Fatawa

Bunga Bank, Apakah Boleh Dimiliki?

Tidak dapat di pungkiri diera zaman modern ini hadirnya berbagai fasilitas yang denganya dapat menunjang kebutuhan hidup manusia dalam berbagai sektor.

Diantaranya fasilitas jasa penyimpanan/tabungan uang dan jasa transfer uang kemanapun yang diinginkan dengan waktu singkat, yang kebanyakan manusia saat ini tidak bisa terlepas dari kebutuhan ini.

Namun tentunya kita harus merujuk kepada Al Quran dan Hadits-Hadits Nabi terkait dengan hukum segala muamalah, apakah hal itu diperbolehkan ataukah tidak diperbolehkan.

Maka pada tulisan kali ini, akan membahas secara khusus berkaitan dengan hukum jasa penyimpanan/tabungan uang di bank.

Tidak dapat di pungkiri bahwa bank adalah sebuah perusahaan yang menyediakan jasa peminjaman uang dengan sistem riba’ (tambahan biaya yang harus dibayar oleh si peminjam), demikian pula bank juga menjanjikan bagi orang-orang yang menabung/menyimpan uang pada bank tersebut akan mendapatkan bunga bank yang itu juga merupakan riba’, karena pada hakekatnya bank berkeinginan agar masyarakat meminjamkan uang pada mereka dengan pemikat akan memberikan bunga (tambahan) pada tabungan mereka.

Dengan menyadari akan hal ini, tentunya bank tidak akan terlepas dari muamalah riba’.

 

Lalu bagaimanakah hukum  menabung/menyimpan uang di bank???

Dan bagaimanakah hasil dari bunga (tambahan) yang diberikan oleh bank, bolehkah dimanfaatkan???

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan permasalahan ini.

Pertanyaan:

“Ada seorang pemuda yang sedang belajar di Amerika. Dia terpaksa menyimpan uangnya di bank riba. Konsekuensinya, pihak bank memberinya bunga.

Apakah boleh baginya mengambil dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik? Sebab, apabila tidak diambil, akan dimanfaatkan oleh pihak bank.”

Jawaban:

Pertama, seseorang tidak diperbolehkan menyimpan uangnya di bank-bank tersebut karena pihak bank otomatis akan mengambil dan memanfaatkan uang itu untuk usaha.

Perkara yang telah dimaklumi, kita tidak diperkenankan memberikan wewenang kepada orang kafir atas harta kita. Mereka akan menjadikannya sebagai (modal) usaha.

Namun, apabila kondisinya darurat, khawatir hartanya dicuri atau dirampas, bahkan berisiko hilangnya nyawa demi mempertahankannya; tidak mengapa dia menyimpan uangnya di bank-bank tersebut karena darurat.

Apabila dia menyimpannya (di bank itu) karena darurat, dia tidak boleh mengambil apa pun sebagai imbalan. Haram atasnya mengambil sesuatu (faedah). Apabila dia mengambilnya, itu adalah riba’.

Apabila itu adalah riba, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Jika kalian bertobat (dari pengambilan riba), bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. al-Baqarah: 278—279).

Ayat di atas secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya.

Pada hari Arafah, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkhotbah di depan massa yang besar dari kalangan kaum muslimin. Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ

“Ketahuilah bahwa riba jahiliah disirnakan.”

Riba yang telah sempurna transaksinya sebelum Islam, telah disirnakan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. (Beliau juga bersabda),

وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ مِنْ رِبَانَا رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطلبِ فَإِنَّهُ مَوُضُوعٌ كُلُّهُ

Riba yang pertama kali aku sirnakan dari riba-riba kita adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib. Semuanya disirnakan.”

Anda mengatakan, “Apabila uang (bunga) itu tidak diambil, mereka (orang kafir) akan mengambil dan menyalurkannya ke gereja-gereja serta membiayai perang untuk memusnahkan kaum muslimin.”

Jawabannya, apabila saya melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meninggalkan riba, apa pun yang terjadi dari situ tanpa sepengetahuan saya. Saya (hanya) dituntut dan diperintah untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila menimbulkan beberapa mafsadah, itu di luar kuasa saya.

Saya memiliki perkara yang telah ditentukan dari Allah, yaitu :

ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ

“Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (QS. al-Baqarah : 278).

Kedua, kami katakan, “Apakah bunga yang mereka berikan kepada saya termasuk uang saya?”

Jawabannya, itu bukan uang saya. Sebab, boleh jadi mereka mengembangkan uang tersebut dalam sebuah usaha lalu merugi. Maka dari itu, bisa dipastikan bahwa bunga yang mereka berikan kepada saya bukanlah pengembangan dari uang saya.

Bisa pula mereka meraup keuntungan yang berlipat, mungkin pula tidak meraup keuntungan apa pun dari uang saya. Karena itu, tidak bisa dikatakan, “Apabila saya kuasakan sebagian uang saya kepada mereka, mereka akan menyalurkannya ke gereja-gereja atau membeli persenjataan untuk memerangi kaum muslimin.”

Ketiga, kita katakan bahwa mengambil bunga berarti terjatuh kepada apa yang diakui sebagai riba.

Orang tersebut akan mengaku di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala nanti pada hari kiamat bahwa itu adalah riba.

Jika (sudah jelas) riba, mungkinkah seseorang beralasan bahwa itu untuk kemaslahatan, padahal dia meyakini bahwa itu adalah riba? Jawabannya, tidak mungkin. Sebab, tidak ada qiyas apabila dihadapkan kepada nash (dalil).

Keempat, apakah dapat dipastikan bahwa mereka menyalurkan uang tersebut untuk apa yang Anda sebutkan, yaitu untuk kemaslahatan gereja atau untuk perlengkapan perang melawan kaum muslimin?

Jawabannya, tidak dapat dipastikan.

Jika demikian, kalau kita mengambil bunga tersebut, berarti kita telah terjatuh pada larangan yang pasti untuk menghindar dari mafsadat yang belum pasti. Akal menolak hal ini, yakni seseorang melakukan mafsadat yang sudah pasti untuk menyingkirkan mafsadat yang belum pasti, yang mungkin terjadi dan mungkin pula tidak.

Sebab, boleh jadi pihak bank mengambilnya untuk kemaslahatan pribadi. Mungkin pula pihak karyawan bank yang mengambilnya untuk kemaslahatan mereka pribadi. Tidak dapat dipastikan bahwa uang tersebut disalurkan ke gereja-gereja atau untuk membiayai perang melawan kaum muslimin.

Kelima, sesungguhnya apabila Anda mengambil apa yang disebut sebagai ‘bunga’ dengan niat menginfakkan dan mengeluarkannya dari hak milik Anda sebagai upaya untuk lepas darinya, sama saja Anda melumuri diri Anda dengan kotoran untuk diupayakan cara menyucikannya.

Ini tidaklah masuk akal. Justru kita katakan, jauhilah kotoran tersebut terlebih dahulu sebelum Anda terlumuri dengannya. Setelah itu, upayakan cara menyucikannya.

Apakah masuk akal, seseorang berupaya agar pakaiannya terkena kencing dengan maksud membersihkannya apabila telah terkena? Ini tidak masuk akal sama sekali; Anda meyakini bahwa bunga itu adalah riba, lantas Anda berupaya mengambil, menyedekahkan, dan berupaya melepaskan diri darinya.

Justru kita katakan, Anda jangan mengambil bunga tersebut sama sekali. Bersihkan diri Anda darinya!

Keenam, kita katakan bahwa jika seseorang mengambilnya dengan niat tersebut, apakah dia merasa yakin dapat mengalahkan hasrat jiwanya, berlepas diri darinya dengan menyalurkannya untuk sedekah dan kemaslahatan umum?

Sekali-kali tidak. Boleh jadi, pada awalnya dia mengambil dengan niat tersebut. Namun, hatinya mengingatkan dan membisiki agar pikir-pikir dahulu. Apalagi bila dia mendapati nominalnya ternyata sangat besar, 1 juta atau 100 ribu real, misalnya.

Awalnya dia punya azam (keinginan kuat), lalu menjadi berpikir-pikir, setelah itu pindahlah ke kantong pribadi.

Seseorang tidak boleh merasa aman dari bisikan dirinya. Terkadang dia mengambil dengan niat tersebut, tetapi azamnya luntur tatkala melihat nominal uang yang sangat banyak. Dia pun berubah menjadi kikir dan akhirnya tidak mampu mengeluarkannya (sebagai sedekah).

Pernah diceritakan kepada saya, ada seseorang yang terkenal bakhil (pelit). Suatu hari dia naik ke loteng rumahnya dan meletakkan jarinya di telinganya seraya berteriak memanggil para tetangganya, “Selamatkan saya! Selamatkan saya!”

Tetangganya pun tersentak kaget. Mereka berdatangan dan bertanya, “Ada apa denganmu, wahai Abu Fulan?”

Dia berkata, “Saya tadi telah memisahkan harta saya untuk saya keluarkan zakatnya. Namun, saya dapati uang zakat tersebut sangat banyak. Hati kecil saya berkata, ‘Jika orang lain yang mengambilnya, hartamu akan berkurang.’ Maka dari itu, tolonglah saya darinya.”

Ketujuh, sesungguhnya mengambil riba adalah tindakan tasyabuh (menyerupai) orang Yahudi yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

فَبِظُلۡمٍ مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمۡنَا عَلَيۡهِمۡ طَيِّبَٰتٍ أُحِلَّتۡ لَهُمۡ وَبِصَدِّهِمۡ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ كَثِيرًا ١٦٠ وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰاْ وَقَدۡ نُهُواْ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمًا ١٦١

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. an-Nisa : 160—161)

Kedelapan, mengambil riba tersebut mengandung kemudaratan dan celaan terhadap kaum muslimin.

Sebab, ulama Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa Islam mengharamkan riba.

Apabila seorang muslim mengambilnya, mereka akan berkata, “Lihatlah kaum muslimin! Kitab suci mereka mengharamkan riba, tetapi mereka tetap mengambilnya dari kita.”

Tidak syak lagi, ini adalah titik lemah kaum muslimin. Apabila musuh-musuh mengetahui bahwa kaum muslimin menyelisihi agamanya, mereka mengetahui dengan yakin bahwa ini adalah titik kelemahan.

Sebab, kemaksiatan tidak hanya berdampak terhadap pelakunya, tetapi juga kepada Islam secara keseluruhan.

وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةًۖ

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” (QS. al-Anfal : 25).

Perhatikanlah! Para shahabat Radhiyallahu Anhum adalah hizbullah dan pasukan-Nya. Mereka pun bersama dengan sebaik-baik manusia, yaitu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, pada Perang Uhud. Ada satu kemaksiatan yang terjadi pada mereka. Lantas apa yang terjadi? Kekalahan setelah kemenangan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

حَتَّىٰٓ إِذَا فَشِلۡتُمۡ وَتَنَٰزَعۡتُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِ وَعَصَيۡتُم مِّنۢ بَعۡدِ مَآ أَرَىٰكُم مَّا تُحِبُّونَۚ

“Sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai.” (QS. Ali Imran : 152).

Kemaksiatan memiliki pengaruh besar terhadap keterbelakangan kaum muslimin, penguasaan musuh terhadap mereka, dan kekalahan di hadapan musuh-musuh mereka.

Apabila sebuah kemenangan yang ada di depan mata dapat hilang karena sebuah kemaksiatan, bagaimana kiranya dengan sebuah kemenangan yang belum terwujud?

Musuh-musuh Islam sangat bergembira apabila kaum muslimin mengambil riba, walaupun di sisi lain mereka tidak menyukainya. Namun, mereka bergembira karena kaum muslimin terjatuh dalam kemaksiatan sehingga akan terkalahkan.

Satu dari delapan mafsadat yang dapat saya singgung di sini sudah cukup untuk melarang mengambil bunga bank.

Saya kira, apabila seseorang mencermati dan mengamati masalah ini dengan saksama, dia akan mendapati bahwa pendapat yang benar adalah tidak boleh mengambilnya.

Inilah pendapat dan fatwa saya. Apabila benar, itu datangnya dari Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menganugerahkannya. Segala puji untuk-Nya.

Namun, apabila salah, itu dari pribadi saya. Akan tetapi, saya berharap bahwa pendapat tersebut benar berdasarkan dalil-dalil sam’i (Al-Kitab dan As-Sunnah) dan hikmah-hikmah yang telah saya uraikan.”

(Dinukil dari Fatawa Syaikh Ibni Utsaimin, 2/709—713, Fatawa Buyu’ hlm. 120—124).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button