Aqidah

Beriman kepada Kitab-kitab Allah

Di antara bentuk rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya adalah Dia mengutus para rasul untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus dan menurunkan kitab-kitab-Nya yang di dalamnya berisi cahaya dan hidayah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ

“Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 213)

Di antara ciri orang beriman sekaligus syarat kesempurnaan imannya adalah beriman kepada kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“Katakanlah (wahai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan kitab yang diturunkan kepada kami, dan kitab yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan kitab yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kitab yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 136)

Ayat di atas menunjukkan kewajiban beriman kepada para nabi dan rasul, dan beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.

Beriman kepada kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala merupakan salah satu rukun iman. Yakni meyakini dengan keyakinan yang kuat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki kitab-kitab yang Dia turunkan kepada para rasul yang dikehendaki-Nya, Dia turunkan dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang terang. Kitab-kitab tersebut adalah Kalamullah (Firman/ Perkataan Allah) bukan makhluk. Maka wajib beriman secara global kepada semua kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala, dan wajib beriman secara rinci kepada kitab-kitab yang disebutkan namanya secara rinci.

Beriman kepada Kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala mencakup beberapa hal berikut:

1. Mengimani bahwa kitab-kitab tersebut benar-benar turun dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

2. Beriman terhadap kitab yang kita ketahui nama-namanya. kita mengimaninya sesuai dengan namanya, seperti beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan kitab Al-Qur`an. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Al-Baqarah: 185)

Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Taurat kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (terdapat) petunjuk dan cahaya (yang menerangi).” (Al-Ma`idah: 44)

Allah subhanahu wa ta’ala juga menurunkan Injil kepada Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam:

“Dan Kami iringkan jejak mereka (para nabi Bani Israil) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat, dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya (terdapat) petunjuk dan cahaya (yang menerangi).” (Al-Ma`idah: 46)

Demikian juga Zabur, Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihis salaam:

“Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.” (Al-Isra`: 55)

Allah subhanahu wa ta’ala juga memberitakan tentang Shuhuf Ibrahim dan Shuhuf Musa dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang dahulu, (yaitu) Shuhuf Ibrahim dan Musa.” (Al-A’la: 18-19)

3. Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Seperti berita-berita dalam Al-Qur`an, dan berita-berita dalam kitab-kitab sebelumnya yang belum mengalami perubahan atau penyimpangan.

4. Mengamalkan hukum-hukum dalam kitab-kitab tersebut selama tidak dihapus (mansukh), dengan penuh ridha dan penerimaan, baik kita memahami hikmah di balik hukum-hukum tersebut ataukah tidak. Adapun kitab-kitab terdahulu maka semuanya telah dihapus dengan kitab Al-Qur`anul Karim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai muhaimin terhadap Kitab-Kitab yang lain itu.” (Al-Ma`idah: 48)

Muhaimin yakni sebagai hakim terhadap kitab-kitab terdahulu. Atas dasar itu tidak boleh mengamalkan hukum apapun yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu kecuali jika dibenarkan dalam Al-Qur`an.

 

Al-Qur`anul Karim kitab paling mulia

Al-Qur`anul Karim adalah kitab termulia, diturunkan kepada Nabi paling utama, dengan membawa syari’at paling mulia. Al-Qur`an merupakan kitab terakhir, membenarkan kitab-kitab terdahulu sekaligus menyempurnakan syari’at-syari’at sebelumnya. Kitab inilah yang umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya diwajibkan untuk mengikuti syari’at-syari’atnya dan berhukum dengannya, bersama dengan As-Sunnah yang juga merupakan wahyu yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Nabi-Nya di samping Al-Qur`an.

“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu.” (An-Nisa`: 113)

Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur`an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dijadikan pedoman hukum, sekaligus sebagai obat penyakit yang ada di dada, penjelasan segala sesuatu, hidayah, dan rahmat bagi kaum mukminin. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur`an agar manusia membacanya dengan penuh tadabbur (memperhatikan), mengikutinya, dan mengamalkan kandungannya. Sebagaimana firman-Nya l:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka mentadabburi ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shad: 29)

“Dan Al-Qur`an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang penuh berkah, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kalian diberi rahmat.” (Al-An’am: 155)

Maka barang siapa membaca Kitabullah dengan penuh tadabbur, mengikutinya, dan mengamalkan kandungannya berarti benar-benar telah beriman dengan kitab tersebut. Sebagaimana pujian Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan penuh tadabbur (sehingga mengikutinya dengan sebenarnya), mereka itu orang-orang yang beriman kepadanya, dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Baqarah: 121)

Mereka adalah orang-orang yang menghalalkan apa yang dinyatakan halal dalam Kitabullah, mengharamkan apa yang dinyatakan haram dalam Kitabullah, mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas), mengimani ayat-ayat yang mutasyabih (yang butuh penjelasan), mereka adalah orang-orang yang berbahagia, yang mengerti nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat besar ini dan bisa mensyukurinya.

Kitab Taurat dan Injil yang ada di tangan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen tidak diragukan lagi adalah kitab-kitab yang tidak sah penisbatannya kepada Nabi Musa dan kepada Nabi ‘Isa w. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa kitab Taurat yang ada di tangan Yahudi adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam, tidak pula bisa dikatakan bahwa kitab Injil yang ada di tangan Kristen adalah Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa q. Sehingga kedua kitab tersebut yang ada di tangan Yahudi dan Kristen bukanlah Taurat dan Injil yang kita diperintah untuk mengimaninya secara rinci.

Hal itu disebabkan telah terjadi penyelewengan, pemalsuan, dan perubahan yang dilakukan oleh tangan-tangan lancang orang-orang Yahudi dan Kristen terhadap kitabnya masing-masing. Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala terangkan dalam Al-Qur`an, di antaranya pada surah Al-Baqarah: 75, al-Ma`idah: 13-15, dan lainnya. Di samping penegasan Al-Qur`an, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Taurat dan Injil yang ada tidak sah dinisbahkan sebagai kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala, antara lain:

1. Taurat dan Injil yang sekarang ada di tangan Yahudi dan Kristen bukan naskah aslinya, namun terjemahannya.

2. Dalam naskah Taurat dan Injil yang ada tersebut telah tercampur antara Firman Allah subhanahu wa ta’ala dengan perkataan manusia.

3. Baik Taurat maupun Injil yang ada tersebut dibukukan setelah wafatnya Nabi Musa dan Nabi ‘Isa w dengan terpaut waktu yang sangat lama. Sementara tidak ada rantai periwayatan terpercaya antara zaman penulisan hingga Nabi Musa maupun Nabi ‘Isa. Semakin menguatkan hal ini, Injil muncul dalam beberapa naskah, ada Injil Matius, Injil Yohanes, dll.

4. Terdapat pertentangan antara naskah-naskah Taurat dan Injil yang ada.

5. Dalam Taurat dan Injil yang ada di tangan Yahudi dan Kristen tersebut ternyata berisi aqidah-aqidah yang batil dan sesat, berita-berita dusta, dan hikayat-hikayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Maka kewajiban kaum mukminin meyakini, bahwa Taurat dan Injil yang ada di tangan Yahudi dan Kristen tersebut bukanlah kitab yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, namun itu adalah hasil penyimpangan Yahudi dan Kristen terhadap kitabnya. Maka kita tidak membenarkannya sama sekali kecuali apa yang telah dibenarkan oleh Al-Qur`anul Karim atau oleh As-Sunnah yang mulia. Dan kita dustakan apa yang telah didustakan oleh Al-Qur`anul Karim atau As-Sunnah yang mulia. Adapun yang tidak ada keterangan Al-Qur`an maupun As-Sunnah tentangnya maka kita tidak membenarkan tidak pula mendustakannya.

            Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’aalaa

 

Tanya Jawab

Pertanyaan:

Assalamualaikum…

Afwan ustadz, ana mau bertanya. Pada saat imam mengucapkan salam menoleh ke kanan, makmum mengikutinya menoleh ke kanan atau menunggu imam menoleh ke kiri baru makmum menoleh ke kanan?

08771258xxxx

Jawab:

Makmum mengucapkan salam dan menoleh ke kanan setelah imam mengucapkan salam yang kedua dan menoleh ke kiri, hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (artinya) “Pembuka shalat adalah bersuci dan pengharamannya adalah takbir serta penghalalannya adalah salam.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan bahwa sempurnanya shalat setelah salam yang kedua, maka makmum mengucapakan salam setelah sempurnanya shalatnya imam yaitu setelah salam yang kedua, karena jika makmum mengucapakan salam setelah imam mengucapkan salam yang pertama maka dia telah mengucapkan salam sebelum sempurnanya shalatnya imam, hal ini tidak boleh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dalam ruku’, sujud, berdiri dan salam…” (HR. Muslim no.426)

(Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no.18735)

Walaupun ada yang berpendapat boleh bagi makmum mengucapkan salam dan menoleh ke kanan setelah salamnya imam yang pertama akan tetapi untuk lebih hati-hati, hendaknya bagi makmum untuk tidak mengucapkan salam dan menoleh ke kanan kecuali setelah imam mengucapkan salam yang kedua, hal ini berdasarkan penjelasan di atas. Wallahu a’lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button