Jauhi Perbuatan Saudara-Saudara Setan
Perilaku tabdzir (KBBI: mubazir) adalah perilaku yang tercela dalam Islam. Sampai-sampai Allah Ta’ala menyebut orang yang berbuat tabdzir sebagai saudara-saudara setan.
Allah Ta’ala berfirman :
{وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)}
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 26-27).
Di dalam ayat ini, setelah Allah Ta’ala memerintahkan untuk memberi harta (pembiayaan) kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya, kemudian Allah melarang untuk berbuat tabdzir dan berlebihan padanya.
Shahabat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan tabdzir pada ayat di atas adalah mengeluarkan harta untuk perkara yang tidak pantas atau bukan haknya.
Contohnya: seorang mengeluarkan biaya untuk berbuat maksiat. Maka ini termasuk tabdzir, sebagaimana diterangkan oleh Qotadah rahimahullah.
Sebaliknya, jika harta tersebut dikeluarkan dalam rangka berbuat ketaatan kepada Allah, meskipun dalam jumlah yang banyak, maka tidak termasuk tabdzir.
Mujahid rahimahullah menyatakan: “Kalau sekiranya ada orang yang menginfakkan seluruh hartanya dalam perkara yang hak (benar), maka itu bukan mubazir. Dan kalau dia menginfakkan hartanya dalam perkara yang tidak hak (benar) meskipun hanya satu mud (tangkupan tangan) saja, maka terhitung tabdzir.”
Sehingga dari keterangan di atas, perbuatan tabdzir tidak dihitung dari besar-kecilnya pengeluaran, akan tetapi yang jadi tolok ukur adalah tujuan dari pengeluaran tersebut. Jika harta itu dikeluarkan untuk perkara yang baik, kepada pihak yang pantas menerimanya dan dilakukan dengan cara yang benar, maka tidak dianggap tabdzir walaupun besar jumlahnya.
Akan tetapi jika harta itu dikeluarkan untuk perkara yang jelek, kemaksiatan, dan diberikan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya, maka teranggap tabdzir meskipun jumlahnya sedikit.
Termasuk bimbingan Islam yang mulia adalah tidak berlebihan atau boros dalam masalah pengeluaran. Hal ini termasuk sifat hamba-hamba Allah yang dipuji di dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan (termasuk hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir , tapi diantara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqan : 67).
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, artinya mereka adalah orang-orang yang tidak berbuat mubazir dalam hal nafkah mereka, sehingga mengeluarkan harta di luar kebutuhan. Akan tetapi juga tidak bakhil/kikir kepada keluarga mereka, sehingga mengurangi hak mereka dan tidak mencukupinya. Sikap mereka adil dan tepat.
Kesimpulannya, harta yang Allah berikan kepada kita wajib disyukuri dan dipergunakan sebaik mungkin. Perbuatan tabdzir, membuang-buang harta, boros dan semisalnya adalah tercela dalam Islam.
Wallahul Muwaffiq