Hiburan Orang Beriman

(Bagian – 1)
Mengerjakan amal apapun pasti akan menemui titik jenuh. Memilih hiburan yang tepat bisa menjadi solusi untuk menghilangkan kejenuhan dan menyegarkan kembali semangat beraktifitas.
Demikian halnya seorang mukmin di dalam perjalanannya menuju negeri akhirat, akan dihampiri rasa suntuk dan lelah. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan supaya jangan menghabiskan semua energi untuk beribadah, akan tetapi sedikit demi sedikit, yang penting kontinyu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مِنَ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ؛ فَإِنَّ اللهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا ، وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ
“Wahai manusia, kerjakanlah amalan sesuai batas kemampuan kalian. Sebab, Allah tidaklah bosan, sampai kalian-lah yang bosan. Sungguh amalan yang paling dicintai Allah ialah yang kontinyu meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari [5861] dan Muslim [782]).
Hiburan, Bukan Sekadar Hiburan
Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan jiwa manusia dalam keadaan condong kepada keburukan. Demikian Allah kehendaki supaya manusia bisa menyiasati diri.
Hiburan bisa menjadi siasat yang jitu untuk merayu jiwa yang malas.
Oleh karena itu, Imam Ibnul Jauzi (w. 597H) menyatakan, “Istirahat untuk mengisi tenaga supaya semangat kembali terhitung perbuatan (membangkitkan) semangat.” (Shaidul Khatir, hlm 253).
Dengan demikian, konsep hiburan seorang mukmin bukanlah sekadar hiburan yang tidak ada timbal baliknya. Justru hiburan itu menjadi penyeimbang yang akan menjaga keistikamahan ibadahnya.
Imam Ibnul Qoyyim (w. 751) menuturkan, “Bukankah melakukan sedikit perkara buruk sebagai batu loncatan untuk meraih kebaikan adalah hikmah dan pemikiran yang cerdik? Bahkan, sedikit keburukan itu akan berubah menjadi kebaikan jika mendukung terwujudnya kebaikan itu sendiri.
Oleh karena itu, orang yang bermain dengan kudanya, panahnya dan istrinya terhitung sebagai kebaikan, asalkan men-support dirinya untuk menjadi lebih berani, lihai berjihad, dan menjaga diri.
Jiwa itu tidak akan tunduk kepada kebaikan kecuali dengan iming-iming. Kalau jiwa bisa dibujuk dengan keburukan yang kecil supaya bergegas mengerjakan kebaikan, maka lebih bermanfaat dan lebih bagus daripada tidak melakukan keburukan itu.
Demikianlah cara terbaik mendidik jiwa dan menyempurnakannya. Maka cermatilah perkara ini dengan seksama, sungguh metode seperti ini sangat bermanfaat.” (al-Kalam ‘ala Mas’alati Sama’ [1/237]).
Bukan berarti yang dimaksud keburukan di atas adalah melakukan kemaksiatan, akan tetapi yang dimaksud adalah mengerjakan perkara yang sifatnya senang-senang dan main-main. Karena sekadar melakukan senda gurau tanpa ada maksud yang syar’I adalah perbuatan tercela. Minimalnya, membuang waktu tanpa ada manfaat untuk akhiratnya.
Pilih Hiburan yang Berkualitas
Seorang mukmin yang cerdas tentu akan memilih hiburan yang berkualitas. Sesuai konsep di atas, hiburan yang bisa membangkitkan semangat beribadah kembali.
Contohnya, seorang bertamasya atau jalan-jalan untuk menghibur diri dan keluarganya. Upayakan ada pelajaran dan ibrah yang bisa dipetik dari perjalanan tersebut. Misalnya, berjalan di sela-sela pegunungan yang berbaris nan indah, jadikan kesempatan ini untuk tadabur alam dan mengingat kekuasaan Allah.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala menyatakan :
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah (wahai Rasul), berjalanlah kalian di muka Bumi, lalu perhatikanlah, bagaimana (Allah) memulai penciptaan, kemudian Allah bangkitkan kembali untuk kali yang kedua. Sesungguhnya Allah Mahamampu atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ankabut : 20).
Contoh lain, seorang mukmin bisa menghibur diri dan keluarga dengan membaca kisah orang-orang terdahulu. Membaca kisah masa lampau, jika itu bersumber dari referensi yang terpercaya, punya banyak manfaat dan bisa menjadi pelipur lara.
Itulah sebabnya di dalam Al-Quran disebutkan banyak kisah para Nabi dan orang-orang terdahulu. Salah satu tujuannya adalah menghibur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendapati banyak tekanan dan penolakan dari kaumnya.
Salah satu pakar tafsir abad ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di (w. 1376H) menyampaikan, “Kisah-kisah yang disebutkan dalam al-Quran mengandung wejangan, pelajaran, motivasi, peringatan, solusi dari himpitan, kemudahan setelah kesulitan, kesudahan yang baik di dunia, serta sanjungan dan kecintaan dalam hati manusia. Itu semua akan menjadi bekal bagi orang bertakwa, kebahagiaan bagi para hamba, pelipur lara bagi orang yang bersedih, dan wejangan bagi orang mukmin.” (Taisirul Lathifil Mannan, hlm. 171).
Bersambung ke Bagian 2 …