Ipar adalah Maut

Semenjak meniti jenjang pernikahan, secara otomatis seseorang akan berinteraksi dan masuk ke dalam struktur keluarga dari pasangannya, termasuk interaksi dengan ipar.
Agama Islam telah memberikan bimbingan yang terbaik dan sempurna terkait hubungan seseorang dengan iparnya. Demi terjaganya marwah keluarga dan kemaslahatan secara umum serta menutup pintu kemudharatan.
Mari kita simak bersama bimbingan tersebut …
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan dalam sabdanya pada sebuah hadits dari shahabat Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘Anhu :
إياكم والدخولَ على النساء ، فقال رجل من الأنصار : يا رسول الله أفرأيت الحمو ؟ قال : الحمو الموت ” .
“Waspadalah kalian dari tindakan masuk ke tempat kaum wanita (yang bukan mahram)”. Kemudian salah seorang shahabat Anshar bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana menurut pandangan Anda dengan ipar?”Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab : “Ipar adalah maut”. (HR. Al-Bukhari no. 4934 dan Muslim no. 2172).
Salah seorang ulama besar bermazhab Syafi’i, yaitu al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas :
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ipar adalah kematian.” Al-Laits bin Sa’d berkata, “Ipar adalah kakak atau adik laki-laki dari suami, dan orang-orang yang serupa dengannya dari keluarga suami : sepupu laki-laki, dan seterusnya.
Para ahli bahasa sepakat bahwa “أحماء (ahmaa)” adalah kerabat suami seorang wanita, seperti ayah (mertuanya), kakak atau adik laki-laki, keponakan laki-laki, sepupu laki-laki, dan sebagainya.
Adapun sabda Nabi Shallallahu Alaihi waSallam, “Ipar laki-laki adalah kematian,” artinya adalah bahwa rasa takut kepadanya lebih besar daripada yang lain, dan keburukan yang dikhawatirkan muncul darinya. Godaannya lebih besar karena ia memiliki kemampuan untuk menggapai wanita itu dan berduaan dengannya tanpa dicemooh, berbeda halnya dengan orang asing.
Yang dimaksud dengan ipar di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak-anaknya.
Adapun ayah dan anak-anak suami merupakan mahram istrinya dan dibolehkan berduaan dengannya. Kedua golongan tersebut tidak disebut “maut”. Yang dimaksud hanyalah kakak atau adik laki-laki, keponakan laki-laki dari kakak atau adik laki-laki, dan paman (dari jalur ayah) serta sepupu laki-laki, dan kerabat lain seperti mereka yang bukan mahram.
Sudah menjadi kebiasaan orang menganggap lumrah hal tersebut (berduaan dengan istri dari kakak atau adik).
Inilah yang dimaksud “maut”, dan lebih pantas dilarang daripada orang asing, seperti yang telah kami sebutkan. Inilah makna hadits yang benar.
Al-Imam an-Nawawi juga menukilkan dalam penjelasannya tersebut penjelasan al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah:
“Makna “al-maut” (pada hadits ini) adalah berduaan dengan ahma’ (kerabat suami), yang berujung pada perselisihan dan kebinasaan dalam agama, maka disamakan dengan kematian, sehingga ucapannya mendapat penekanan.
Demikianlah Islam menjaga hubungan seorang wanita dengan iparnya. Semoga menjadi pencerahan bagi kita semua. Amin.