Siroh

‘Aisyah bintu abi bakr Belahan Jiwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam

EDISI 39 SIRAH 1 uploadFigur kali ini bukanlah wanita biasa. Seorang wanita yang memiliki ketulusan hati yang begitu menawan. Membicarakannya ibarat menguntai butir-butir mutiara, lantaran pribadinya yang sarat keutamaan. Beliau tampak istimewa di antara segenap kaum hawa. Tak heran, demikian berarti pula kedudukannya di hati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

          Namanya tak asing di benak kaum muslimin. ‘Aisyah bintu Abi Bakr ash-Shiddiq al-Qurasyiyyah at-Taimiyyah. Ibunya adalah Ummu Ruman bintu ‘Amir al-Kinaniyyah. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dilahirkan sekitar tujuh tahun sebelum hijrah. Beliau delapan tahun lebih muda dari Fathimah putri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

          Keharuman namanya terukir indah dalam sejarah. Berparas jelita, berkulit putih, hingga disebut untuknya panggilan al-Humaira’ (putih kemerahan). Tumbuh dalam naungan cahaya Islam dan tarbiyah yang lurus. Masa kanak-kanak bersama ayahanda kemudian beralih dalam bimbingan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

          Di dalam mimpi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, seorang malaikat membawa sosok yang berselubung potongan kain sutra. Malaikat tersebut mengabarkan bahwa sosok tersebut akan menjadi istri Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menyingkap kain tersebut, dan ternyata ‘Aisyah berada di dalamnya. Inilah wahyu yang datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

          Suatu hari, beberapa belas bulan sebelum peristiwa hijrah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk meminangnya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha baru berusia enam tahun ketika pernikahannya dengan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam berlangsung. Meski telah menjadi istri, namun beliau masih menjalani hari-hari bersama ayah bundanya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga turut berhijrah bersama keduanya.

          Tiga tahun berselang, di kota Madinah, sekembalinya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Badr. Ketika itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menapaki usia 9 tahun sedang bermain ayunan layaknya anak-anak seusianya. Beliau pun didatangi sekelompok wanita yang kemudian mendandani dan mempersiapkan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk suatu hal yang istimewa. Hari itu adalah hari bertemunya beliau dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Itu pula saatnya memasuki mahligai rumah tangga bersamanya.

          Dijalaninya suka duka kehidupan bersama kekasihnya dengan ketulusan hati. Begitu patuh, jauh dari sikap menuntut, dan tidak manja. Kefakiran dan rasa lapar dilaluinya dengan kesabaran, sampai pun tatkala api di dapurnya tak menyala dalam hari-hari yang panjang. Hanya ada kurma dan air. Selama sembilan tahun berikutnya, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendampingi sang Suami sebagai sebaik-baik istri.

          Banyak kisah yang menggambarkan keindahan akhlak seorang istri pada dirinya. Terselip padanya hal-hal yang menyenangkan hati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, di antara berat dan payahnya perjalanan dakwah.

          Bersama sang Permaisuri, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah tertawa sampai tampak gigi-gigi geraham beliau. Pernah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berlomba lari dengan istri beliau ini, terulang hingga dua kali. Pernah pula beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajak sang Istri menyaksikan permainan tombak yang diperagakan oleh orang-orang Habasyah di masjid.

          Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengenal ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai-sampai beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tahu kapan ‘Aisyah ridha terhadapnya dan kapan pula sebaliknya. Tidaklah istri yang shalihah ini marah terhadap suaminya, melainkan hanya dengan meninggalkan sebutan namanya. “Tidak, demi Rabb Muhammad!”, ini ucapan ketika ‘Aisyah ridha. Dan, “Tidak, demi Rabb Ibrahim!”, kalimat yang muncul kala sang Humaira’ sedang marah.

          Tak samar lagi kecintaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Para shahabat mengambil kesempatan ini. Mereka yang ingin memberikan hadiah kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya akan menunggu saatnya beliau berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

          Istri-istri Rasul terbagi menjadi dua kelompok. ‘Aisyah bersama Hafshah, Shafiyyah, dan Saudah. Di sisi yang lain ada Ummu Salamah bersama istri-istri yang lain. Wanita-wanita yang mulia, bersamaan dengan itu mereka tak lepas dari kecemburuan layaknya para istri. Semua itu dalam rangka memperebutkan kasih sayang dari sang khairul anam.

          Dimintalah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha untuk menyampaikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar mengimbau para shahabat, siapa saja yang ingin memberikan hadiah hendaknya memberikannya di mana pun Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berada. Kali pertama dan kedua Ummu Salamah menyampaikan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam. Hingga ketiga kalinya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun berujar, “Wahai Ummu Salamah, janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan ‘Aisyah. Demi Allah, tidaklah turun wahyu kepadaku di saat aku berada di dalam selimut salah seorang dari kalian, kecuali ‘Aisyah.” Segera Ummu Salamah bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

          Berikutnya, mereka mengutus Fathimah radhiyallahu ‘anha kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menimpali, “Wahai putriku, tidakkah engkau mencintai apa yang aku cintai?””Tentu”, jawab Fathimah.”Cintailah dia”, sahut Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kembalilah Fathimah radhiyallahu ‘anha dan mengabarkan kepada istri-istri Rasululah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meminta lagi, namun Fathimah radhiyallahu ‘anha menolaknya.

          Kali terakhir, mereka mengutus Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha. Datanglah Zainab membawa pesan yang sama. Zainab radhiyallahu ‘anha pun agak meninggikan suara sampai terdengar oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang ketika itu sedang duduk. Zainab radhiyallahu ‘anha berucap tentang ‘Aisyah, sampai-sampai Rasulullah memandang kepada ‘Aisyah, apakah beliau akan berbicara. Maka berbicaralah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab ucapan Zainab sampai membuatnya terdiam. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun memandangi ‘Aisyah dan menyatakan, “Sesungguhnya dia adalah putri Abu Bakr.”

          Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan salam dari Malaikat Jibril untuk wanita mulia ini, “Wahai ‘Aisy, ini Jibril, dia menyampaikan salam kepadamu.”

          Sebutir mutiara yang berkilau dan sangat berharga dalam perjalanan hidup ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ketika itu usianya baru dua belas tahun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak menimpakan ujian kepada hambanya yang belia ini, sekaligus membuktikan kesucian dirinya. Peristiwa ini dikenal dengan Haditsul Ifk (Berita Dusta).

          Alkisah, dalam kepulangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Perang Muraisi’/Bani Mushthaliq tahun 5 H. Rombongan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tengah beristirahat, lalu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha -yang saat itu berkesempatan mendampingi beliau- keluar dari sekedupnya dan pergi menunaikan hajat. Sekembalinya, beliau radhiyallahu ‘anha merasa kehilangan kalung yang dikenakannya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha lalu keluar mencarinya. Rombongan melanjutkan perjalanan tanpa menyadari ketiadaan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau radhiyallahu ‘anha tertinggal, hanya bisa berharap rombongan itu akan kembali. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun duduk menunggu sendirian hingga tertidur.

          Shafwan bin al-Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu tertinggal jauh dari rombongan. Ketika sampai di tempat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Shafwan ber-istirja’ demi melihatnya, hingga ‘Aisyah terbangun. Tanpa berbicara, Shafwan menderumkan untanya untuk ‘Aisyah dan membelakangi. Keduanya pun melanjutkan perjalanan dengan posisi Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas unta, sedangkan Shafwan bin al-Mu’aththal berjalan kaki menuntun tali kekangnya hingga bisa menyusul rombongan.

          Dengan kejadian itu, gemparlah kaum muslimin. Orang-orang munafik menyebarkan berita dusta tentang keduanya. ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik berandil besar dalam hal ini. ‘Aisyah sendiri tak segera mendengarnya lantaran jatuh sakit sebulan lamanya. Beliau hanya merasakan hilangnya kelembutan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana biasanya ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sakit.

          Sebulan berlalu, belum lagi pulih dari sakitnya, sampai juga berita itu pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Pukulan berat baginya yang masih belia, hingga bertambah parah sakitnya. Beliau lalu meminta izin kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk tinggal sementara waktu bersama orang tuanya. Dari sang Ibu, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun tahu kepastian berita yang tersebar.

          Kegalauan yang demikian hebat meliputi hati ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Air mata tak henti-hentinya mengalir, menangis selama sehari dua malam. Seolah terbelah hatinya. Bagaimana tidak, sang kekasih belum beroleh wahyu, sementara kedua orang tuanya tak hendak mendahului Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam demi membela putrinya.

          Di puncak kesempitan hatinya, tatkala harapan dan keyakinannya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, turunlah wahyu ilahi yang terabadikan dalam al-Qur’an. Suatu hal yang sama sekali tak terbetik dalam benak ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, walaupun beliau yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membebaskannya. Surah an-Nur: 11-21 laksana pembela bagi ‘Aisyah, pelipur lara, sekaligus bentuk pemuliaan baginya. Anehnya, ada pihak-pihak yang mengaku Islam, namun berakidah sesat menikam ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Mereka berpegang dengan berita dusta warisan si gembong munafik tersebut dengan mencampakkan wahyu ilahi yang terdapat dalam surah an-Nur di atas.

          Berlalu hari-hari mendampingi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sampai saatnya berpisah. Sang kekasih meninggal di pangkuannya, setelah sebelumnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sakit dan meminta untuk di rawat di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam pun dikuburkan di kamar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Waktu itu, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha baru berusia 18 tahun.

          Sisa usia yang masih panjang, beliau habiskan sebagai Ummul Mukminin dengan penuh keteladanan. Kemuliaan demi kemuliaan terkumpul apik pada dirinya.

          ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah seorang yang sering berpuasa, selain juga gemar bersedekah. Suatu ketika beliau radhiyallahu ‘anha pernah mendapatkan uang sebesar seratus ribu dirham. Sore harinya, seluruh uang itu telah disedekahkan. Tatkala meminta sesuatu untuk berbuka, berkatalah budak wanitanya, “Wahai Ummul Mukminin, tidakkah engkau membeli daging untuk kita dengan satu dirham saja? “‘Aisyah tersadar,” Jangan engkau menegurku, seandainya tadi engkau mengingatkanku niscaya akan kulakukan.”

          Pernah pula, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyedekahkan uang sebesar tujuh puluh ribu dirham kepada kaum muslimin. Bersamaan dengan itu, beliau sendiri membutuhkannya dan terdapat tambalan pada pakaiannya.

          Kehidupannya sarat dengan nuansa ilmu. Beliau mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Demikian pula para penuntut ilmu banyak belajar dan bertanya padanya. Berkata Abu Musa al-‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, “Tidaklah terjadi satu saja permasalahan yang rumit bagi kami, para shahabat Muhammad, lalu kami menanyakannya kepada ‘Aisyah, kecuali kami mendapati ilmu tentang hal itu di sisinya.”

          Suatu hari, khalifah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu membagikan uang sebesar sepuluh ribu dirham kepada setiap istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun untuk ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ditambah dua ribu dirham. Lantas ‘Umar berujar, “Sesungguhnya beliau adalah istri kesayangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”

          Menjelang wafatnya, datanglah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu. Semula ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha enggan menerimanya karena tak ingin mendengar pujian darinya. Hingga akhirnya, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu masuk lalu menyampaikan sanjungannya sebagai kabar gembira tentang keutamaan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Tatkala Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu telah pergi dan datang Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu setelahnya, berkatalah wanita mulia ini, “Ibnu ‘Abbas datang dan menyanjungku, padahal aku ingin agar diriku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.”

          Tepat pada tahun 57 H, beliau wafat pada usia 63 tahun lebih di masa khalifah Marwan bin ‘Abdil Malik. Wanita mulia ini meninggal pada malam 17 Ramadhan dan dikebumikan di pekuburan Baqi’.

          Sungguh benar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda tentangnya, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid atas seluruh makanan. “Tsarid adalah makanan lezat dari adonan tepung yang dicampur kuah daging, terkadang disertakan pula dagingnya. Duhai, belahan jiwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

          Wallahu a’lam bish shawab

Penyusun: Ustadz Muhammad Hadi hafidzahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button