Kesurupan dalam Timbangan Islam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata kesurupan adalah kemasukan (setan, roh) sehingga bertindak yang aneh-aneh.
Fenomena kesurupan masih mengundang perdebatan di tengah masyarakat, ada yang menolak kejadian tersebut (kesurupan) dan ada pula yang meyakini kebenaran dan keberadaannya dalam kehidupan.
Lantas Bagaimana Pandangan Islam?
Berikut ini di antara dalil dari Al Qur’an dan as Sunnah serta pernyataan Para Imam dan Ahli Tafsir, yang jadikan dasar bagi yang meyakini keberadaan kesurupan dan kebenarannya.
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ
“Orang-orang yang makan riba itu tidaklah berdiri (bangkit dari kuburnya) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Al-Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah orang yang kesurupan di dunia, yang mana setan merasukinya hingga menjadi gila (rusak akalnya).”
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Di dalam ayat ini terdapat argumen tentang rusaknya pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin. Juga argumen tentang rusaknya anggapan bahwa itu hanyalah proses alamiah yang terjadi pada tubuh manusia, serta rusaknya anggapan bahwa setan tidak dapat merasuki tubuh manusia.”
Perkataan para ahli tafsir yang semakna dengan ini cukup banyak.
2. Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan itu berjalan dalam tubuh manusia seperti mengalirnya darah.”
[H.R Muslim].
Al Imam an-Nawawi rahimahullah menukil pernyataan al-Imam Al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah bahwa beliau berkata: “Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla memberikan kekuatan dan kemampuan kepada setan untuk berjalan dalam tubuh manusia seperti mengalirnya darah”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa jin itu tidak dapat masuk ke dalam tubuh manusia.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara melalui mulut orang yang kesurupan.’
Apa yang dikatakan oleh Al-Imam Ahmad ini adalah perkara yang masyhur. Sangat mungkin seseorang yang mengalami kesurupan berbicara dengan sesuatu yang tidak dipahaminya. Ketika tubuhnya dipukul dengan keras pun ia tidak merasakannya. Padahal bila pukulan itu ditimpakan kepada unta jantan, niscaya akan kesakitan. Sebagaimana ia tidak menyadari pula apa yang diucapkannya.
Seorang yang kesurupan, terkadang dapat menarik tubuh orang lain yang sehat. Dia juga dapat menarik alas duduk yang didudukinya, serta dapat memindahkan berbagai macam benda dari satu tempat ke tempat yang lain, dan sebagainya. Siapa saja yang menyaksikannya, niscaya meyakini bahwa yang berbicara melalui mulut orang yang kesurupan itu dan yang menggerakkan benda-benda tadi bukanlah diri orang yang kesurupan tersebut.
Tidak ada dari kalangan Para Imam yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan. Barangsiapa mengklaim bahwa syariat ini telah mendustakan peristiwa tersebut berarti dia telah berdusta atas nama syariat. Dan sesungguhnya tidak ada dalil-dalil syar’i yang menafikannya.” [Majmu’ Fatawa (24/276-277)].
Pembaca yang budiman, seputar permasalahan kesurupan atau kerasukan jin (baca: setan), berpijak di atas dalil dari Al-Quran, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama terpercaya umat Islam, sehingga kesimpulannya adalah:
1. Bahwa keberadaan jin merupakan perkara yang benar menurut Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta kesepakatan salaful ummah dan para ulamanya.
2. Masuknya jin ke dalam tubuh manusia (kesurupan/ kerasukan setan), benar pula adanya menurut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kesepakatan salaful ummah dan para ulamanya serta realita pun membuktikannya.
Wallahu A’lam