Akhlaq

MERAIH KEMULIAAN HAKIKI DENGAN ILMU SYAR’I “Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal”

Sejarah mencatat, kehidupan umat manusia sebelum diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari petunjuk ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan. Tidak heran bila masa itu dikenal dengan masa jahiliah (kebodohan). Ketika kehidupan umat manusia telah mencapai puncak kebobrokannya, Allah subhanahu wata’ala mengutus Rasul pilihan-Nya Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa petunjuk ilahi dan agama yang benar, untuk mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliahan yang gelap gulita menuju kehidupan islami yang terang benderang. Islam adalah agama yang sarat (penuh) dengan ilmu pengetahuan, bahkan sumber ilmu yang terdapat di dalamnya adalah wahyu yang Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dengan perantara malaikat jibril ‘alaihi salam . Allah subhanahu wata’ala Berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An-Najm: 3-4 ) Dengan ilmu inilah Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebatilan. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang Nabi yang terakhir dan sekaligus Rasul yang diutus kepada umat manusia dan jin. Dan para nabi tidaklah meninggalkan warisan kepada umatnya berupa dinar ataupun dirham, akan tetapi yang mereka wariskan adalah “ilmu agama/ilmu syar’i”. Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwasanya Ulama adalah pewaris para Nabi. Mereka adalah manusia yang memiliki kedudukan demikian mulia, pembimbing bagi segenap manusia menuju jalan yang lurus, dan juga penerang disaat manusia berada dalam kegelapan.

Salah seorang Ulama terkemuka bernama Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Al-Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal” dandalilnyaadalah firman Allah subhanahu wata’ala:“Maka ilmuilah! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (Muhammad: 19). Maka dimulailah (perintah-Nya tersebut) dengan Al-ilmu.” Ucapan ini beliau katakan ketika memberi judul suatu Bab di dalam “Shahihul Bukhari”(kitab Al-Ilmu).

Sudah barang tentu di dalam perkataan beliau ini terkandung kaidah penting yang sangat bermanfaat dan perlu untuk kita ketahui bersama. Semoga dengan mengetahuinya bisa bermanfat bagi kita semua. Berikut kajian ringkasnya:
Pentingnya Ilmu Agama

Berikut ini adalah penjelasan singkat dari sebagian Ulama berkaitan dengan perkataan Al-Imam Al-Bukhari di atas.

Asy-Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh berkata:

“Ilmu itu jika ditegakkan sebelum ucapan dan amal, maka akan diberkahi pelakunya biarpun perkaranya itu kecil. Adapun jika ucapan dan amal didahulukan sebelum ilmu dan bisa jadi perkaranya itu sebesar gunung, namun itu semua tidaklah di atas jalan keselamatan…Dan sungguh! Amalan yang sebesar dzarah (setitik) namun didasari ilmu, maka ini lebih besar nilainya daripada amalan laksana gunung tanpa ilmu. Dan Bahwasanya ilmu itu tujuan puncak yang terpenting dan harus diutamakan dari segala sesuatu. Khususnya ilmu yang dapat memperbaiki ibadah, meluruskan aqidah, memperbaiki hati, dan yang bisa menjadikan seseorang itu mudah dalam kehidupannya untuk meniti jalan di atas bukti nyata yang mencocoki Sunnah Rasul, bukan hidup di atas kebodohan.” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul: 11-12)

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin berkata:

“Al-Imam Al-Bukhari berdalil dengan ayat ini (Muhammad: 16) atas wajibnya mengawali dengan ilmu sebelum berkata dan beramal. Dan ini merupakan dalil atsari (yang berdasarkan periwayatan) yang menunjukkan atas insan bahwa berilmu terlebih dahulu baru kemudian beramal setelahnya sebagai langkah kedua.

Dan juga di sana ada dalil ‘aqliyah (yang telah diteliti) yang menunjukkan atas ‘ilmu sebelum berkata dan beramal’. Hal itu karena perkataan dan amalan tidak akan benar dan diterima sehingga perkataan dan amalan tersebut mencocoki syariat, dan manusia tidaklah mungkin mengetahui bahwa amalnya mencocoki syariat kecuali dengan ilmu.” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul: 27-28)

Ibnu Munir/Munayyir di dalam Fathul Bari berkata:

“Mengapa Al-Imam Al-Bukhari membuat Bab Khusus ini? Karena “Al-Imam Al-Bukhari memaksudkan dengan kesimpulannya itu, bahwa ilmu merupakan syarat atas kebenaran suatu perkataan dan amalan. Maka suatu perkataan dan amalan itu tidak akan teranggap kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itulah ilmu didahulukan atas ucapan dan perbuatan.”

Kemudian mengapa ilmu itu harus didahulukan? Karena ilmu itu pelurus niat. Dimana niat itu akan memperbaiki amalan. Hal ini diingatkan oleh Al-imam Al-Bukhari agar tidak ada pemikiran yang muncul “ilmu itu tidak berguna kalau tidak diamalkan”.

Kesimpulannya adalah bahwa kita hendaknya “berilmu sebelum berkata dan beramal” karena ucapan dan perbuatan kita tidak akan berharga bila tanpa ilmu.
B. Anjuran Berilmu Agama

Di dalam Al-Qur’an dan hadits terdapat begitu banyak anjuran yang memerintahkan agar kita berilmu agama. Bahkan sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya. Menyiapkan bagi siapa saja yang berjalan di atas titian ilmu tersebut, balasan yang baik, pahala, ganjaran, dan Dia subhanahu wata’ala mengangkat derajat kedudukan mereka di dunia dan akhirat.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”.{HR. Al Baihaqi dan lainnya dari Anas dan lainnya. Shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-AlBani ِ dalam Shahihul jami’ no.3913}

Al-imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ilmu yang wajib (‘ain) untuk dituntut adalah yang akan menegakkan agama seseorang. Beliau ditanya: Contohnya seperti apa? Jawabnya: yaitu yang seseorang tidak boleh jahil (bodoh/tidak tahu) dalam urusan shalatnya, puasanya, dan sejenisnya .” (Hasyiah Ushul Ats Tsalatsah: 10 dan Adab Syar’iyah: 2/35)

Berarti yang wajib atas manusia untuk beramal dengannya adalah ilmu yang berkaitan dengan dasar-dasar iman, syari’at-syari’at islam, perkara yang wajib ditinggalkan dari hal-hal yang haram, lalu yang dibutuhkan dari muamalat dan yang lainnya. Sebab sesuatu yang wajib itu tidak akan bisa sempurna kecuali dengannya, maka hal itu wajib atasnya untuk dipelajari. Hal ini sebagaimana yang telah diterangkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman An-Najdirahimahullah ketika menjelaskan perkataan Al-Imam Ahmadrahimahullah tersebut di atas.

C. Keutamaan Ilmu Agama, Pencarinya, dan Ulama

Para pembaca yang mulia, sudah suatu kepastian bahwa setiap insan itu pada asalnya dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun.

Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(An-Nahl: 78)

Namun hendaknya setiap pribadi muslim tidak membiarkan dirinya terus menerus dalam keadaan jahil (tidak tahu) akan ilmu agamanya sendiri. Sebab kejahilan itu apabila terus menerus dipelihara dapat mengantarkannya kepada kehinaan dan kerugian yang besar. Sebaliknya ilmu agama (ilmu syar’i) ini adalah satu-satunya ilmu yang dapat mengantarkan seseorang meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhiratnya.

Diantara dalil-dalil yang menerangkan keutamaan ilmu agama, pencarinya dan kemuliaan Ulama adalah sebagai berikut:

1. Pencarinya dimudahkan jalan menuju ke Jannah (surga)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَِريْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا,سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَِريْقًاإِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh sebuah jalan dalam rangka untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Jannah (surga).” (HR. Muslim no.2699)

2. Orang yang berilmu agama akan diangkat derajatnya

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)

3. Orang yang dikaruniai ilmu agama merupakan tanda kebaikan dari Allah subhanahu wata’ala baginya

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ يُرِيْدِاللَّهُ بِهِ خًيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan memfaqihkannya (memahamkan) dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan, barangsiapa yang tidak dijadikan oleh Allah faqih (faham) dalam agama-Nya, menunjukkan bahwa Allah tidak mengijinkan kepadanya kebaikan.”(Miftah Dar As-Sa’adah, 2/246)

4. Ulama adalah Pewaris para Nabi

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

العُلَمَاءُ وَرَ ثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. At-Tirmidzi dari Shahabat Abu Darda t )

Badruddin Al-Kinani rahimahullah berkata: “Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah (kenabian), begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris nabi.” (Tadzkiratus Sami’ hal.29)

5. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala agar ditambahkan ilmu agama

Cukuplah kemuliaan bagi ilmu, dengan Allah subhanahu wata’ala memerintahkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi pilihan untuk berdoa meminta tambahan ilmu, bukan meminta tambahan harta atau yang selainnya dari perkara dunia.:

َوقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Katakanlah (ya Muhammad): “Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu bagiku.” (Thaha: 114)

Masih banyak lagi dalil-dalil yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan ucapan para Ulama dalam hal ini, yang apabila kami cantumkan akan membutuhkan berlembar-lembar kertas, sehingga cukuplah apa yang telah kami sebutkan di atas dari dalil-dalil yang ada. Semoga menjadi dorongan bagi kami pribadi maupun pembaca untuk meraih kemuliaan hakiki tersebut.

D. Menghindari Bahaya Kejahilan

Pembaca yang mulia, demikianlah beberapa bentuk kemuliaan yang Allah subhanahu wata’ala berikan terhadap para pemilik ilmu sehingga tidak sama kedudukannya dengan mereka yang tidak memiliki ilmu. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Katakanlah (ya Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui (jahil)?.”(Az-Zumar: 9)

Sebaliknya orang yang jahil akan ilmu agama-Nya disebutkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai seorang yang buta yang tidak bisa melihat kebenaran dan kebaikan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu adalah al-haq (kebenaran) sama dengan orang yang buta? (tidak mengetahui al-haq).” (Ar-Ra’d: 19)

Hal ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya memiliki penglihatan dan pandangan yang hakiki hanyalah orang-orang yang berilmu. Adapun selain mereka hakikatnya adalah orang yang buta yang berjalan di muka bumi tanpa dapat melihat.

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “ Allah subhanahu wata’ala menolak disamakannya ahlul ilmi dengan selain mereka, sama halnya sebagaimana Allah subhanahu wata’ala menolak persamaan penghuni Al-jannah (surga) dengan penghuni An-nar (neraka):

Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Tidak sama antara penghuni an-nar dengan penghuni al-jannah.” (Al-Hasyr: 20) Miftah Daris Sa’adah, 1/51.

Akhirnya namun bukan yang terakhir, semoga Allah subhanahu wata’ala memberi taufik kepada kita semua untuk senantiasa berilmu sebelum berkata dan beramal. Dan menolong kita untuk meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat dengan mempelajari ilmu agama islam ini yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para Shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di bawah bimbingan Ulama Pewaris Nabi. Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button