Mengambil Pelajaran dari Istighatsah Nabi di Perang Badar
“(Ingatlah), ketika kalian memohon pertolongan (istighatsah) kepada Rabb kalian, lalu diperkenankan-Nya bagi kalian: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kalian dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”(Al-Anfal: 9)
Ketika perang sedang berkecamuk, Nabi melihat para sahabatnya yang berjumlah 300 orang lebih sedikit, sementara kaum musyrikin berjumlah 1000 orang lebih. Maka Nabi yang ketika itu memakai selendang dan sarungnya pun menghadap kiblat, serta membentangkan kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, manakah janji yang Engkau berikan kepadaku. Ya Allah, penuhilah janji yang pernah Engkau berikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau binasakan sekelompok kaum muslimin ini, niscaya Engkau tidak akan diibadahi lagi di muka bumi ini selamanya.”
Terus-menerus beliau beristighatsah dan berdoa kepada Rabbnya hingga selendangnya pun terjatuh. Lalu Abu Bakar pun mendatangi beliau dan mengambil selendang beliau lalu mengembalikannya kepada Rasulullah. Abu Bakar senantiasa di belakang Nabi, kemudian mengatakan, “Wahai Nabi Allah, cukuplah permohonanmu kepada Rabbmu, pasti Dia akan memenuhi janji-Nya kepadamu. Lalu Allah turunkan ayat-Nya (artinya),
“(Ingatlah), ketika kalian memohon pertolongan (istighatsah) kepada Rabb kalian, lalu diperkenankan-Nya bagi kalian: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kalian dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”(Al-Anfal: 9)
Akhirnya Allah pun memenangkan kaum mukminin dan menghancurkan kekuatan musyrikin. Sebanyak 70 orang musyrikin terbunuh, dan 70 orang yang lain menjadi tawanan kaum mukminin. (Tafsir Ibnu Katsir)
Istighatsah dalam Lingkup Aqidah
Istighatsah adalah permohonan dan permintaan tolong agar dihilangkan kesusahan dan kesempitan yang sedang dialami. (Fathul Majid). Sehingga orang yang beristighatsah maknanya adalah ia memohon pertolongan agar kesusahan dan kesempitan yang sedang dialami segera sirna.
Istighatsah merupakan salah satu amalan ibadah yang penting. Dalam menjalani kehidupannya, seorang muslim suatu saat pasti akan mengalami peristiwa atau kejadian yang menyusahkannya. Hatinya terasa sempit dan dadanya terasa sesak ketika merasakan beratnya cobaan dan musibah yang sedang dialami. Dalam kondisi seperti ini, Islam mengajarkan umatnya agar kembali kepada Allah dan mengadu kepada-Nya. Islam menuntun umatnya untuk beristighatsah kepada Allah, memohon pertolongan kepada-Nya agar kesusahan yang sedang dirasakannya segera berakhir. Islam sama sekali tidak mengajarkan umatnya untuk pergi ke dukun, paranormal, orang pintar, atau yang sejenisnya ketika kesulitan hidup sedang menghimpitnya.
Sebagai salah satu amal ibadah yang agung, istighatsah tidak boleh ditujukan kecuali hanya kepada Allah saja, karena Dialah satu-satunya yang Maha Mampu untuk menghilangkan segala kesulitan yang dialami hamba-Nya. Allah berkenan untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya yang ikhlas dalam berdoa kepada-Nya. Allah berfirman (artinya),
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sesembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kalian mengingati(Nya).” (An-Naml: 62).
Kalau dikatakan bahwa ibadah rukuk dan sujud kepada makhluk itu merupakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah dalam ibadah), maka demikian pula ibadah istighatsah. Barangsiapa yang mempersembahkannya kepada selain Allah, maka ia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik. Allah telah mengancam pelaku kesyirikan dalam firman-Nya (artinya),
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72)
Di samping itu, makhluk yang dimintai pertolongan tersebut pasti tidak akan mampu untuk menyingkirkan bencana yang sedang menimpa. Mereka adalah makhluk yang lemah. Sedikitpun mereka tidak akan mampu mencegah datangnya musibah dan menghilangkannya dari seseorang.
“Dan orang-orang yang kamu seru (berdoa) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru (berdoa kepada) mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.” (Fathir: 13-14)
Seorang mukmin yang lurus aqidah dan imannya pasti akan menyandarkan diri dan pasrah sepenuhnya kepada Allah. Kesempitan dan kelapangan hidup pasti datang silih berganti. Kelapangan hidup yang dirasakan akan menggiring dia untuk senantiasa bersyukur kepada Allah dan kesempitan hidup yang sedang menghimpitnya akan mendorong dia untuk bersabar dan kemudian memohon pertolongan kepada Allah agar kesempitan tersebut segera terentaskan. Dia yakin hanya Allah satu-satunya yang bisa memberikan pertolongan.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Kisah istighatsah Nabi dalam perang Badar ini terkandung banyak iktibar (pelajaran) berharga, di antaranya:
Pertama. Rasulullah telah mencontohkan ibadah istighatsah kepada umatnya. Ini menunjukkan bahwa istighatsah merupakan salah satu amalan yang telah dituntunkan dan diajarkan dalam Islam. Tidak dibenarkan bagi siapapun untuk mengingkari amalan ini sehingga ia enggan untuk memohon pertolongan kepada Allah. Kita adalah makhluk yang lemah, tidak kuasa sedikitpun untuk menghilangkan kesempitan yang sedang kita rasakan. Jangan merasa tinggi hati untuk memohon kepada Allah agar musibah yang dialami segera hilang. Allah berfirman (artinya),
“Dan Rabb kalian berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdoa) kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
Kedua. Dalam pelaksanaannya, istighatsah bisa dilakukan sendiri, tanpa harus bersama-sama dalam jumlah orang yang banyak. Selain itu, kalimat permohonan dan doa yang dilantunkan ketika beristighatsah tidak terbatas pada lafazh tertentu. Seseorang boleh memanjatkan doa permohonannya kepada Allah sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Istighatsah pun tidak terikat dengan waktu dan tempat tertentu.
Jadi kapan pun dan di manapun seorang muslim mendapatkan kesulitan, dituntunkan baginya untuk beristighatsah kepada Allah secara sendiri-sendiri dengan memanjatkan doa permohonan sesuai dengan kebutuhannya.
Allah Maha Dekat. Dia akan mengabulkan permintaan hamba-Nya yang tulus memohon kepada-Nya.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)
Ketiga. Salah satu bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan istighatsah adalah beristighatsah kepada Rasulullah, tidak kepada Allah.
Para sahabat adalah orang-orang yang paling besar pengagungan dan penghormatannya kepada Rasulullah. Sekali saja mereka tidak pernah melakukan ritual istighatsah atau yang semacamnya kepada Rasulullah. Demikian pula para ulama yang komitmen di atas ajaran dan sunnah beliau, tidak pernah melakukan yang demikian.
Lihatlah kisah istighatsah Nabi di perang Badar tersebut. Dalam kapasitasnya sebagai seorang rasul (utusan Allah) serta sebagai makhluk termulia dan tertinggi kedudukannya di sisi Allah, beliau masih butuh akan pertolongan-Nya. Beliau sendiri tidak mampu untuk menghilangkan bencana yang sedang menimpa beliau, apalagi musibah yang menimpa orang lain. Beliau adalah manusia biasa yang tidak berhak untuk dijadikan tempat berlindung dan memohon pertolongan agar dihilangkan segala musibah.
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Allah satu-satunya Dzat Yang Maha Mampu untuk mendatangkan musibah kepada hamba-Nya, maka Dia sajalah yang Mampu untuk menghilangkan musibah tersebut.
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
Wallahu a’lam bish shawab.