Jangan Lupakan Kehidupan Duniamu!
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
{وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ} [القصص: 77]
Dan carilah pada perkara yang telah Allah anugerahkan kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi, serta berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash: 77).
Ayat ini menyebutkan tentang Qarun, ketika kaumnya menegurnya dan memberi nasehat lantaran sifat angkuh, kikir dan melampaui batas karena harta kekayaan yang dimiliki olehnya.
Di antara nasehat yang disampaikan adalah agar ia memanfaatkan harta duniawi yang berikan kepadanya untuk mencari kebaikan akhirat dengan cara beramal ketaatan untuk Allah.
Kemudian kaumnya menyatakan, “dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi”. Sebagaimana termuat dalam ayat di atas.
Imam Ibnu katsir menjelaskan makna penggalan ayat ini, maksudnya adalah jangan kamu melupakan kenikmatan duniawi yang dihalalkan untukmu berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, perkawinan dan lainnya. Sebab, masing-masing punya hak yang harus ditunaikan. (Tafsir Ibnu Katsir).
Artinya, jangan sampai kamu fokus beribadah dalam rangka menunaikan hak Allah, akan tetapi kamu melupakan hak yang lainnya, seperti hak keluarga, anak-istri, bahkan hak dirimu sendiri.
Hal ini juga dikuatkan dengan dalil-dalil dari sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dalam banyak kesempatan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingkari para Shahabatnya yang ingin totalitas dalam bertakarub (mendekatkan diri) kepada Allah, akan tetapi melalaikan hak-hak yang harus ditunaikan.
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwa beberapa orang dari Shahabat bertanya kepada para istri Nabi tentang amalan Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di rumahnya. Seusai bertanya mereka merasa amalan yang mereka kerjakan masih sedikit, kemudian menyatakan: “Kami akan berpuasa setiap hari dan tidak akan berbuka; kami akan kontinyu shalat malam dan tidak tidur; kami juga tidak ingin menikahi wanita.”
Mendengar hal itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun naik mimbar dan berceramah di hadapan para Shahabat, seraya menyatakan “Ada apa dengan orang-orang yang menyatakan ini dan itu …(menceritakan perbuatan mereka). Aku saja berpuasa dan berbuka, shalat malam dan tidur, dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka bukan dari golonganku.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu, dalam keadaan sakit keras, ia berniat menginfakkan seluruh hartanya. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya sembari memberi nasehat, “Kamu meninggalkan anak keturunan dalam keadaan berkecukupan jauh lebih baik, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada orang lain…” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Demikian pula Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat taubat tentang dirinya dan dua orang lainnya yang tidak berangkat jihad, maka ia hendak menghabiskan seluruh hartanya untuk Allah dan Rasul-Nya, dalam rangka bersyukur. Akan tetapi Rasulullah melarangnya dan menyatakan, “Sisakan sebagian hartamu, hal itu jauh lebih baik bagimu!” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Terkait tema ini, ada sebuah kisah yang menarik dari Shahabat Salman al-Farisi dan Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhuma. Saat Salman mengunjungi Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan lusuh. Ia pun bercerita, “Saudaramu, Abu Darda’, tidak butuh dengan dunia.”
Maksudnya, Abu Darda senantiasa sibuk dalam ibadah dan takarub kepada Allah, sampai ia tidak mempedulikan istrinya dan menelantarkan urusan rumah tangganya.
Melihat situasi seperti ini, Salman berusaha menasehati Saudaranya. Maka beliau mulai bersiasat.
Ketika dihidangkan makan siang, Abu Darda’ enggan menjamah makanan dengan alasan sedang puasa. Maka Salman berkata, “Aku tidak akan makan sampai kamu makan!” maka Abu Darda’ pun ikut makan.
Ketika masuk waktu malam, Abu Darda’ bergegas hendak shalat. Salman pun memerintahkannya untuk tidur, maka mereka pun tidur. Ketika datang tengah malam, Abu Darda’ bangkit kembali untuk menunaikan Shalat. Sekali lagi Salman memerintahkannya untuk tidur. Sampai menjelang waktu Shubuh, barulah Salman membangunkannya, seraya berkata : “Sekarang waktunya Shalat.” Maka mereka berdua shalat.
Demikian Salman memberi pelajaran yang luhur kepada saudaranya. Sampai datang waktu pagi beliau menyampaikan wejangan:
إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya pada dirimu ada hak yang wajib kamu tunaikan; untuk Rabbmu ada hak yang wajib kamu tunaikan, demikian pula pada tamu dan istrimu. Maka tunaikanlah masing-masing haknya.”
Kemudian ketika mereka berdua berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka sampaikan kejadian semalam.
Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membenarkan perbuatan Salman. (HR. At-Tirmidzi 2413).
Maka, berdasarkan ayat dan cuplikan hadits yang disebutkan di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa ibadah harus disesuaikan takarannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, dan Allah juga menyediakan dunia dan seisinya untuk bisa dinikmati sesuai dengan kadarnya.
Terakhir, tentang ayat di atas Imam Abdurrahman as-Sa’diy rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya, “Kami (Allah) tidak memerintahkanmu untuk bersedekah dengan semua hartamu, sehingga kamu pun terkatung-katung karenanya. Akan tetapi, sedekahkah sebahagian hartamu untuk bekal negeri akhiratmu dan bersenang-senanglah dengan karunia duniawimu dengan kadar tidak sampai mengoyak agamamu dan tidak merugikan akhiratmu.” (Tafsir as-Sa’diy).