Khusus

Fatwa-fatwa Seputar Ramadhan

Para pembaca rahimakumullah, kita bersyukur kepada Allah karena kita masih diberi kesempatan untuk melaksanakan puasa Ramadhan khususnya dan ibadah yang lainnya. Semoga ibadah puasa kita dan ibadah-ibadah lainnya diterima di sisi-Nya, amin.

Pada edisi kali ini kami akan mengetengahkan kembali fatwa-fatwa ulama terkait puasa Ramadhan, semoga bermanfaat bagi kita semua.

 

  1. Masih bolehkah makan dan minum (bersahur) hingga menjelang waktu shubuh?

Pertanyaan: Di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini beredar jadwal Imsakiyyah Ramadhan. Jadwal ini khusus berisi waktu-waktu shalat. Namun, dalam jadwal tersebut ditetapkan bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum, -pen.) adalah 10 menit sebelum adzan shubuh. Apakah seperti ini memiliki dasar dalam ajaran Islam?

Jawaban: Saya tidak mengetahui adanya dalil tentang penetapan waktu imsak 10 menit sebelum adzan shubuh.

Bahkan yang sesuai dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah, imsak (yaitu menahan diri dari makan dan minum, -pen.) adalah mulai dari terbitnya fajar shadiq (tanda masuknya waktu shubuh). Dasarnya adalah  firman Allah (yang artinya), “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (al-Baqarah: 187)

Juga dasarnya adalah sabda Nabi, “Fajar ada dua macam: [Pertama] fajar yang diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk shalat (yaitu fajar shadiq, fajar sebagai tanda masuknya waktu shubuh, -pen.) dan [Kedua] fajar yang diharamkan untuk shalat shubuh dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang muncul sebelum fajar shadiq, -pen).” (HR. Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim, shahih, lihat ash-Shahihah no. 693)

Dasarnya lagi adalah sabda Nabi, “Bilal biasa mengumandangkan adzan di malam hari. Makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.” (HR. al-Bukhari no. 623 dan Muslim no. 1092).

Seorang periwayat hadits ini mengatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta dan beliau tidaklah mengumandangkan adzan sampai ada yang memberitahukan padanya “Waktu shubuh telah tiba, waktu shubuh telah tiba.” Hanya Allah lah yang memberi taufiq. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz, 15/281-282]

  1. Bagaimana hukum menggunakan pasta gigi, dan obat tetes pada telinga, hidung, juga mata bagi orang berpuasa? Jika orang yang berpuasa merasakan obat tersebut di tenggorokannya, apa yang harus dia lakukan?

Jawaban: Membersihkan gigi dengan pasta gigi tidak membatalkan puasa, seperti siwak. Tetapi seseorang harus berhati-hati, jangan sampai ada sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokannya, jika ada sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokan tanpa disengaja, maka tidak apa-apa dan ia tidak perlu mengqadha` (mengganti) puasanya.

Demikian pula obat tetes pada mata dan telinga, seseorang tidak menjadi batal puasanya karena hal itu, ini menurut pendapat para ulama yang paling kuat.

Sedangkan obat tetes pada hidung, maka hal itu tidak boleh dilakukan orang yang berpuasa, karena hidung termasuk lubang masuknya makanan dan minuman. Karena itulah Rasulullah bersabda,

وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

Bersungguh-sungguhlah saat istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung ketika berwudhu, pen), kecuali jika kamu berpuasa.” (HR. Abu Dawud no. 142, dengan sanad yang shahih, lihat al-Misykah no. 405)

Jadi, siapa pun yang meneteskan obat ke dalam hidung, maka batal puasanya dan ia wajib mengqadha` puasa sesuai hadits di atas. Demikian pula yang serupa dengan obat tetes pada hidung, jika seseorang mendapati rasanya dalam tenggorokan, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha` pula. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua. [Lihat Tuhfah al-Ikhwan karya asy-Syaikh Ibnu Baaz  hal. 175]

  1. Apa hukum tidak berpuasa bagi orang sakit dan musafir?

Jawaban: Barang siapa sakit atau musafir, maka boleh baginya tidak berpuasa, bahkan mustahab (sunnah) dan dianjurkan untuk berbuka, berdasarkan firman Allah (artinya), “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 185) dan sabda Rasulullah,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

Sesungguhnya Allah menyukai jika keringanan hukum-Nya dikerjakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan dikerjakan.” (HR. Ahmad)

Hal itu semua dengan syarat, sakit  yang memberatkan si penderita jika berpuasa. Adapun jika tidak memberatkan, maka tidak boleh berbuka karena tidak termasuk udzur.

Adapun bagi musafir, maka berbuka adalah sunnah sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Akan tetapi jika seorang muslim mengetahui bahwa tidak berpuasanya  ketika safar akan memberatkan dan membebani dirinya saat mengganti di masa yang akan datang dan dia khawatir puasa tersebut berat baginya, lalu dia bertahan untuk berpuasa dengan beberapa pertimbangan tersebut maka yang demikian itu baik dan tidak mengapa baginya, sama saja apakah kendaraannya nyaman atau tidak. (lihat Fatawa bin Baz: 15/ 234, 235)

  1. Apakah menelan ludah membatalkan puasa?

Jawaban: Ludah tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan ulama, dan tidak mungkin ada yang mengatakan bahwa dia membatalkan. Akan tetapi jika sengaja mengumpulkan ludah lalu menelannya, sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu membatalkan. Namun pendapat yang benar, tidak membatalkan karena dia tidak memasukkan makanan atau minuman ke dalam rongga tubuhnya. Ludah berasal dari rongga tubuh dan kembali kepadanya.

Berdasarkan hal ini, menurut pendapat yang kuat, dahak juga tidak membatalkan walaupun sudah di mulut dan ditelan. Akan tetapi hendaknya seseorang tidak menelan dahaknya karena para ulama melarangnya dari sisi sebagai kotoran yang tidak pantas untuk ditelan.

Adapun berkumur-kumur karena haus, apakah membatalkan? Jika airnya ditelan, tidak diragukan lagi bahwa hal itu membatalkan, namun jika tidak ditelan maka tidak membatalkan. (lihat Silsilah Liqa Al Bab al Maftuh Ibnu Utsaimin: 153)

  1. Darah yang keluar dari orang yang berpuasa.

Pertanyaan: Bagaimana jika ada darah yang keluar dari orang yang berpuasa, seperti darah mimisan misalnya?

Berikutnya, apakah diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk mendonorkan darah, atau mengambil sedikit darahnya untuk diperiksa di Laboratorium?

Jawaban: Keluarnya darah dari orang puasa seperti darah mimisan, istihadhah, atau darah lainnya tidaklah membatalkan puasa. Karena darah yang membatalkan puasa hanyalah darah haid, nifas dan darah bekam.

Berikutnya, tidak mengapa bagi orang yang berpuasa itu mengambil darahnya untuk diperiksa di laboratorium jika memang diperlukan, puasanya tetap sah dan tidak batal karena hal itu.

Adapun donor darah, maka yang     lebih selamat adalah mengakhirkannya sampai ia berbuka puasa, karena darah yang diambil ketika donor adalah sangat banyak, mirip seperti bekam. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua. [Lihat Tuhfah al-Ikhwan karya asy-Syaikh Ibnu Baaz hal. 180]

  1. Bagaimana hukum menggunakan penyemprot mulut di siang hari saat berpuasa, jika seseorang menggunakannya karena sakit asma atau penyakit lainnya?

Jawaban: Hukumnya adalah mubah (diperbolehkan) jika ia terpaksa dan harus menggunakannya, ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (al-An`am: 119)

Juga karena penyemprot mulut itu tidak sama dengan makan dan minum, akan tetapi lebih menyerupai proses pengambilan darah untuk analisa laboratorium, atau suntikan yang bukan infus, yaitu yang bukan menyalurkan makanan atau semisalnya. Jadi, hal itu diperbolehkan. [Lihat Tuhfah al-Ikhwan karya asy-Syaikh Ibnu Baaz hal. 181]

  1. Apabila seorang yang berpuasa mengalami ihtilam (mimpi basah) ketika siang hari di bulan Ramadhan, apakah puasanya batal? Apakah wajib baginya untuk menyegerakan mandi janabah?

Jawaban: Ihtilam (mimpi basah) tidak membatalkan puasa karena terjadi di luar kehendak orang yang berpuasa, dan wajib baginya untuk mandi janabah jika keluar air mani.

Misalnya, ada seseorang mengalami mimpi basah setelah shalat shubuh dan menunda mandi janabah sampai masuk waktu shalat dzuhur, maka yang demikian tidak apa-apa.

Demikian pula seorang suami yang berjima’ dengan istrinya pada malam hari di bulan Ramadhan dan menunda mandi janabahnya sampai masuk waktu fajar/shubuh, yang demikian tidak apa-apa. Karena sesungguhnya Rasulullah pernah berjima’ dengan istri beliau pada malam hari dan masih dalam keadaan junub di waktu shubuh, kemudian beliau mandi janabah dan menjalankan puasa (HR. al-Bukhari no. 1926).

Demikian juga wanita yang haid dan nifas, apabila keduanya suci/bersih pada waktu malam (setelah shalat Isya’, -pen.) maka boleh baginya menunda mandinya sampai waktu shubuh kemudian berpuasa. Tetapi tidak boleh bagi keduanya menunda mandi janabah atau shalat sampai terbitnya matahari. Wajib baginya bersegera mandi janabah setelah masuk waktu shubuh dan menjalankan shalat tepat pada waktunya. Wajib bagi kaum pria untuk bersegera mandi janabah sebelum tiba waktu shubuh agar tetap bisa melaksanakan shalat berjama’ah (di masjid). [Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz, 15/277-278]

  1. Apa hukum suntik pada siang hari bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa?

Jawaban: Berobat dengan suntik bagi orang yang menjalankan puasa ada dua macam :

  1. Suntik yang di dalamnya terdapat zat pengganti makanan dan minuman, maka membatalkan puasa.
  2. Suntik yang di dalamnya tidak terdapat zat pengganti makanan dan minuman, tidak membatalkan puasa karena tidak ada nash yang melarang baik secara lafazh maupun makna. Jenis suntikan seperti ini tidak dihukumi sebagai makanan ataupun minuman. Maka puasanya tetap sah sampai didapati hal-hal yang bisa menyebabkan rusak/batalnya puasa tersebut berdasarkan dalil-dalil syar’i. [Lihat Majmu’ Fatawa al-‘Utsaimin, 19/215]

Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: Tim Buletin al-Ilmu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button