjelaskan kepada mereka tentang keutamaan-keutamaannya. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda,
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian puasa padanya. Pada bulan tersebut pintu-pintu langit dibuka (dalam riwayat lain, pintu-pintu surga dibuka, pen) dan pintu-pintu neraka ditutup serta setan-setan dibelenggu. Di dalamnya ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa terhalang dari kebaikan malam tersebut sungguh dia telah terhalang dari kebaikan.” (HR. an-Nasa’i 4/129 no. 2106 dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Imam Ibnu Rajab menyatakan, “Hadits ini merupakan dalil tentang diperbolehkannya mengucapkan selamat kepada orang lain atas datangnya bulan Ramadhan. Bagaimana seorang mukmin tidak bergembira dengan dibukanya pintu-pintu surga dan bagaimana seorang yang berdosa tidak bergembira dengan ditutupnya pintu-pintu neraka serta bagaimana seorang yang berakal tidak bergembira dengan adanya waktu dimana setan-setan dibelenggu?!” (Lathaif al-Ma’arif)
Keadaan Para Ulama Salaf Di Bulan Ramadhan
Para ulama salaf sebelum kedatangan bulan Ramadhan senantiasa memohon kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan, karena mereka mengetahui bahwa pada bulan tersebut terdapat kebaikan yang sangat banyak dan keutamaan yang sangat besar.
Kemudian, apabila telah memasuki bulan Ramadhan mereka pun memohon agar Allah memberi kekuatan untuk bisa beramal shaleh. Demikian pula saat bulan Ramadhan telah usai merekapun memohon kepada Allah agar menerima amalan mereka tersebut.
Allah menyebutkan tentang keadaan hamba-hamba-Nya yang berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, karena mereka tahu bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itu bersegera untuk meraih kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (al-Mu’minun : 60-61).
Para ulama salaf senantiasa bersungguh-sungguh dalam beramal, namun disisi lain mereka merasa khawatir apakah amalnya itu diterima ataukah tidak. Semua itu karena pengetahuan mereka tentang kebesaran Allah dan Dia tidak akan menerima suatu amalan kecuali jika dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah.
Mereka tidak menganggap dirinya suci, justru mereka merasa khawatir amalan mereka ditolak. Harapan mereka untuk diterima amalannya lebih membuat mereka cemas daripada ketika melaksanakannya, karena sesungguhnya Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya akan menerima amalan dari orang-orang yang bertakwa.” (al-Maidah : 27).
Mereka dahulu memanfaatkan bulan Ramadhan yang mulia ini untuk beribadah dan mengurangi urusan dunia. Menghabiskan waktu untuk duduk di masjid-masjid Allah dan mereka menyatakan, “Kami ingin menjaga puasa kami dan tidak ingin mengghibahi (menggunjing) siapa pun.” Mereka mempelajari Kitabullah al-Quran.
Waktu yang ada benar-benar dijaga, tidak disia-siakan sebagaimana keadaan banyak orang di masa sekarang ini. Sungguh mereka berusaha menghidupkan malamnya dengan shalat tarawih, membaca al-Qur`an, dan dzikir kepada Allah. Sedangkan siang harinya dilalui dengan berpuasa, dan berbagai amalan kebajikan lainnya.
Mereka tidak mau menyia-nyiakan waktu di bulan tersebut meskipun sekejap, semuanya dimanfaatkan untuk beramal shaleh.
Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan
Termasuk bukti suka cita dan syukur seseorang akan kehadiran bulan Ramadhan adalah berniat mengisinya dengan amalan kebaikan dan ibadah. Berusaha semaksimal mungkin untuk menyempurnakan amalan-amalan tersebut agar mencapai hasil yang memuaskan. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Hendaknya berpuasa karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, bukan karena ingin dilihat (riya’), ingin didengar (sum’ah) atau sekedar ikut-ikutan. Wajib tertanam keimanan dalam diri orang yang berpuasa bahwa Allah yang mewajibkan puasa ini dan juga harapan untuk mendapatkan pahala dengan puasanya. Oleh karena itu, Nabi bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari 3/45 no. 2014 dan Muslim 1/523 no. 175)
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang shalat tarawih pada bulan Ramadhan karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari 1/16 no. 37 dan Muslim 1/523 no. 173)
2. Sebagian kaum muslimin ada yang melaksanakan shalat baik yang fardhu maupun yang sunnah dengan kurang thuma’ninah. Shalat dikerjakan dengan tidak tenang, tidak khusyuk dan terburu-buru. Padahal telah disebutkan dalam beberapa hadits shahih yang menjelaskan bahwa thuma’ninah termasuk salah satu rukun shalat yang harus dipenuhi. Jika salah satu rukun dari rukun-rukun shalat tidak terpenuhi atau ditinggalkan maka shalatnya tidak sah.
3. Bagi seseorang yang shalat tarawih berjamaah, hendaknya menyelesaikan dan menyempurnakannya bersama imam. Karena keutamaan menyelesaikan shalat berjamaah bersama imam sangatlah besar. Rasulullah bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (tarawih) bersama imam hingga selesai maka akan dicatat baginya pahala shalat semalam suntuk.” (HR. at-Tirmidzi 3/368 no. 811). (Lihat Majmu’ Fatawa Bin Baz 15/15)
Fatawa
Orang yang tidak mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, apa yang harus dia lakukan?
Orang yang tidak mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar (masuknya waktu shubuh), wajib baginya untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa pada sisa hari itu, karena sudah masuk Ramadhan.
Tidak boleh bagi orang yang mukim (bukan musafir) dan orang sehat melakukan salah satu dari perkara yang membatalkan puasa. Namun wajib baginya mengganti puasa hari tersebut karena dia belum berniat puasa di malam hari sebelum fajar (shubuh). Rasulullah telah bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barang siapa yang tidak berniat puasa Ramadhan di malam hari sebelum fajar (shubuh) maka tidak ada puasa baginya.” (HR. ad-Daruquthni dengan sanadnya dari `Aisyah)
Ibnu Qudamah menukilkan dalam “al-Mughni” bahwa kewajiban berniat di malam hari adalah pendapat seluruh ahli fiqih dan yang dimaksud adalah puasa wajib sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia tadi.
Adapun puasa sunnah maka boleh niat di siang hari dengan syarat belum melakukan sesuatu dari perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar, karena telah shahih dari Rasulullah yang menjelaskan hal itu. (lihat Fatawa bin Baz : 15/251 )
Jika seorang wanita haid di bulan Ramadhan atau di akhir masa nifasnya dan suci setelah fajar di salah satu hari di bulan Ramadhan, apakah wajib baginya berpuasa pada hari itu atau tidak?
Apa yang harus dia lakukan jika dia mandi dan mulai berpuasa, namun setelah beberapa saat nampak baginya darah haid atau nifas. Apakah dia harus memutus puasanya ataukah hal itu tidak berpengaruh padanya?
Terkait dengan poin yang pertama, yaitu apabila seorang wanita suci dari haid atau nifasnya di pertengahan hari maka dia wajib mandi, shalat dan puasa pada sisa hari tersebut, kemudian mengganti puasa hari tersebut di hari yang lain.
Adapun poin yang kedua, yaitu jika darah haidnya sudah berhenti, kemudian mandi, setelah beberapa saat ternyata melihat cairan merah pudar atau kuning yang keluar, maka jangan dipedulikan, berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah, “Kami dahulu sama sekali tidak mempedulikan adanya Kudroh (cairan merah pudar) dan Sufroh (cairan kuning) yang keluar setelah mandi haid.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Adapun terkait dengan nifas, jika darahnya berhenti sebelum 40 hari, dan mandi, kemudian ada sesuatu yang keluar lagi, maka itu termasuk nifas. Puasa dan shalatnya tidak sah selama nifasnya masih ada, karena masih di masa nifas.
Adapun kalau sudah sempurna 40 hari, lalu mandi dan ternyata ada yang keluar lagi, maka jangan dipedulikan, kecuali jika bertepatan dengan masa kebiasaan haidnya, maka itu adalah haid.
Kesimpulannya, permasalahan ini perlu diperinci. Jika masa haidnya sudah sempurna, lalu mandi, kemudian melihat cairan kembali, maka jangan dipedulikan. Jika masa haidnya belum sempurna, lalu melihat tanda suci di masa haidnya dan mandi lalu keluar darah lagi, maka itu dianggap haid karena masih dalam masa kebiasaan haidnya. Begitu pula perincian dalam masalah nifas. (lihat Muntaqa Fatawa Al Fauzan)
Wallahu a’lam bish shawwab.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam