Edisi Ramadhan

Fatawa seputar Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh barokah bagi umat Islam. Keutamaan ini tidak diberikan kepada umat sebelum mereka. Agar kita bisa memperoleh barokah yang besar di bulan tersebut, maka hendaknya kita menjalani berbagai ibadah di bulan Ramadhan dengan ilmu. Berikut ini kami bawakan beberapa bimbingan ulama seputar ibadah di bulan Ramadhan.

Hukum Niat di Malam Hari

Apa hukum orang yang belum mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, apa yang harus dia lakukan?

Orang yang belum mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, wajib baginya untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa pada sisa hari itu, karena sudah masuk Ramadhan. Tidak boleh bagi yang mukim dan orang sehat untuk melakukan salah satu dari perkara yang membatalkan puasa dan wajib baginya mengganti hari tersebut karena dia belum berniat puasa di malam hari sebelum fajar (shubuh). Rasulullah telah bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barang siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sebelum fajar (shubuh) maka tidak ada puasa baginya”. (HR. Daruquthni dengan sanadnya dari ‘Amrah dari ‘Aisyah. Daruquthni mengatakan semua perawinya terpercaya).

Ibnu Qudamah menukilkan dalam “Al Mughni” bahwa itu (kewajiban berniat di malam hari) pendapat seluruh ahli fiqih, dan yang dimaksud adalah puasa wajib sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia tadi. Adapun puasa sunnah maka boleh niat di siang hari dengan syarat tidak melakukan sesuatu dari perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar, karena telah shahih dari Rasulullah yang menjelaskan hal itu. (lihat Fatawa bin Baz : 15/251 )

Apa hukum berbuka bagi orang sakit dan musafir?

Barang siapa sakit atau musafir, maka boleh baginya berbuka/tidak berpuasa, bahkan mustahab (sunnah) dan dianjurkan dia berbuka, berdasarkan firman Allah (artinya), “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (al -Baqarah: 185) dan sabda Rasulullah,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sesungguhnya Allah menyukai jika rukhsoh-Nya (dispensasi hukum) dikerjakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan dikerjakan.” (HR. Ahmad)

Hal itu semua dengan syarat, sakit yang memberatkan baginya jika berpuasa. Adapun jika tidak memberatkan, maka tidak boleh berbuka karena hal itu tidak termasuk udzur. Adapun bagi musafir, maka berbuka adalah sunnah sebagaimana hal itu dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabat. Akan tetapi jika seorang muslim mengetahui bahwa tidak berpuasanya dia ketika safar akan memberatkan dan membebani dirinya saat mengganti di masa yang akan datang dan dia khawatir puasa tersebut berat baginya, lalu dia tetap berpuasa dengan berbagai pertimbangan tersebut maka itu baik dan tidak mengapa baginya sama saja apakah kendaraannya nyaman atau tidak. (lihat Fatawa bin Baz: 15/ 234, 235)

Menelan Ludah

Apakah menelan ludah membatalkan puasa?

Ludah tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan ulama, dan tidak mungkin ada yang mengatakan bahwa dia membatalkan. Akan tetapi jika sengaja mengumpulkan ludah lalu menelannya, sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal itu membatalkan. Namun pendapat yang benar, tidak membatalkan karena dia tidak memasukkan makanan atau minuman ke dalam rongga tubuhnya. Ludah berasal dari rongga tubuh dan kembali kepadanya. Berdasarkan hal ini, menurut pendapat yang kuat, dahak juga tidak membatalkan walaupun sudah di mulut dan ditelan. Akan tetapi hendaknya seseorang tidak menelan dahaknya karena para ulama melarangnya dari sisi sebagai kotoran yang tidak pantas untuk ditelan.

Adapun berkumur-kumur karena haus, apakah membatalkan?

Jika airnya ditelan, tidak diragukan lagi bahwa hal itu membatalkan, namun jika tidak ditelan maka tidak membatalkan. (lihat Silsilah Liqo Al Bab al Maftuh Ibnu Utsaimin: 153)

Hukum Suntikan Obat Bius dan Membersihkan Gigi atau Menambal atau Mencabutnya

Apakah mencabut gigi atau menambalnya berpengaruh pada puasa dan apa hukum suntikan obat bius?

Semua yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut tidak berpengaruh pada puasa, puasanya sah bahkan hal itu merupakan perkara yang bisa ditoleransi. Akan tetapi wajib baginya untuk tetap menjaga jangan sampai ada yang tertelan baik obat atau darah. Suntikan obat bius juga tidak berpengaruh pada puasanya karena tidak bisa disamakan dengan makan dan minum. Secara hukum asal puasanya tetap sah. (lihat Fatawa bin Baz 15: 259)

Donor Darah dan Transfusi Darah

Apa ketentuan darah yang keluar dari badan yang bisa membatalkan puasa? dan bagaimana bisa membatalkan puasa?

Darah yang bisa membatalkan puasa adalah darah yang keluar karena bekam, berdasarkan sabda Rasulullah (artinya), “Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya-red).”

Mengeluarkan darah dengan sengaja sehingga keluar darah yang banyak yang menyebabkan pelakunya lemah seperti donor darah, maka dikiaskan pada bekam. Karena hal itu bisa membatalkan puasa sebagaimana bekam. Karena syariat Islam tidak membedakan sesuatu yang sama dan tidak menyamakan sesuatu yang berbeda.

Adapun darah yang keluar tanpa sengaja seperti darah mimisan atau teriris tangannya ketika memotong daging atau menginjak kaca dan semisalnya, maka hal itu tidak membatalkan puasa walaupun keluar darah yang banyak. Demikian pula kalau keluar darah sedikit seperti darah yang dikeluarkan untuk tes darah juga tidak membatalkan puasa. (lihat Fatawa bin Baz:15/ 272)

Apa hukum transfusi darah bagi orang yang sakit gagal ginjal dalam keadaan dia berpuasa, apakah wajib baginya mengqadha atau tidak?

Wajib baginya mengqadha (mengganti puasanya) disebabkan darah bersih yang dimasukkan dalam tubuhnya, apalagi ada tambahan zat yang lain, maka ini juga sebagai pembatal lainnya. (lihat Fatawa bin Baz :15/274)

Haid dan Nifas

Jika seorang wanita haid di bulan Ramadhan atau di akhir masa nifasnya dan suci dari hal itu setelah fajar di salah satu hari di bulan Ramadhan, apakah wajib baginya berpuasa pada hari itu atau tidak? Apa yang harus dia lakukan jika dia mandi dan mulai berpuasa, namun setelah beberapa saat nampak baginya darah haid atau nifas. Apakah dia harus memutus puasanya ataukah hal itu tidak berpengaruh padanya?

Terkait dengan poin yang pertama, yaitu apabila seorang wanita suci dari haid atau nifasnya di pertengahan hari maka dia wajib mandi, shalat dan puasa pada sisa hari tersebut, kemudian mengganti puasa hari tersebut di hari yang lain.

Adapun poin yang kedua, yaitu jika darah haidnya sudah berhenti, kemudian mandi, setelah beberapa saat ternyata melihat cairan merah pudar atau kuning yang keluar, maka jangan dipedulikan, berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah : “Kami dulu sama sekali tidak mempedulikan adanya Kudroh (cairan merah pudar) dan Sufroh (cairan kuning) yang keluar setelah mandi haid” (HR. Abu Daud dan Nasa’i). Maka jangan pedulikan hal itu.

Adapun terkait dengan nifas, jika darahnya berhenti sebelum 40 hari, dan mandi, kemudian ada sesuatu yang keluar lagi, maka itu termasuk nifas. Puasa dan shalatnya tidak sah selama nifasnya masih ada, karena masih di masa nifas. Adapun kalau sudah sempurna 40 hari, lalu mandi dan ternyata ada yang keluar lagi, maka jangan diperdulikan, kecuali jika bertepatan dengan masa kebiasaan haidnya, maka itu adalah haid.

Kesimpulannya, permasalahan ini perlu diperinci. Jika masa haidnya sudah sempurna, lalu mandi, kemudian melihat cairan kembali, maka jangan diperdulikan. Jika masa haidnya belum sempurna, lalu melihat tanda suci di masa haidnya dan mandi lalu keluar darah lagi, maka itu dianggap haid karena masih dalam masa kebiasaan haidnya. Begitu pula perincian dalam masalah nifas. (lihat Muntaqa Fatawa Al Fauzan)

Tidur Siang Hari, Begadang di Malam Hari

Sebagian orang begadang sampai fajar kemudian tidur setelah shalat Shubuh sampai masuk waktu dhuhur, kemudian shalat dan kembali tidur sampai ashar lalu tidur sampai waktu menjelang berbuka. Apa hukum Islam terkait cara yang semacam ini?

Tidak mengapa tidur di siang hari dan malam hari jika tidak sampai meninggalkan kewajiban dan tidak sampai melakukan perkara yang diharamkan. Dan disyariatkan bagi seorang muslim baik berpuasa atau tidak untuk tidak begadang dan hendaklah segera tidur setelah Allah mudahkan melaksanakan shalat malam, kemudian bangun untuk makan sahur jika di bulan Ramadhan karena sahur hukumnya sunnah mu’akkadah berdasarkan sabda Rasulullah,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Sahurlah kalian karena sahur itu mengandung barokah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Beliau juga bersabda (artinya), “Perbedaaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) (lihat Fatawa bin Baz :15/318)

Mengqadha Puasa Orang Yang Sudah Meninggal

Apakah boleh mengqadha puasa orang yang sudah meninggal yang tidak sempat berpuasa ketika masih hidup karena udzur syar’i dalam keadaan dia sudah mengeluarkan kaffarah sebelum meninggal?

Barang siapa yang tidak berpuasa karena sakit atau safar kemudian udzur tersebut hilang, maka wajib baginya mengganti di hari yang lain jika memang memungkinkan menggantinya. Jika dia meninggal dan belum menggantti setelah Ramadhan yang lain tanpa udzur, maka wajib dikeluarkan dari harta peninggalannya untuk memberi makan satu orang miskin setiap hari setengah sha’. Adapun jika udzurnya tersebut masih ada tidak ada beban baginya. Jika sang mayit yang ditanyakan tadi menderita sakit menahun dan tidak mampu berpuasa baik langsung atau qadha’ dan telah memberi makan setiap harinya satu orang miskin, maka dia telah menunaikan kewajibannya sehingga tidak perlu lagi mengqadha’ puasanya. (Muntaqa Fatawa Al Fauzan: 222)

Pembaca, terkait cara membayar kaffarah (tebusan) bagi orang yang sudah tidak mampu melaksanakan ibadah puasa baik karena sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya atau karena usianya sudah lanjut, ada dua cara:

Pertama: Memberikan makanan siap saji kepada orang-orang miskin sejumlah hari yang ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh shahabat Anas bin Malik ketika beliau berusia lanjut.

Kedua: Membagikan makanan pokok seperti beras kepada satu orang miskin sebanyak 1 mud setiap harinya. (lihat Majmu’ fatawa ibnu Utsaimin 17/87)

Sehingga pembaca bisa memilih yang diyakininya, setengah sha’ atau satu mud ketika hendak membayar fidyah. Agar terhindar dari perbedaan pendapat tersebut pembaca bisa memberi makanan siap saji dalam satu hari satu porsi, sebagaimana shahabat Anas bin Malik -ketika beliau berusia lanjut dan tidak mampu berpuasa- pernah mengundang 30 orang miskin, lalu menjamu mereka sampai kenyang.

Allahu A’lam Bishshawab.

Penulis: Ustadz Abdul Aziz Sorong

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button