Tradisi Silaturahmi dan Bermaafan di Hari Raya

Idul Fitri merupakan salah satu hari raya dalam ajaran Islam. Salah satu momen yang paling dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, umat Islam merayakan Idul Fitri sebagai tanda kemenangan dan kebahagiaan atas upaya serta kerja keras mereka dalam menjalani ibadah di bulan Ramadhan.
Di negeri kita, Idul Fitri juga menjadi momen untuk saling berkunjung dan menyambung tali silaturahmi, saling berjabat tangan dan mengucapkan selamat kepada tetangga, teman-teman dan sanak famili.
Apakah kebiasaan saling berkunjung di hari Id dibenarkan dalam syariat Islam?
Salah seorang ulama senior di kerajaan Arab Saudi yaitu Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya, apa hukum mengkhususkan hari raya untuk mengunjungi kerabat?
Maka beliau menjawab:
” Tidak mengapa, karena pada hari raya, orang-orang biasanya memiliki waktu luang, berkumpul, dan saling mengunjungi. Tidak ada masalah dengan hal itu, karena ini termasuk dalam kebiasaan (adat), bukan ibadah. Ini merupakan bagian dari adat .” (Fataawa Mawaa’idz wal Kalimaat).
Tentunya, berjabat tangan yang dimaksud adalah kepada sesama mahram, seperti seorang laki-laki berjabat tangan dengan saudarinya, bibinya, dan keponakan perempuannya. Tidak boleh baginya berjabat tangan dengan selain mahramnya, seperti sepupu, atau wanita ajnabiyah (yang bukan mahramnya). Barangsiapa yang melakukannya, maka ancamannya amatlah dahsyat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sungguh jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam as-Shahihah no.226).
Bagi yang belum diberi kesempatan silaturahmi melalui kunjungan langsung ke keluarga, maka masih memungkinkan baginya untuk menyambung tali silaturahmi dengan menghubungi kerabatnya melalui telepon.
Di antara kebiasaan kaum muslimin lainnya ketika di hari raya adalah berjabat tangan dan mengucapkan selamat ketika berjumpa. Kebiasaan ini pun tidak diingkari oleh ulama kita, di antaranya adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika beliau ditanya tentang hukum mengucapkan selamat pada hari raya – baik Idul Fitri maupun Idul Adha – serta kebiasaan orang-orang seperti berjabat tangan, cipika-cipiki, atau saling mengirim pesan setelah shalat Id.
Meskipun mereka sudah bertemu sebelum shalat? Apakah ada dasarnya? Jika ada, bagaimana cara yang benar?
Beliau menjawab:
” Saya tidak mengetahui adanya satupun dalil pada permasalahan ini, tetapi para salaf dahulu saling mengucapkan selamat dengan mengatakan: “Taqabbalallahu minka” (Semoga Allah menerima amalmu), atau “Taqabbalallahu minna wa minka” (Semoga Allah menerima amal kami dan amalmu).” Jadi, jika seseorang bertemu dengan orang lain, berjabat tangan, lalu mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minka” atau “Eid mubarak” (Selamat hari raya), maka tidak ada masalah dengan itu. Ini merupakan kebiasaan sejak masa awal Islam, seperti mengucapkan “Barakallahu laka fil ‘eid” (Semoga Allah memberkahimu di hari raya), atau doa-doa serupa. Itu sudah cukup.
Adapun cipika-cipiki (cium pipi kanan – cium pipi kiri), saya tidak mengetahui adanya dasar khusus untuk itu. Namun, hal ini sudah dikenal di kalangan orang-orang ketika mereka bertemu. Meski begitu, meninggalkannya lebih utama. Cukup dengan berjabat tangan atau mendoakan penerimaan amal saat bertemu, itu sudah cukup.”
Sehingga, dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bahwa tidak mengapa saling berkunjung pada hari raya Idul Fitri, berjabat tangan (tentunya sesama mahram), serta mengucapkan selamat kepada tetangga, teman-teman dan sanak famili.
Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua. Taqabbalallahu minna wa minkum shalihal a’mal. (UMP).