Bertutur Yang Baik dan Berwajah Yang Manis
Buletin Islam AL ILMU Edisi: 5/I/VIII/1431
Sekedar menampakkan yang berseri-seri serta bertutur yang baik sesungguhnya merupakan perkara ringan. Namun demikian, bagi sebagian besar kita hal itu seolah demikian berkat untuk diperhatikan. Yang memprihatinkan, gejala yang menimpa sebagian para penuntut ilmu agama di mana sikap mereka demikian kaku terhadap orang-orang awam.
Berjumpa dengan orang lain adalah perkara yang biasa dalam keseharian kita sebagai makhluk sosial. Karena tak mungkin kita hidup menyendiri dari orang lain.Kita butuh saudara, butuh teman, dan kita butuh orang lain. Yang tak biasa alias luar biasa, bila kita dapat mengamalkan tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kala berjumpa dan berkata. Kenapa demikian? Karena di zaman kita sekarang, adad-adad islam sudah banyak di tinggalkan oleh kaum muslimin. Mungkin karena kebodohan ataupun ketidak pedulian mereka.
Adapula yang berdalil dengan tabiat, yakni ada sebagian daerah di negeri kita ini di mana orang-orangnya bertabiat kaku, cuek, dan sok tak peduli. Sehingga bila bertemu dengan orang yang mereka kenal sekalipun, sikap mereka seperti tidak kenal, tak ada kenal, tak ada senyum, tak ada sapaan. Lebih-lebih bila berjumpa dengan orang yang tak mereka kenal walaupun duduk bersama-sama dalam satu majelis. Ibaratnya kalau kita tidak menegur dan menyapa terlebih dahulu, mereka pun tidak akan menegur dan menyapa, benar-benar cuek dan kaku. Orang-orang seperti ini dijumpai sendiri oleh penulis. Awalnya penulis merasa mungkin punya salah terhadap mereka atau ada sikap yang tidak berkenan di hati mereka sehingga mereka berlaku demikian. Tetapi akhirnya penulis mengerti bahwa memang demikian tabiat umumnya mereka yang tinggal di daerah tersebut. Wallahu al-musta’an.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk berlaku baik kepada sesamanya, rendahhati kepada saudara dan penuh tawadhu’. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, (yang artinya):
“Rendahkanlah sayapmu kepada kaum mukminin” (Al-Hijr:88)
Maksudnya: bersikap lunaklah terhadap mereka dan perbaiki akhlakmu terhadap mereka karena mencintaimu, memuliakan, dan mengasihi mereka. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.435)
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran:159)
Bersikap ramah kepada saudara dan bertutur yang baik jelas merupkan amalan kebaikan, bahkan bila seseorang tidak mendapatkan harta untuk disedekahkannya di jalan Allah subhanahu wa ta’ala maka mengucapkan kalimat yang baik dapat menggantikannya.
‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah bersabda:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Jagalah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma. Namun barangsiapa yang tidak mendapatkan sesuatu yang bisa disedekahkannya, maka dengan (berucap) kata-kata yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 1347 dan Muslim no.2346)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat thayyibah merupakan sesab selamat dari neraka. Yang dimaksud kalimat thayyibah adalah ucapan yang menyenangkan hati seseorang jika ucapan itu mubah atau mengandung ketaatan.” (Al-Minhaj.7/103)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Kalimat thayyibah teranggap sebagai sedekah, dari sisi dimana pemberian harta akan membahagiakan hati orang yang menerimanya dan menghilangkan rasa tidak senang dari hatinya. Demikian pula kalimat-kalimat yang baik, maka keduanya (pemberian harta dan ucapan yang baik) serupa dari sisi ini.” (Fathul Bari, 10/551)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Kata-kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari no.2707 dan Muslim no.2332)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada shahabatnya Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perkara kebaikan walaupun hanya berwajah cerah ketika engkau bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim no.6633)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim: “Disenanginya berwajah cerah ketika bertemu.”
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata,”Hadits ini menunjukkan bahwa berwajah cerah/berseri-seri kepada kaum muslimin dan menunjukkan rasa senang kepada mereka merupakan perkara yang terpuji, disyariatkan, dan diberikan pahala bagi pelakunya.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Cukuplah bagi kita akhlak Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini dan sifat beliau yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an, dan Allah subhanahu wa ta’ala bersihkan beliau dari sifat yang sebaliknya seperti dalam tersebut dalam firman-Nya (yang artinya): “Sekiranya engkau bersikap keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran:159) [Ikmalul Mu’allim bi Fawa’id Muslim, 8/106]
Masih dalam hadits yang disampaikan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senyumanmu di wajah saudaramu (seagama) adalah sedekah.” (HR. At-Tirmidzi no.1956, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Ash-Shahihah no.572)
Maksud hadits di atas, engkau menampakkan wajah cerah, berseri-seri dan penuh senyuman ketika bertemu dengan saudaramu akan dibalas dengan pahala sebagaimana engkau diberi pahala karena mengeluarkan sedekah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Birr wash Shilah, bab Ma Ja’a fi Shana’I Al-Ma’ruf, ketika membahas hadits diatas)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya ketika seseorang bertemu saudaranya ia menunjukkan rasa senang dan menampakkan wajah yang manis/cerah serta bertutur kata yang baik, karena yang demikian ini merupakan akhlak Nabi. Tentunya, sikap seperti ini tidak merendahkan martabat seseorang bahkan justru mengangkatnya. Ia pun mendapatkan pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau selalu cerah wajahnya, tidak kusut ketika bertemu orang lain dan beliau banyak melempar senyuman. Karena, itu sepantasnya seseorang berjumpa saudaranya dengan wajah yang cerah dan mengucapkan ucapan yang baik. Sehingga dengannya ia dapat meraih pahala, rasa cinta dan kedekatan hati, disamping jauh dari sikap takabbur dan merasa tinggi dari hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang lain. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500)
Sungguh wajah yang cemberut ataupun tanpa ekspresi, dingin dan kaku, tidak pantas diberikan kepada sesama muslim, karena hal itu yang menyelisihi apa yang dititahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang seperti itu seharusnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan munafiq karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat kembali mereka adalah jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” (At-Taubah:73)
Meskipun begitu, bila si orang kafir diharapkan mau masuk Islam, kita sepantasnya menampakkan wajah yang manis ketika berjumpa. Namun bila sikap baik kita ini justru menambah kesombongannya dan merasa tinggi daripada kaum muslimin, maka wajah cerah tidak boleh diberikan kepadanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500-501)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah juga menyatakan, “Wajah yang cerah/manis termasuk perkara kebaikan, karena akan memasukkan kebahagiaan pada saudaramu dan melapangkan dadanya. Kemudian bila dengan tutur kata yang baik, akan tercapai dua mashlahat, yaitu wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam sabdanya:
“Takutlah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma.” Maksudnya jadikanlah pelindung antara kalian dan neraka walaupun kalian bersedekah hanya dengan sepotong kurma. Karena, hal itu akan dapat melindungimu dari neraka jika memang Allah subhanahu wa ta’ala menerima sedekah tersebut.
Namun jika kalian tidak mendapatkan sesuatupun yang dapat kalian sedekahkan, maka ucapkan kata-kata yang baik ketika berjumpa dengan saudara seiman. Misalnya engkau berkata kepadanya,
“Bagaimana kabarmu?”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Bagaimana kabar saudara-saudaramu?”
“Bagaimana dengan keluargamu?”
dan yang semisalnya. Karena kalimat-kalimat seperti ini akan meresapkan kebahagiaan di hati saudaramu. Setiap kata-kata yang baik adalah sedekah di sisi Allah subhanahu wa ta’ala . Dengannya akan diperoleh ganjaran dan pahala. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Kebaikan itu adalah akhlak yang mulia.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga besabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/501)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Tulisan Ayat Al-Qur`an atau Basmalah
Tanya:
ِSebagian orang menuliskan ayat Al-Qur`an atau ucapan bismillahir rahmanir rahim di kartu undangan pernikahan atau yang lainnya. Padahal kartu ini bisa saja dibuang di tempat sampah setelah dibaca, terinjak, atau menjadi mainan anak kecil. Lalu apa nasihat anda dalam hal ini?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:
“Si penulis telah melakukan perkara yang disyariatkan yakni menuliskan ucapan tasmiyah (bismillah). Bila ia menyebutkan ayat Al-Qur`an yang sesuai di kartu/surat undangan tersebut maka tidak menjadi masalah. Orang yang menerima kartu/surat undangan tersebut wajib untuk memuliakannya, karena di dalamnya ada ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala . Jangan dibuang di tempat sampah atau di tempat hina lainnya. Kalau sampai kartu/surat undangan bertuliskan ayat Al-Qur`an itu ia hinakan, maka ia berdosa. Adapun si penulisnya tidaklah berdosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan sahabatnya untuk menuliskan ‘Bismillahir rahmanir rahim’ pada surat-surat yang beliau kirimkan. Dan terkadang beliau memerintahkan untuk menulis beberapa ayat Al-Qur`an dalam surat tersebut.
Dengan demikian, orang yang menulis hendaklah menuliskan tasmiyah sesuai dengan yang disyariatkan, dan ia menyebutkan beberapa ayat berikut hadits-hadits ketika dibutuhkan. Sedangkan orang yang menghinakan tulisan tersebut atau surat tersebut, ia berdosa. Semestinya ia menjaganya, atau bila ingin membuangnya (karena sudah tidak terpakai) hendaknya ia bakar atau dipendam. Bila dibuang begitu saja di tempat sampah, menjadi mainan anak-anak, menjadi pembungkus barang atau yang semisalnya, ini tidaklah diperbolehkan.
Sebagian orang menjadikan surat kabar dan lembaran (yang di dalamnya ada ucapan basmalah atau ayat-ayat Al-Qur`an) sebagai alas untuk makanan atau pembungkus barang yang dibawa ke rumah. Semua ini tidak diperbolehkan karena ada unsur penghinaan terhadap surat kabar/majalah/lembaran tersebut sementara di dalamnya tertulis ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semestinya lembaran tersebut disimpan di perpustakaannya, atau di tempat mana saja, dibakar atau dipendam di tempat yang baik. Demikian pula mushaf Al-Qur`an bila telah sobek tidak bisa lagi digunakan, maka mushaf tersebut dipendam di tanah yang bersih atau dibakar, sebagaimana dahulu ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu membakar mushaf-mushaf yang tidak lagi diperlukan.
Kebanyakan manusia tidak memerhatikan perkara ini, sehingga harus diberi peringatan. Sekali lagi untuk diingat, lembaran dan surat-surat (yang ada ayat Al-Qur`an) yang tidak lagi dibutuhkan, hendaknya dipendam dalam tanah yang bersih atau dibakar. Tidak boleh digunakan sebagai pembungkus barang atau yang lainnya, dijadikan alas makan, atau dibuang di tempat sampah. Semuanya ini merupakan kemungkaran yang harus dicegah. Wallahul musta’an.”
(Fatawa Nurun ‘alad Darb, hal. 389-390)