Akhlaq

Membudayakan Rasa Malu

Para pembaca yang berbahagia, di antara fitrah manusia adalah mendambakan figur atau sosok teladan yang akan mereka contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena yang demikian sangat jelas terlihat pada kawula muda. Karena masa-masa mereka adalah masa mencari jati diri. Namun sangat disayangkan, kebanyakan mereka salah dalam memilih figur yang akan mereka tiru. Karena figur yang mereka pilih sangat jauh dari tuntunan agama. Hal itu tidak adanya kemampuan pada mereka dalam memilih figur yang sesuai dengan tuntunan agama. Atau dengan kata lain, tidak memiliki filter untuk memilih figur yang tepat. Selaku umat Islam, tentu figur utama kita adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah berfirman:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)
Oleh karena itu pada kesempatan ini kita luangkan waktu sejenak untuk menengok salah satu tuntunan beliau n yang pada masa sekarang sedikit demi sedikit mulai luntur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia adalah rasa malu.

Definisi Malu
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Malu adalah sifat yang tertanam pada jiwa, yang akan membawa seseorang untuk melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin tulisan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.” Muttafaq ‘alaih
Rasa malu akan menambah keimanan dan menjadi perhiasan seorang muslim.
Suatu ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang laki-laki yang sedang mencerca saudaranya karena rasa malu yang ada padanya (seakan-akan rasa malu dianggap sebagai aib). Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعْهُ، فَإِنَّ الحَيَاءَ مِنَ الْإِيْمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya malu itu bagian daripada iman.” HR. al-Bukhari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegaskan pula:
الْإِيمَْانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ
“Iman itu ada 70 sekian cabang atau 60 sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Laa Ilaha Ilallah. Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah cabang dari iman.” Muttafaq ‘alaih

Mengapa Rasa Malu itu Bagian dari Iman?
Al-Imam al-‘Aini rahimahullaah mengatakan, “Karena dengan rasa malu, jiwa seseorang  akan terdorong untuk melakukan kebaikan dan akan terbentengi dari perbuatan maksiat. Rasa malu itu terkadang timbul karena suatu upaya sebagaimana pula dalam beramal kebaikan dan terkadang pula sebagai sifat bawaan semenjak lahir. Penerapan rasa malu yang bersifat bawaan harus sesuai dengan tuntunan syar’i, dan itu pun membutuhkan upaya dan niat, oleh karena itulah sifat tersebut merupakan bagian daripada iman.” (Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari)
Tatkala rasa malu pada jiwa seseorang telah dicabut, maka tak ada lagi rasa canggung dalam melakukan perbuatan maksiat. Bisa jadi malah bangga tatkala melakukannya. Tingkah polahnya bak hewan liar yang hidup tanpa aturan. Yang akibatnya, seks bebas (zina), minum-minuman keras, perdagangan, dan konsumsi narkoba (semacam sabu-sabu dan yang semisalnya), pornografi, dan pornoaksi, berpakaian ketat, mengambil harta orang lain, dan sebagainya bisa merebak dengan subur. Bahkan sebagiannya telah membudaya di masyarakat, seperti mengenakan busana yang ketat atau menampakkan bagian tertentu dari tubuhnya. Sebuah kenyataan yang tak terbantah. Ini semua adalah akibat dari lunturnya rasa malu di tengah masyarakat.
Padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya dari apa yang didapatkan oleh manusia pada ucapan kenabian yang pertama adalah apabila engkau tidak punya rasa malu, maka lakukan sesukamu.” HR. al-Bukhari
Kalimat “Apabila engkau tidak punya rasa malu, maka lakukan sesukamu” mengandung beberapa makna, di antaranya:
1. Bermakna ancaman keras. Yaitu apabila kamu tidak punya rasa malu, maka silakan lakukan sesukamu, niscaya Allah akan membalas perbuatanmu.
2. Bermakna pemberitaan. Yaitu apabila seseorang tidak punya rasa malu, maka ia akan melakukan perbuatan sesuka hatinya. Karena sifat malu dapat menghalanginya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.
Kedua makna inilah yang dikuatkan oleh al-Imam Ibnu Baththal rahimahullaah.

Pembagian Malu
Ketahuilah bahwa malu terbagi menjadi 2 jenis:
1. Sifat bawaan sejak lahir. Ini merupakan anugerah mulia dari Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya.
2. Sifat yang diupayakan untuk dimilikinya. Hal ini terjadi pada seorang yang asalnya tidak memiliki sifat malu. Kemudian ia sadar dan berusaha menerapkan rasa malu pada dirinya.
Yang paling utama adalah jenis pertama dengan terus diarahkan kepada tuntunan syar’i.
Ditinjau dari masalah hak, malu juga terbagi 2:
1. Malu adalah salah satu bagian dari iman.
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ
“Dan malu itu adalah cabang dari iman.” Muttafaq ‘alaih
2. Malu yang berkaitan dengan hak Allah. Yaitu seseorang malu kalau Allah melihatnya melakukan maksiat dan meninggalkan perintah-Nya.
3. Malu yang berkaitan dengan hak makhluk. Yaitu ia tidak melakukan perbuatan yang dapat menodai akhlak dan kewibawaannya.

Kedudukan Malu
1. Merupakan syariat dan akhlak para Nabi sebelum Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya dari apa yang didapatkan oleh manusia pada ucapan kenabian yang pertama adalah apabila engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” HR. al-Bukhari
Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya dari apa yang didapatkan oleh manusia pada ucapan kenabian yang pertama…” menunjukkan bahwa sifat malu merupakan akhlak para Nabi dan umat-umat terdahulu.
2. Merupakan syariat dan akhlak Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Nabi adalah seorang yang sangat pemalu, melebihi seorang gadis yang berada dalam pingitan. Maka apabila beliau melihat sesuatu yang tidak disukai, kami mengetahuinya melalui raut wajah beliau.” Muttafaq ‘alaih

Malu yang Tercela
Malu selamanya merupakan sifat yang terpuji selama tidak membawa pelakunya melalaikan atau meninggalkan hak-hak Allah subhaanahu wa ta’aalaa seperti menuntut ilmu, memakai jilbab bagi wanita, shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki dsb. Atau selama tidak menjerumuskan pelakunya kepada perkara yang haram.
Mungkin timbul satu pertanyaan pada benak kita, bukankah Rasulullah n telah mengatakan bahwa sifat malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan. Dan juga disebutkan dalam hadits yang lain bahwa sifat malu itu semuanya baik. Namun mengapa rasa malu itu terkadang membuat seseorang lalai dari hak-hak Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan manusia atau menjerumuskan kepada perkara yang haram? Bagaimana menggabungkan kedua hal yang terkesan bertentangan ini?
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullaah menjawab, “Yang dimaksud dengan malu sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadits adalah malu yang syar’i. Adapun malu yang menyebabkan pelakunya melalaikan hak-hak (Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan manusia), maka ini adalah malu yang tidak syar’i, yang hakikatnya adalah kerendahan, kehinaan dan kelemahan (minder) pada jiwanya. Karena adanya kemiripan dengan malu yang syar’i maka ia pun disebut dengan malu.”

Mutiara Hikmah
Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata:
الْحَيَاءُ وَالْإِيْمَانُ فِيْ قَرَنٍ، فَإِذَا نُزِعَ الْحَيَاءُ، تَبِعَهُ الْآخَرُ
“Sifat malu dan iman adalah dua sejoli, maka apabila sifat malu dicabut, pasangannya pun akan mengikutinya.”
Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullaah mengatakan:
Kata malu (الْحَيَاءُ) berasal dari pecahan kata hidup (الْحَيَاةُ). Karena sesungguhnya hati yang hidup itu identik pemiliknya punya rasa malu. Rasa malu akan mencegah dari melakukan perbuatan-perbuatan yang jelek. Maka sesungguhnya hidupnya hati merupakan penghalang dari berbagai kejelekan yang akan merusak hati. (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

Penutup
Para pembaca rahimakumullah, setelah kita mengetahui betapa pentingnya sifat malu pada seseorang, maka kita harus berupaya untuk memiliki sifat malu dan menerapkannya pada hal-hal yang diridhai oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa menganugerahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.
Wallahu a’lamu bish shawab
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Rifqi hafizhahullaah

2 komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button