Definisi, Hukum dan Tata Cara Meluruskan Shaf Shalat Yang Benar
Di dalam praktek sehari-hari ketika shalat berjamaah di masjid-masjid, kita banyak sekali mendapati para jamaah yang merenggangkan shaf shalat, ada pula yang serius merapatkannya. Pertanyaannya, sebenarnya bagaimana Syariat Islam mengaturnya? Mari kita coba mengulasnya secara ringkas.
DEFINISI MELURUSKAN SHAF SHALAT
Disebutkan dalam Mausu’atul Musthalahatil Islamiyah (jilid ketiga, hal. 14) :
(Makna) Shaf (secara bahasa Arab, pen) adalah garis lurus dari segala sesuatu.
Dan makna shaf secara syar’i adalah teraturnya 2 orang atau lebih yang bersebelahan serta menempel lurus tumitnya dalam shalat berjamaah.
Dijelaskan pula oleh al-‘Allamah Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi rahimahullah dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud :
“Yang dimaksud dengan meluruskan shaf (shalat berjamaah, pen) adalah mensejajarkan orang-orang yang berdiri pada shaf tersebut dalam satu garis, atau bertujuan untuk mengisi celah-celah yang ada pada garis tadi”. (Kitabus Shalah, Bab 93, jilid 1 hal. 238, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah).
HUKUM MELURUSKAN SHAF SHALAT BERJAMAAH
Ada banyak hadits yang sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan tentang keseriusan dan perhatian beliau terhadap lurus dan rapatnya shaf shalat. Demikian pula perhatian, keseriusan dan komitmen para shahabatnya di dalam menjaga shaf untuk tetap lurus dan rapat.
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mencantumkan judul pada salah satu bab di dalam kitab Shahih-nya (jilid 2 hal. 245) dengan redaksi :
باب إثم من لا يتم الصفوف
“Bab Berdosanya Orang Yang Tidak Menyempurnakan Shaf Shalat”
Kemudian Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membawakan riwayat dengan sanadnya sampai ke Busyair bin Yasar al-Anshari dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwa beliau datang ke Madinah. Kemudian ada salah seorang berkata kepada Anas : “Apa yang Anda ingkari dari kami semenjak hari dimana anda hidup di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?_
Beliau menjawab : “Tidak ada apapun yang aku ingkari dari kalian kecuali kalian tidak meluruskan shaf“. (HR. Al-Bukhari no. 724).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan dalam Fathul Bari (jilid 2 hal. 246) : “Ada kemungkinan bahwa al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengambil kesimpulan hukum wajib (merapatkan shaf, pen) dari konteks perintah pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ
“Luruskan shaf-shaf kalian”.
Dan beliau (al-Imam al-Bukhari juga mengambil kesimpulan hukum wajib, pen) dari keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”.
(Hukum wajibnya merapatkan dan meluruskan shaf) juga beliau ambil dari adanya ancaman bagi pihak yang meninggalkannya. Dengan berbagai indikasi yang ada ini, maka pendapat yang benar menurut beliau (al-Imam al-Bukhari, pen) adalah bahwa pengingkaran Shahabat Anas bin Malik hanya terjadi disebabkan ditinggalkannya amalan wajib. Walaupun terkadang pengingkaran juga terjadi karena ditinggalkannya amalan sunnah.
Bersamaan dengan pendapat wajibnya meluruskan shaf, namun shalatnya orang yang menyelisihi bimbingan ini dengan tidak merapatkan shaf, tetaplah sah karena perbedaan 2 sisi. Diperkuat lagi dengan sikap Anas yang walaupun mengingkari tindakan tidak meluruskan shaf, beliau tidak memerintahkan pelakunya untuk mengulangi shalatnya”.
Maka bisa disimpulkan dari penjelasan al-Imam Ibnu Hajar rahimahullah di atas bahwa hukum meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah adalah wajib.
TATACARA MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAF SHALAT YANG BENAR
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam tata cara merapatkan shaf shalat, juga telah meletakkan bab khusus dalam Kitab ash-Shahih, yaitu :
بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِيْ الصَّفِّ
Bab Menempelkan Pundak dengan Pundak, dan Kaki dengan Kaki di dalam Shaf Shalat.
Kemudian al-Imam al-Bukhari rahimahullah membawakan riwayat mu’allaq (tanpa sanad, pen) ucapan Shahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhu :
رَأَيْتُ رَجُلًا مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعبِ صَاحِبِهِ
“Aku melihat salah seorang dari kami melekatkan mata kakinya dengan mata kaki saudaranya”.
Kemudian setelahnya al-Imam al-Bukhari rahimahullah membawakan hadits lengkap dengan sanadnya sampai ke Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda :
أَقِيْمُوْا صُفُوْفُكم فَإِنّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
“Luruskan dan rapatkan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku”.
وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Dan salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak saudaranya, dan menempelkan kakinya dengan kaki saudaranya”. (HR. Al-Bukhari no. 725).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah kembali menjelaskan dalam Fathul Bari (jilid 2, hal. 247, cet. Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah):
“Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berargumen dengan hadits an-Nu’man radhiyallahu anhu ini bahwa yang dimaksud dengan lafazh/teks al-ka’ab/mata kaki (الكعب) pada ayat wudhu adalah tulang yang menonjol keluar pada kedua sisi kaki, yaitu pertemuan antara betis dengan telapak kaki. Bagian inilah yang memungkinkan untuk ditempelkan dengan sebelahnya”.
Sehingga dengan demikian, lurus dan rapatnya shaf bisa diwujudkan dengan cara yang dipraktekkan oleh para shahabat radhiyallahu anhum ajma’in yaitu saling menempelkan mata kaki kita dengan mata kaki saudara kita di sebelah kita, demikian pula dengan menempelkan pundak.