Khusus

Meraih Keutamaan Ramadhan dengan banyak Beramal Shalih

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 34/VIII/IX/1432 

       Berpuasa itu tidak hanya sekedar menahan makan dan minum. Sering kita mendengar nasihat-nasihat seperti itu, terkhusus di bulan suci Ramadhan, bulan penuh limpahan barakah yang tidak lama lagi akan tiba. Sebuah nasihat yang ringan untuk diucapkan, namun sangat berat untuk diamalkan. Demikianlah, sebuah amalan yang akan mengantarkan seorang mukmin meraih predikat takwa ini, tidak cukup dilakukan hanya dengan asal tidak makan dan tidak minum saja, tanpa memperhatikan adab dan etika puasa yang telah dituntunkan syari’at yang agung ini.

Begitu besar pahala yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan untuk hamba-Nya yang berpuasa, juga menjadikan puasa itu sendiri sebagai benteng dari api neraka, sangat berat untuk ditunaikan dengan sempurna jika tidak mengikuti rambu-rambu syar’i yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Inilah rambu pertama yang harus dilalui, seorang muslim hendaknya membangun ibadah puasanya di atas pondasi iman yang benar dan niat yang ikhlas untuk mendapatkan pahala dan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan tetangganya yang sedang berpuasa. Termasuk berpuasa dengan niat untuk menjaga kesehatan, atau menjaga berat badan supaya tetap ideal, ini semua merupakan niatan yang hendaknya dibuang jauh-jauh.

Rambu berikutnya yang mesti dilalui adalah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan  dusta, beramal dengannya, dan tindakan bodoh, maka Allah tidak membutuhkan usaha dia dalam meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Al-Bukhari)

Maksud dari hadits ini adalah jika seorang yang berpuasa tidak bisa menjaga lisan dan anggota badannya dari ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memberikan pahala atas puasanya, meskipun selama sehari penuh dia menahan lapar dan dahaga.

Walaupun setiap hari dia juga banyak melakukan shadaqah dan membaca Al-Qur’an, namun dia tidak menjauhkan diri dari perkataan kotor dan perbuatan keji, maka puasa yang dia lakukan tidak akan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sehingga upaya untuk memperbanyak amal kebajikan harus berjalan beriringan dengan upaya untuk membersihkan diri dari segala bentuk kemungkaran. Tidak bisa dipisahkan antara keduanya.

 Puasa Ramadhan Mengantarkan kepada Al-Jannah

Suatu ketika, ada seseorang yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku kerjakan, aku akan masuk al-Jannah (Surga).”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, engkau menegakkan shalat fardhu, menunaikan zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Muslim)

Dari hadits di atas, nampak bahwa ibadah puasa Ramadhan yang akan mengantarkan pelakunya kepada pintu al-jannah adalah manakala amalan puasanya tersebut juga diiringi dengan:

1. Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya (tidak berbuat syirik).

2. Menegakkan shalat fardhu lima waktu.

3. Menunaikan zakat, baik zakat mal (harta) maupun zakat fitrah.

Di samping memaksimalkan nilai ibadah puasa dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan kemungkaran, seorang muslim hendaknya juga menjalankan beberapa ketaatan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Dan inilah sesungguhnya amal shalih yang paling besar karena amalan-amalan tersebut termasuk rukun Islam. Puasa Ramadhan tidaklah bermanfaat kalau satu saja dari amalan-amalan ketaatan tersebut ditinggalkan.

Termasuk puasa Ramadhan yang bisa mengantarkan ke dalam al-Jannah adalah ketika puasanya itu juga diiringi iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan realisasi (pengamalan) yang tepat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menegakkan shalat, dan berpuasa Ramadhan, maka wajib bagi Allah untuk memasukkannya ke dalam al-Jannah.” (HR. Al-Bukhari)

Inti dari pengamalan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan mentauhidkan-Nya, dan inti dari pengamalan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah dengan berpegang teguh dengan sunnahnya, menaatinya, dan menjadikan beliau sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam hal ibadah, muamalah, akidah (keyakinan), maupun akhlak.

Ramadhan Bukanlah Momen untuk “Beristirahat” dari Maksiat

Sebagian orang menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai momen untuk “beristirahat” dari berbagai maksiat yang biasa dia lakukan di luar bulan Ramadhan. Namun, ternyata di benaknya masih ada niatan untuk mengulangi lagi kebiasaan jelek tersebut selepas Ramadhan. Bagaimana orang yang seperti ini keadaannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Orang yang meninggalkan maksiat pada bulan Ramadhan, dan di antara niatnya adalah akan mengulanginya lagi pada selain bulan Ramadhan, maka dia termasuk orang yang terus-menerus (berbuat maksiat itu) juga.” (Majmu’ Fatawa)

Yang demikian itu disebabkan karena di antara syarat taubat adalah meninggalkan perbuatan maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sehingga apabila seseorang telah meninggalkan suatu perbuatan maksiat, namun masih ada padanya keinginan dan tekad untuk mengulanginya lagi, maka dia belum dikatakan orang yang jujur dan sungguh-sungguh dalam taubatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa sifat orang yang bertakwa dalam surat Ali ‘Imran ayat 133-136, di antaranya adalah:

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 135).

Sehingga tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk “meliburkan diri” dari kemaksiatan pada bulan Ramadhan, sementara di hatinya masih ada keinginan untuk mengulanginya lagi pasca bulan suci tersebut. Ramadhan bukan momen untuk “beristirahat” dari maksiat, akan tetapi bersegeralah untuk bertaubat dan hentikan segala bentuk kemaksiatan mulai saat ini dan seterusnya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi.

Hadits-hadits Lemah dan Palsu yang Sering Disebut di Bulan Ramadhan

Sangat banyak hadits yang menyebutkan keutamaan bulan Ramadhan dan puasa pada bulan itu. Namun, tidak sedikit dari hadits-hadits tersebut dha’if (lemah), yang tidak bisa dijadikan sandaran (dalil) dalam syari’at ini, atau bahkan maudhu’ (palsu), yang tidak pernah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Yang sangat disayangkan adalah ternyata hadits-hadits yang lemah dan palsu tersebut sudah menyebar dan dikenal di tengah-tengah masyarakat muslimin, yang mereka yakini itu adalah hadits shahih yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Padahal, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan berdusta atas nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni menisbatkan suatu perkataan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, padahal beliau tidak pernah mengatakannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ يَقُلْ عَلَىَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang mengatakan atas namaku, apa-apa yang tidak pernah aku katakan, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. al-Bukhari)

Walaupun sebuah kalimat tampak indah bahasanya dan baik kandungannya, namun kalau itu bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka sekali-kali kita tidak boleh menyandarkan ucapan dan kalimat tersebut kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Al-Imam Abul Hajjaj Al-Mizzi rahimahullah (w. 742 H, salah seorang guru Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah) mengatakan: “Setiap yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah baik, namun tidak setiap perkataan yang baik itu merupakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Lisanul Mizan, karya Ibnu Hajar rahimahullah)

Oleh sebab itulah, pada lembar buletin ini, kami akan menyebutkan sebagian dari sekian banyak hadits dha’if dan maudhu’ (palsu) yang sering disebut pada bulan Ramadhan. Kami angkat hal ini sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin, agar mereka bisa membedakan mana yang memang benar-benar merupakan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan mana yang bukan, sehingga kemurnian hadits-hadits dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tetap terjaga. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:

  HADITS PERTAMA

لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةَ كُلَّهَا

“Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu (keutamaan) yang ada pada bulan Ramadhan, maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan seluruhnya.”  (hadits maudhu’/palsu)

Hadits tersebut di atas adalah hadits maudhu’(palsu), (Lihat dalam kitab: Al La`ali al Mashnu’ah fi al Ahaditsi al Maudhu’ah: 2/84, al Fawa`id al Majmu’ah fi al Ahaditsi al  Maudhu’ah: 1/88, Al Maudhuat Li ibni al Jauzi: 2/189).

Sebabnya adalah adanya seorang perawi yang bernama Jarir bin Ayyub, dia ini adalah seorang perawi yang sangat lemah(dha’if jiddan) dan dia meriwayatkan hadits tersebut sendirian tanpa ada yang menyertainya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab beliau Al Mathalib: 1/274.

 HADITS KEDUA

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” (hadits dha’if/lemah)

Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil/dasar karena terdapat kelemahan di dalamnya. (Lihat Tadzkiratul Maudhuat, hal: 70, Al Maudhuat lish Shaghani, hal: 72, dan Al Mughni ‘an Hamli al Asfar: 2/754).

Sebab lemahnya hadits tersebut adalah adanya seorang perawi yang bernama Zuhair bin Muhammad bin Abi Shalih. Jika yang meriwayatkan hadits  dari dia orang-orang Syam maka haditsnya lemah, dan salah satunya hadits ini. (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh-Dha’ifah: 1/420)

HADITS KETIGA

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” (hadits dha’if/lemah)

Hadits tersebut lemah karena ada perawi yang bernama Sallaam bin Sawwaar dan Maslamah bin Ash Shallat, berkata Ibnu ‘Adi tentang Sallaam, ”Dia menurutku haditsnya mungkar, dan Maslamah tidak dikenal.” Abu Hatim mengatakan tentang Maslamah, “Haditsnya matruk (ditinggalkan/tidak diambil). (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh-Dha’ifah: 4/70).

Wallahu a’lamu bish shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button