Fiqih

Syarat-syarat Shalat 2

Hukum Menutup Pundak bagi Laki-laki di dalam Shalat

Dalam masalah ini memang ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Pendapat yang masyhur dari al-Imam Ahmad rahimahullah bahwa wajib menutup pundak bagi yang mampu. Beliau rahimahullah berdalil dengan dzahir hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak boleh seorang lelaki di antara kalian mendirikan shalat dengan hanya mengenakan satu kain sementara tidak ada di atas pundaknya sedikit pun dari kain tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 359 dan Muslim no. 1151)

Sementara jumhur ulama, di antaranya para imam yang tiga, berpendapat sunnah, karena yang wajib ditutup hanyalah aurat sementara dua pundak bukanlah aurat. Adapun larangan dalam hadits tidaklah menunjukkan haram karena adanya hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

“Bila kainmu lebar berselimutlah dengannya (menutupi tubuh bagian bawah dan atas dengan disilangkan dua ujungnya di atas dua pundak) namun bila kainmu sempit ikatkanlah pada setengah tubuhmu yang bagian bawah.” (HR. al-Bukhari no. 361)

Sehingga, mereka berpendapat bahwa larangan mengerjakan shalat dalam keadaan pundak terbuka mereka bawa kepada hukum makruh, bukan haram. Wallahu a’lam. (Al-Umm kitab ash-Shalah bab Jima’i Libasil Mushalli, al-Majmu’ 3/181, al-Mughni kitab ash-Shalah fashl Hukmi Sitril Mankibain, Subulus Salam 1/211, Taisirul ‘Allam 1/259,260, Tamamul Minnah hal. 163)

Dari sini bisa disimpulkan bahwa orang yang mengerjakan shalat dengan mengenakan satu kain saja tanpa ada pakaian lain, agar tidak mengikat kainnya pada bagian tengah tubuhnya sehingga dua pundaknya dibiarkan terbuka. Tapi hendaknya ia berselubung dengan kain tersebut, dua ujung kainnya diangkat lalu disilangkan dan diikatkan di atas pundaknya, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hal ini mungkin dilakukan bila kainnya lebar/lapang. Namun bila sempit maka terpaksa diikatkan pada pinggang sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu.

Faedah

Apakah shalat seseorang batal bila di tengah shalat  tersingkap bagian tubuhnya  yang harus ditutupi dalam shalat?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan:

1. Bila ia melakukannya dengan sengaja maka shalatnya batal, baik sedikit atau banyak bagian tubuhnya yang tersingkap, lama ataupun hanya sebentar.

2. Bila tidak sengaja dan yang tersingkap hanya sedikit, shalatnya tidak batal.

3. Bila tidak sengaja namun yang tersingkap banyak dalam waktu yang singkat, shalatnya tidak batal.

4. Tersingkap banyak bagian tubuhnya tanpa sengaja dalam waktu yang lama, ia tidak tahu kecuali di akhir shalatnya atau setelah salam, maka shalatnya tidak sah.

Adapun bila di tengah shalat, pakaiannya sobek besar namun dengan segera ia pegang bagian yang sobek maka shalatnya sah. (Diringkas dari asy-Syarhul Mumti’ 1/446-447)

 

5. Menghadap Kiblat

Yang dimaksud dengan kiblat adalah Ka’bah. Dinamakan kiblat karena manusia menghadapkan wajah mereka dan mengarah kepadanya. (Al-Majmu’ 3/193, ar-Raudhul Murbi’ Syarhu Zadil Mustaqni’, 1/119, asy-Syarhul Mumti’ 1/501, al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/96)

Awalnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan beliau untuk mendirikan shalat menghadap ke Ka’bah, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Aku mendirikan shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan, hingga turunlah ayat dalam surah al-Baqarah (ayat 144): ‘Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah (hadapkanlah) wajah kalian ke arahnya.’ Ayat ini turun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat. Lalu pergilah seseorang dari mereka yang hadir dalam shalat berjamaah bersama Nabi. Ia melewati orang-orang Anshar yang sedang mendirikan shalat (dalam keadaan masih menghadap ke arah Baitul Maqdis), maka ia pun menyampaikan kepada mereka tentang perintah perpindahan arah kiblat. Mendengar hal tersebut orang-orang Anshar pun memalingkan/menghadapkan wajah-wajah mereka ke arah Baitullah.” (HR. Muslim no. 1176) [Al-Hawil Kabir 2/68]

Orang yang Melihat Ka’bah dan yang Tidak Melihatnya

Bagi orang yang mendirikan shalat dalam keadaan dapat melihat Ka’bah maka wajib baginya untuk mendirikan shalat menghadap persis ke Ka’bah (walaupun dengan arah mata angin yang berbeda-beda), seperti keadaan orang yang mendirikan shalat di Masjidil Haram. Adapun orang yang tidak bisa menyaksikan Ka’bah secara langsung karena negerinya jauh dari Makkah misalnya, maka wajib baginya menghadap ke arah Ka’bah.

 

Kapan Gugur Kewajiban Menghadap Kiblat?

Menghadap kiblat sebagai salah satu syarat shalat yang harus dipenuhi dapat gugur kewajibannya dalam keadaan-keadaan berikut ini:

1. Shalat tathawwu’ (shalat sunnah) bagi orang yang berkendaraan, baik kendaraannya berupa hewan tunggangan ataupun berupa alat transportasi modern seperti mobil, kereta api, pesawat, dan kapal laut.

Jabir bin Abdillah al-Anshari radhiyallaahu ‘anhuma berkata:

“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah di atas hewan tunggangannya ke arah mana saja hewan itu menghadap. Namun bila beliau hendak mengerjakan shalat fardhu, beliau turun dari tunggangannya lalu menghadap kiblat.” (HR. al-Bukhari no. 400)

‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat nafilah di atas hewan tunggangannya menghadap ke arah mana saja hewan itu menghadap, beliau memberi isyarat dengan kepalanya (ketika melakukan ruku’ dan sujud, –pent.). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal itu dalam shalat fardhu.” (HR. al-Bukhari no. 1097)

2. Shalat orang yang dicekam rasa takut seperti dalam keadaan perang, orang yang sakit, orang yang lemah, dan orang yang dipaksa (di bawah tekanan).

Orang yang tidak mampu menghadap kiblat disebabkan takut, sakit, atau dipaksa, ataupun dalam situasi berkecamuknya perang maka diberi udzur baginya untuk mendirikan shalat dengan tidak menghadap kiblat, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya):

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al-Baqarah: 286)

“Jika kalian dalam keadaan takut maka dirikanlah shalat dalam keadaan berjalan kaki atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 239)

Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma setelah menjelaskan tata cara shalat khauf, pada akhirnya beliau berkata:

“Bila keadaan ketakutan lebih dahsyat daripada itu, mereka mendirikan shalat dengan berjalan di atas kaki-kaki mereka atau berkendaraan, dalam keadaan mereka menghadap kiblat ataupun tidak.” (HR. al-Bukhari no. 4535)

Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma juga berkata:

 “Aku pernah berperang bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di arah Najd. Kami berhadapan dengan musuh, lalu beliau mengatur shaf/barisan kami untuk menghadapi musuh. Setelahnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat mengimami kami ….” (HR. al-Bukhari no. 942)

Hadits di atas menunjukkan bahwa ketika situasi perang, seseorang tidak harus menghadap kiblat dalam shalatnya. Namun dia bisa menghadap ke mana saja sesuai dengan keadaan dan posisi musuh. (Al-Umm, al-Majmu’ 3/212, 213, ar-Raudhul Murbi’ Syarhu Zadil Mustaqni’ 1/119, Subulus Salam 1/214,215, al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/97, Taudhihul Ahkam 2/20,21)

 

Orang yang Tersamar baginya Arah Kiblat

Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pasukan perang. Ketika itu, kami ditimpa mendung hingga kami bingung dan berselisih tentang arah kiblat. Pada akhirnya, masing-masing dari kami mendirikan shalat menurut arah yang diyakininya. Mulailah salah seorang dari kami membuat garis di hadapannya guna mengetahui posisi kami. Ketika pagi hari, kami melihat garis tersebut dan dari situ kami mengetahui bahwa kami mendirikan shalat tidak menghadap ke arah kiblat. Kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak menyuruh kami untuk mengulangi shalat. Beliau bersabda: “Shalat kalian telah mencukupi.” (HR. ad-Daruquthni, al-Hakim dll. Dihasankan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa` 1/323)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Tatkala orang-orang sedang mengerjakan shalat subuh di Quba`, tiba-tiba ada orang yang datang seraya berkata, ‘Semalam telah diturunkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ayat Al-Qur`an. Beliau diperintah untuk mendirikan shalat menghadap ke Ka’bah.’ Mendengar hal tersebut, orang-orang yang sedang mendirikan shalat itu pun mengubah posisi menghadap ke arah Ka’bah. Tadinya wajah mereka menghadap ke arah Syam, kemudian mereka membelakanginya untuk menghadap ke arah Ka’bah.” (HR. al-Bukhari no. 403, 4491, 7251 dan Muslim no. 1178)

Hendaknya seseorang mencurahkan segala upayanya untuk mengetahui arah kiblatnya. Bila jelas baginya setelah selesai mendirikan shalat bahwa ia menghadap ke selain arah kiblat, ia tidak perlu mengulangi shalatnya karena shalat yang telah dikerjakannya telah mencukupi. (Subulus Salam, 1/213)

 

6. Niat

Niat merupakan ketetapan hati untuk melakukan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Niat itu tempatnya di hati. (Lihat al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/98, 99)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Hanyalah amalan-amalan itu (tergantung) dengan niat….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sebagai bagian dari amalan ibadah, shalat yang dikerjakan tentunya harus diawali dan disertai niat.

        Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

_________________________________

Diringkas dari majalah Asy-Syari’ah no. 34 dengan judul yang sama, ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari hafizhahullah.

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button