Fiqih

Bolehkah Menyemarakkan Hari Raya?

 

Hari raya umat Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, adalah momen bagi kaum muslimin untuk bersukaria. Pemandangan baju baru, aneka jajan dan makanan, bahkan bagi-bagi uang kepada anak-anak dan sanak saudara adalah hal yang lumrah di negeri kita.

Hal-hal yang bersifat seremonial dan bersenang-senang adalah dibolehkan di hari raya, selama masih dalam batasan syariat. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati hari-hari tasyriq (termasuk rangkaian hari raya Idul Adha) sebagai hari makan, minum dan berzikir mengingat Allah. (HR. Muslim).

Tak hanya itu, Rasulullah juga melarang umatnya untuk berpuasa di hari raya, sebagaimana disebutkan oleh shahabat Abu Sa’id al-Khudri. (Muttafaqun ‘alaihi).

 

Memakai pakaian baru dan bagus, juga perkara yang boleh dilakukan, bahkan bisa bernilai sunah.

Pernah suatu hari, shahabat Ibnu Umar membawa pakaian jubah dari sutra yang indah dari pasar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, belilah pakaian ini, dengannya Anda bisa berhias diri di hari raya dan ketika datang delegasi.”

Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pakaian itu, karena terbuat dari sutra yang laki-laki dilarang memakainya. (HR. Al-Bukhari [948]).

Akan tetapi, kita bisa memetik pelajaran dari kisah ini, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menolak perkataan Ibnu Umar terkait berhias diri di hari raya. (Fathul Bari [2/509]).

Bahkan disebutkan oleh Imam Ibnul Qoyyim (w. 751) rahimahullah, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian yang paling indah untuk keluar di dua hari raya. Beliau biasa memakai pakaian khusus ketika hari raya dan hari Jum’at. Pernah beliau memakai dua pakaian burdah berwarna hijau, dan pernah memakai kain burdah berwarna merah.” (Zadul Ma’ad [1/553]).

 

Momen hari raya juga dibolehkan untuk mempertontonkan atraksi atau unjuk keterampilan yang mubah. Sebagaimana dahulu di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang Habasyah menunjukkan atraksi keterampilan bermain tombak di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi).

Bahkan, memainkan duf (sejenis kendang) boleh dilakukan di hari raya bagi para wanita. Sebagaimana hal ini juga terjadi di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketia dua orang anak wanita menabuh duf di hadapan Nabi sambil melantunkan syair. Abu Bakar yang melihat kejadian itu berusaha mengingkari dan menyatakan, “Apakah seruling setan ada di rumah Nabi?”

Namun, Rasulullah menjawab Abu Bakar:

دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ

“Biarkan mereka berdua, Abu Bakar, karena ini adalah hari-hari raya.” (Muttafaqun ‘alaih).

 

Segala hal yang menunjukkan kegembiraan dan kenikmatan adalah dibolehkan selama hari raya. Hal itu termasuk unjuk kenikmatan yang dicintai oleh Allah Ta’ala, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

 

“Sesungguhnya Allah suka apabila melihat pengaruh nikmat-Nya ada pada hamba-Nya.”(HR. At-Tirmidzi [2819]).

 

Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam (w. 1423H) rahimahullah menyatakan, “Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua hari raya kaum muslimin, padanya mereka menunjukkan kegembiraan dan euforia, karena keduanya adalah hari bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat ibadah puasa Ramadhan dan manasik haji beserta sembelihan. Dua hari tersebut adalah hari menumpahkan kegembiraan dan melakukan hal-hal yang mubah dan bagus.” (Taudhihul Ahkam [3/544]).

Sehingga, boleh-boleh saja seorang muslim membuat berbagai acara yang terlihat “wah” di hari raya. Baik dengan membuat aneka makanan, memperindah pakaian, menghiasi ruangan, memakai wewangian dan sebagainya, selama tidak melanggar batasan syariat.

 

Di antara batas syariat adalah tidak berbuat berlebihan dan mubazir. Dan cukup seorang dikatakan mubazir ketika mengeluarkan harta untuk perkara yang bukan hak atau untuk keharaman.

Mujahid rahimahullah menyatakan: “Kalau sekiranya ada orang yang menginfakkan seluruh hartanya dalam perkara yang hak, maka itu bukan mubazir. Dan kalau dia menginfakkan hartanya dalam perkara yang bukan hak meskipun hanya satu mud (tangkupan tangan) saja, maka terhitung tabdzir.” (Tafsir Ibnu Katsir [5/69]).

 

Termasuk berlebihan juga, ketika seseorang memaksakan diri untuk mengadakan acara di hari raya, dalam keadaan ia tidak punya harta, sehingga ia harus berhutang sana-sini yang memberatkan dirinya di kemudian hari.

Tentu, perkara yang paling baik adalah yang pertengahan. Tidak berlebihan sehingga melanggar aturan syariat, dan tidak membiarkan hari raya berlalu begitu saja sebagaimana hari-hari biasa. Wallahu a’lam. (UFHR).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button