Hadits

Kewajiban Amanah Dalam Bekerja

Rasulullah bersabda,

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

 “Tunaikanlah amanah kepada orang yang telah menyerahkan amanah (kepercayaan) kepadamu dan jangan engkau khianati orang yang telah mengkhianatimu.”(HR. Abu Dawud no. 3068 dan at-Tirmidzi no. 1185 dari shahabat Abu Hurairah )

Para pembaca yang berbahagia, amanah (kepercayaan) yang diberikan kepada seseorang merupakan suatu pemberian yang tidak ternilai harganya. Dengan amanah, keberkahan (kebaikan yang banyak) dalam kehidupan seorang muslim dapat diraih.

Mari sejenak kita mengkaji kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad. Kala itu, seorang saudagar wanita yang bernama Khadijah mempercayakan barang dagangannya kepada beliau yang masih muda untuk diperdagangkan ke negeri Syam. Maka berangkatlah beliau menjalankan amanah tersebut. Tak berapa lama, beliau kembali ke kota Makkah dengan membawa keuntungan yang besar dari hasil dagangannya. Dari sini, mulailah Khadijah tertarik dengan kepribadian beliau yang jujur dan penuh amanah hingga akhirnya mengantarkan keduanya ke jenjang pernikahan. Sifat jujur dan penuh amanah ini melekat pada pribadi beliau. Tak heran, bila penduduk Makkah menjuluki beliau dengan al-Amin (yang terpercaya).

Dalam kisah ini dapat diambil pelajaran bahwa sifat amanah memegang peran kunci dalam mengantarkan seorang pegawai atau pekerja menuju kesuksesan dunia dan akhirat.

Seorang pegawai atau pekerja yang bekerja dengan amanah dan penuh keikhlasan maka akan mendapatkan ganjaran di dunia dan di akhirat. Apabila seorang pegawai atau pekerja telah bekerja dengan amanah dan diiringi dengan niat mengharap pahala dari Allah berarti dia telah menunaikan kewajibannya sehingga berhak mendapatkan gaji dari hasil pekerjaannya tersebut di dunia dan akan mendapatkan pahala di akhirat kelak.

Adapun gambaran perwujudan amanah dalam bekerja antara lain:

  1. Menjaga Kedisiplinan Jam Kerja

Kedisiplinan jam kerja disini tidak hanya tepat waktu pada saat kehadiran di tempat kerja dan selesai kerja, namun benar-benar mengalokasikan jam kerja sesuai dengan job (pekerjaan) yang menjadi bidang tugasnya, dan waktunya pun tidak digunakan untuk kegiatan lain yang bukan bidang tugasnya.

Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad (mantan rektor Universitas Islam Madinah) berkata, “Wajib bagi setiap pegawai atau pekerja untuk menyibukkan diri di saat jam kerja dengan pekerjaan yang memang merupakan tugasnya. Tidak boleh menyibukkan diri dengan tugas lain yang bukan pekerjaan yang wajib dia tunaikan.

Kemudian beliau melanjutkan, “Janganlah dia menyibukkan jam kerjanya atau sebagian jam kerjanya untuk suatu kepentingan tertentu dan tidak pula kepentingan yang lainnya apabila kepentingan tersebut tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau tugasnya. Karena sesungguhnya jam kerja hakikatnya bukan milik pegawai atau pekerja akan tetapi jam kerja adalah semata-mata untuk pekerjaan yang memang menjadi bidang tugasnya yang dia diberi gaji sebagai bentuk imbalan atas pekerjaan tersebut.” (Kaifa Yuaddi al-Muwazhzhaf al-Amanah, hlm. 11)

Lalu bagaimana dengan sebagian mereka yang sampai keluyuran (keluar dari tempat kerja) menuju hotel, tempat-tempat hiburan, dan pusat perbelanjaan pada saat jam kerja?!

Sebagaimana seorang pegawai atau pekerja ingin mendapatkan gaji yang penuh dan tidak mau dipotong atau dikurangi sedikitpun dari gaji tersebut maka hendaknya diapun tidak memotong atau mengurangi jam kerjanya dengan melakukan pekerjaan lain selain bidang tugasnya.

  1. Tidak Menerima Suap

Wajib atas setiap pegawai atau pekerja untuk memiliki sifat ta’affuf (menjaga harga diri), kemuliaan jiwa, sifat qana’ah (merasa cukup) dan menjauhkan diri dari perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah seperti menerima suap sekalipun diistilahkan dengan hadiah atau yang populer dengan sebutan gratifikasi. Sebab dengan menerima suap atau hadiah atau gratifikasi akan mendorongnya melakukan perbuatan-perbuatan yang cenderung tidak amanah.

Di dalam sunnah Rasulullah, ada beberapa hadits yang menunjukkan larangan bagi pegawai atau pekerja untuk menerima suap atau hadiah atau gratifikasi. Disebutkan oleh Abu Humaid as-Saidi bahwa dahulu Rasulullah mengangkat seorang dari bani Asad yang bernama Ibnu Lutbiyah sebagai pegawai pengumpul zakat. Tatkala sampai dihadapan Rasulullah untuk melaporkan hasil kerja, dia berkata, “Ini adalah harta zakat, aku serahkan kepada engkau adapun ini adalah hadiah dari seseorang untukku.”

Maka Rasulullah pun naik ke atas mimbar, memuji dan menyanjung Allah kemudian bersabda, “Bagaimana keadaan orang yang aku utus untuk (mengumpulkan zakat) dengan mengatakan, ‘Ini adalah harta zakat, aku serahkan kepada engkau adapun ini adalah hadiah dari seseorang untukku’, Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya sambil menunggu apakah ada orang yang memberikan hadiah kepadanya ataukah tidak? Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian menggelapkan sesuatu dari harta zakat melainkan kelak akan datang pada hari kiamat dalam keadaan memikul unta yang digelapkannya itu melenguh-lenguh di atas lehernya atau sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik.” (HR. Muslim no. 3413 dari shahabat Abu Humaid as-Saidi)

  1. Menyelesaikan Pekerjaan Dengan Tertib

Termasuk sikap adil dalam bekerja adalah menyelesaikan setiap pekerjaannya dengan tertib dimulai dari pekerjaan yang awal kemudian berikutnya sampai yang terakhir. Yang demikian ini akan memberikan kepuasan hati baik bagi si pegawai atau pekerja maupun bagi orang yang memberikan pekerjaan tersebut. Jangan mendahulukan pekerjaan yang terakhir atau mengakhirkan pekerjaan yang pertama.

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ketika Nabi sedang menceritakan suatu kaum di sebuah majelis, datanglah seorang arab badui dan langsung berkata, “Kapan datangnya hari kiamat?” Nabi tidak menjawab pertanyaan tersebut dan tetap melanjutkan ceritanya. Sampai ada yang mengira bahwa beliau mendengar ucapannya namun tidak menyukai ucapan tersebut atau beliau memang tidak mendengar ucapannya. Tatkala beliau telah selesai bercerita barulah beliau menjawab pertanyaan orang tadi. (HR. al-Bukhari no. 57 dari shahabat Abu Hurairah)

Sisi pendalilan dari hadits ini adalah  Nabi tidak menjawab pertanyaan orang tersebut melainkan setelah menyelesaikan cerita tentang suatu kaum, karena orang tersebut datang belakangan.

Kriteria Memilih Pegawai Atau Pekerja

Adapun kriteria dasar yang patut diperhatikan dalam penerimaan pegawai atau pekerja adalah hendaknya calon pegawai atau pekerja memiliki kemampuan dan sifat amanah. Seorang pegawai atau pekerja yang memiliki kemampuan maka dia akan bisa melaksanakan pekerjaan dengan baik sesuai yang dituntut darinya. Adapun dengan sifat amanah maka seorang pegawai atau pekerja akan menunaikan pekerjaan tersebut dengan penuh tanggung jawab dan akan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Kriteria dasar yang demikian diambil dari firman Allah tatkala Allah mengisahkan tentang salah satu dari dua wanita penduduk Madyan yaitu putri Nabi Syu’aib yang mengatakan kepada sang ayah ketika dia dan saudarinya pernah ditolong oleh Nabi Musa mengambilkan air minum untuk hewan ternaknya,

“ … Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan amanah (dapat dipercaya).” (al-Qashash: 26)

Allah menceritakan tentang Ifrith dari kalangan jin yang menyatakan kesediaannya kepada Nabi Sulaiman untuk mendatangkan istana Ratu Saba’(Bilqis).

Ifrith dari golongan jin berkata, ‘Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu, dan sungguh aku kuat melakukannya dan dapat dipercaya’.” (an-Naml: 39)  

Allah juga menceritakan tentang kisah Nabi Yusuf, tatkala beliau mengatakan kepada sang raja,

“Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan’.” (Yusuf: 55)

Adapun lawan dari kemampuan dan amanah adalah lemah dan khianat (tidak amanah). Maka orang yang tidak memiliki kemampuan/lemah serta suka khianat tidak pantas dipilih sebagai pegawai atau pekerja.

Ketika khalifah Umar bin al-Khatthab mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai gubernur di kota Kufah, sebagian orang-orang bodoh dari kalangan penduduk Kufah memfitnah sang gubernur dihadapan Umar bin Khattab. Maka Umar pun mengambil keputusan demi kebaikan yang lebih besar dengan mencopot Sa’ad bin Abi Waqqash dari jabatan sebagai gubernur Kufah yaitu untuk meredam gejolak fitnah dan agar jangan sampai ada seorangpun menganiaya Sa’ad bin Abi Waqqash.

Akan tetapi Umar bin al-Khattab tatkala mengalami sakit menjelang kematiannya menetapkan 6 orang dari shahabat Rasulullah sebagai bakal calon khalifah sepeninggal beliau. Di antara 6 orang pilihan itu adalah Sa’ad bin Abi Waqqash. Hal ini beliau lakukan karena kekhawatiran akan munculnya prasangka bahwa Umar mencopot Sa’ad bin Abi Waqqash dari jabatan gubernur Kufah disebabkan Sa’ad tidak becus dalam memimpin wilayah. Prasangka itupun hilang seiring dengan pernyataan Umar,

فَإِنْ أَصَابَتِ الإِمْرَةُ سَعْدًا فَهُوَ ذَاكَ، وَإِلَّا فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْز، وَلاَ خِيَانَةٍٍ

“Apabila kekuasaan ini jatuh pada Sa’ad maka dialah yang berhak, namun kalau tidak, maka hendaklah kalian meminta bantuan kepada beliau siapa saja di antara kalian yang memerintah. Sesungguhnya aku tidaklah mencopot Sa’ad disebabkan ketidakmampuannya dan bukan karena khianat.” (HR. al-Bukhari  no. 3424)

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Muhammad Rifqi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button