Hukum Puasa di Hari yang Meragukan
Al-Imam Shilah bin Zufar Rahimahullah berkata :
“Dahulu kami di sisi sahabat ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhuma. Beliau datang membawa daging kambing panggang, lalu beliau berkata :
“Makanlah kalian.” Akhirnya sebagian orang menjauh dan berkata : “Saya berpuasa”.
Maka ‘Ammar bin Yasir pun menjawab :
“Barangsiapa yang berpuasa di hari yang diragukan (apakah sudah masuk Ramadhan ataukah belum), sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qashim (Rasulullah) shalallahu alaihi wa sallam.”
(HR. Tirmidzi no. 686, cet. Darul Faiha’. Hadits tersebut juga disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari secara mu’allaq dalam kitab Shahihnya).
Al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi rahimahullah berkata :
“Hadits ‘Ammar (di atas, pen) adalah hadits yang hasan shahih.”
Beliau (Al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi rahimahullah) juga berkata :
“Pengamalan hadits tersebut (dipegangi, pen) oleh mayoritas para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para tabi’in yang setelah generasi para sahabat. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq. Mereka membenci berpuasa di hari yang diragukan¹.
Mayoritas ulama berpandangan bahwa apabila seseorang berpuasa di hari yang diragukan tersebut, namun ternyata hari tersebut sudah memasuki Ramadhan, (karena dimakruhkan puasa di hari itu) hendaknya dia membayarnya di hari yang lain.”
Al-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berdalil dengan riwayat ‘Ammar bin Yasir tersebut atas haramnya puasa di hari yang diragukan karena para sahabat tidaklah mengatakan hal tersebut hanya berdasarkan rasionya. Sehingga riwayat di atas tergolong (riwayat) yang marfu’².
Al-Imam ath-Thiibi rahimahullah berkata :
“Beliau (‘Ammar bin Yasir radhiyallahu anhuma) menyampaikan ucapannya secara maushul³ hanya sebagai bentuk mubalaghah (pleonasme) pada puasa di hari yang masih ada sedikit keraguan, menjadi sebab bermaksiat kepada Pemilik Syariat. Lalu bagaimana kiranya dengan puasa di hari yang keraguan padanya benar-benar nampak jelas.”
(Fathul Bari jilid 4 hal. 150-151, cetakan Darul Kutub Ilmiyah).
—————–
¹) Maksudnya adalah hari ketiga puluh dari bulan Sya’ban ketika hilal tidak terlihat karena mendung atau semisalnya, sehingga bisa jadi sudah masuk bagian dari Ramadhan, bisa juga masih bagian dari Sya’ban (lihat Tuhfatul Ahwadzi jilid 3 hal. 425, cet. Darul Faiha’).
²) Perkataan atau ucapan yang dinisbahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
³) Jalan periwayatan yang bersambung kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.