Tauhid

NADZAR UNTUK SELAIN ALLAH

Tak jarang, ketika seorang merasa memiliki banyak kekurangan namun berniat kuat untuk tetap beramal ketaatan, dia mewajibkan dirinya sendiri untuk menunaikan amalan tersebut. Atau tatkala seorang mulai tidak sabar dan kurang percaya terhadap datangnya janji Allah subhanahu wata’ala sehingga berprasangka bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak akan mewujudkan keinginannya melainkan kalau dia beramal ketaatan, maka dia mewajibkan dirinya sendiri untuk menunaikan amalan itu setelah keinginannya itu terpenuhi.

Hendaklah pada saat itu, dia menyadari bahwa pewajiban dirinya sendiri untuk melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak diwajibkan syariat merupakan sebuah nadzar. Dan lebih dari itu, seyogyanya dia memahami bahwa nadzar itu adalah sebuah ibadah. Sehingga mutlak harus dipersembahkan kepada Allah I saja dan tidak diperkenankan untuk diselewengkan pada selain-Nya.
Para ulama kita sebagai pewaris Nabi ? menerangkan kepada kita tentang perkara-perkara yang ternyata banyak di antara kita tidak memahaminya. Terutama dengan digolongkannya nadzar sebagai suatu ibadah sehingga sangat rawan sekali untuk kita terjerumus kepada kesyirikan kepada Allah I.
Allah I berfirman di dalam Al Quran yang mulia : وَ مَا أنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍفَإِنَّ اللهَ يَعْلَمُهُ
“Dan apa yang kalian nafkahkan dari sebuah nafkah atau kalian nadzarkan dari sebuah nadzar maka pasti Allah mengetahui-Nya “. (QS. Al Baqarah : 270)
Asy Syaikh Sulaiman bin Abdillah Alu Syaikh rohimahullah di dalam “Taisirul Azizil Hamid Fii Syarhi Kitabit Tauhid” hal. 161, berkata : “Allah I memberitahukan bahwa segala apa yang kita nafkahkan dari sebuah nafkah atau kita nadzarkan dari sebuah nadzar dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya pasti diketahui dan dibalas oleh Allah I . Maka perkara tersebut (nafkah atau nadzar) adalah sebuah ibadah. Setiap muslim tentu tahu bahwa siapa saja yang menyelewengkan sesuatu dari bentuk-bentuk ibadah kepada selain Allah, maka orang tersebut telah berbuat syirik”.
Allah I juga memuji orang-orang yang berbuat baik tatkala menunaikan nadzarnya :
يُوفُوْنَ بِالنَّذْرِ ويَخََافُوْن يَوْمًا كََانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا
“Mereka (orang-orang yang berbuat baik) menunaikan nadzarnya dan takut kepada suatu hari yang kejelekannya merata.” (QS. Al Insan : 7)
Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahullah di dalam “Al Qoulul Mufid” 1/246, berkata : ”Dan pujian Allah kepada mereka karena perkara ini (penunaian nadzar) mengandung unsur bahwa perkara ini adalah ibadah, sebab seseorang tidaklah dipuji dan berhak masuk Jannah melainkan dengan sebab suatu perbuatan yang dinamakan ibadah”.
Demikan juga Rosulullah ? di dalam banyak haditsnya memerintahkan beberapa sahabatnya yang telah bernadzar untuk menunaikannya. Tentunya perintah beliau untuk menunaikan sesuatu menunjukkan bahwa sesuatu tersebut merupakan ibadah. Hal ini dapat dilihat dari hadits Aisyah ? yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori dalam Shohihnya, dari Nabi ?, beliau bersabda :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يِّطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barang siapa bernadzar untuk mentaati Allah maka taatilah.”
Bahkan Al Imam Al Bukhori rahimahullah menyebutkan bahwa apabila seseorang tidak menunaikan nadzarnya maka dia telah berdosa. Beliau mengatakan di dalam Shohihnya : ”Bab Dosa Orang Yang Tidak Menunaikan Nadzar”. Kemudian beliau membawakan hadits Imron bin Hushoin ? dari Nabi ?, beliau bersabda :
ثُمَّ يَجِئُ قَوْمٌ يَنْذُرُوْنَ وَلاَيَفُوْنَ وَيَخُوْنُوْنَ وَلاَ يُؤْتَمَنُوْنَ
“Lalu datang suatu kaum yang bernadzar namun tidak menunaikannya, berkhianat dan tidak bisa dipercaya.”
Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam “Fathul Bari” menerangkan riwayat tersebut dengan menukilkan ucapan Ibnu Baththol yang ringkasnya : “Beliau (Nabi) ? menyamakan kedudukan antara seorang yang mengkhianati amanah dengan seorang yang tidak menunaikan nadzarnya. Khianat merupakan perbuatan tercela, maka meninggalkan penunaian nadzar pun juga tercela”.
Namun di dalam riwayat Abdullah bin Umar ? beliau berkata : “Nabi telah melarang perihal nadzar, lalu bersabda :
إِنَّهُ لاَيَرُدُّ شَيْئًا وَلَكِنَّهُ يُسْتَخْرَجُ بِِه مِنَ الْبَخِيْلِ
“Sesungguhnya dia (nadzar) tidaklah menolak sesuatu (dari takdir). Akan tetapi dia (nadzar) hanyalah muncul dari orang yang bakhil”. (Muttafaqun ‘Alaihi) Nampaknya menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana nadzar dikatakan sebagai ibadah, padahal di dalam hadits Abdullah bin Umar tadi menunjukkan larangan untuk bernadzar (makruh)?”
Pertanyaan ini dapat dijawab, bahwa nadzar itu ada dua macam :
1. Nadzar Mutlaq yaitu nadzar yang tidak disertai timbal balik, misal : “Karena Allah, wajib bagiku nadzar untuk sholat malam sepuluh rakaat”.
2. Nadzar Muqoyyad yaitu nadzar yang disertai syarat imbal balik, misal : “Kalaulah Allah menyembuhkan penyakitku, maka aku akan shaum satu hari”.
Dari dua macam (nadzar) di atas maka yang dimaksud nadzar ibadah adalah Nadzar Mutlaq sebagaimana penjelasan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Sedangkan nadzar yang dilarang adalah Nadzar Muqoyyad sebagaimana penjelasan Asy Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Alu Syaikh hafidhohumullah di dalam “Syarah kitab Tsalatsatil Ushul” hal. 55-56. Bahkan pendapat beliau ini juga diungkapkan sebelumnya oleh Al Imam Al Qurtubi rahimahullah yang dinukilkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Sekarang timbul pertanyaan lagi di benak kita, kalau nadzar ibadah itu adalah nadzar muthlaq bukan nadzar muqoyyad, berarti nadzar muqoyyad kalau diselewengkan kepada selain Allah, apakah tidak termasuk perbuatan syirik ?
Asy Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Alu Syaikh hafidhohullah di dalam “Syarah kitab Tsalatsatil Ushul” hal. 57 memberikan penjelasan bahwa kedua macam nadzar tersebut bila diselewengkan kepada selain Allah ? maka termasuk perbuatan syirik kepada Allah.

Bagaimana bisa dikatakan demikian ?
Bila seseorang mengucapkan nadzar muqoyyad, misalnya : “Bila aku disembuhkan Allah ?, maka aku akan bershodaqoh untuk kuburan wali fulan”. Maka ucapan dia “Bila aku disembuhkan Allah “ menunjukkan bahwa dia mengakui dan meyakini tauhid rububiyah Allah. Namun tatkala dia mengucapkan “maka aku akan bershodaqoh untuk kuburan wali fulan” maka dia telah mempersembahkan shodaqoh yang merupakan ibadah kepada kuburan wali fulan tersebut dalam rangka pengagungan terhadap kuburan tersebut. Maka terjatuhlah dia kepada kesyirikan di dalam tauhid ibadah (uluhiyyah). Wal’iyadzu billah.
Para ulama’ dari empat madzhab baik madzhab Asy Syafi’i, Maliki, Hanafi maupun Hambali telah menyepakati larangan bernadzar kepada selain Allah. Kalau seandainya mereka mengaku menghormati ulama-ulama madzhab mereka, maka cobalah mereka dengarkan nasehat-nasehat para ulama tersebut. Asy Syaikh Sulaiman Alu Syaikh dalam “Taisir” hal. 162, menukilkan ucapan Al Imam Al Adzru’i seorang ulama’ Syafi’iyah, beliau berkata : “Dan adapun nadzar untuk tempat yang dibangun pada kuburan wali, syaikh atau dibangun atas nama seorang wali yang pernah singgah dan berulang kali datang ke tempat itu, maka apabila orang yang bernadzar meniatkan – yang kebanyakan niatnya seperti itu – untuk mengagungkan tempat, majelis, atau suatu sudut tempat beribadah orang sholih, atau orang yang di dalam kuburan, nama orang yang dibuat majelis karenanya, maka nadzarnya batil. Sebab, sesungguhnya mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat tersebut memiliki kekhususan. Mereka menganggap tempat-tempat tersebut merupakan sebab dicegahnya suatu bala’, diraihnya kenikmatan-kenikmatan, dengannya pula disembuhkannya penyakit-penyakit. Sampai-sampai mereka bernadzar kepada sebagian bebatuan tatkala ada yang menceritakan bahwa batu-batu itu pernah diduduki orang sholih. Mereka bernadzar kepada sebagian kubur-kubur dengan memberi pelita, lilin, atau minyak. Lalu mereka mengatakan : “Kubur si Fulan atau tempat si Fulan menerima nadzar”. Mereka memaksudkan dengan ucapan tersebut dapat teraih segala keinginan, seperti kesembuhan, kembalinya sesuatu yang hilang, keselamatan harta dan macam-macam nadzar mujazah (muqoyyad) yang lainnya. Nadzar dalam bentuk seperti tadi adalah batil dan tidak ada keraguan akan kebatilannya. Bahkan nadzar untuk memberi minyak, lilin dan selainnya kepada kubur adalah batil secara mutlak. Di antara contoh nadzar seperti itu adalah nadzar untuk memberi lilin yang banyak dan besar kepada kubur Nabi Ibrohim ? atau selain beliau dari para nabi atau orang-orang sholih. Tidaklah seorang yang bernadzar untuk memberi pelita kepada kubur tersebut melainkan pasti dalam rangka tabarruk dan pengagungan padanya. Mereka menyangka bahwa perbuatan tersebut adalah taqarrub (kepada Allah I). Padahal tidak diragukan lagi tentang batilnya perbuatan tersebut, memberikan cahaya seperti tadi adalah haram, baik orang yang bernadzar itu mendapatkan manfaat atau pun tidak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalam “Iqtidlo’ Shirotil Mustaqim” 2/158-160 berkata : “Dan lebih jelek dari itu (safar ke suatu tempat tertentu yang tidak disyariatkan untuk mendapatkan barokah), seseorang bernadzar dalam rangka mempersembahkan minyak tanah untuk menerangi tempat tersebut. Lalu dikatakan tempat itu menerima nadzar sebagaimana ucapan orang-orang sesat. Sesungguhnya nadzar seperti itu adalah nadzar maksiat menurut kesepakatan para ulama. Tidak boleh ditunaikan akan tetapi wajib bagi orang yang telah bernadzar tersebut untuk membayar kafaroh (tebusan) menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya Al Imam Ahmad. Ini adalah pendapat yang masyhur dari beliau. Namun beliau juga punya pendapat lain yang persis dengan pendapat Abu Hanifah, Al Imam Syafi’i dan selain keduanya, bahwa wajib bagi orang tersebut meminta ampun kepada Allah dari nadzarnya. Tidak ada kafaroh baginya, dan permasalahan ini sangat ma’ruf.
Demikian halnya jika seorang bernadzar memberikan sebuah roti atau selainnya untuk ikan-ikan yang ada di mata air atau sumur tertentu (dalam rangka tabarruk). Demikian juga jika bernadzar dengan harta baik berupa uang atau selainnya untuk penjaga makam atau orang-orang yang beri’tikaf di tempat itu. Sesungguhnya mereka para penjaga makam itu mirip dengan para penjaga makam yang ada pada berhala Latta, Uzza dan Manat. Mereka makan harta manusia dengan batil. Mencegah manusia dari jalan Allah. Ada pun orang-orang yang beri’tikaf di tempat itu mirip dengan orang-orang yang beri’tikaf, yang diajak bicara Ibrohim Al Kholil, imam orang-orang yang bertauhid, beliau ? berkata
: مَاهَذِه التَّمَاثِيْلُ الَّتِي أَنْتُمْ لها عَاكِفُونَ
“Berhala apa ini yang kalian beriktikaf di dekatnya?”. (QS. Al Anbiyaa’ : 52) Beliau juga berkata
: أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ أَنْتُمْ وَأَبَاؤُكُمْ اْلأَقْدَمُوْنَ فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
“Bagaimana pendapat kalian tentang apa yang kalian ibadahi, kalian dan bapak-bapak kalian yang dahulu. Maka sesungguhnya mereka (sesembahan-sesembahan) itu musuhku kecuali Robbul’alamin”. (QS. Asy Syu’ara’ : 75-77)
Juga mirip dengan orang-orang yang didatangi Musa ? dan kaumnya. Sebagaimana firman Allah
: وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيْلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا على قَوْمٍ يَعْكِفُوْنَ على أَصْنَامٍ لهم ْ
“Dan kami selamatkan Bani Isroil dari lautan lalu mereka mendatangi suatu kaum yang bei’tikaf dekat berhala-berhala mereka” (QS. Al A’rof : 138)
-Sampai pada ucapan beliau- “lalu harta yang dinadzarkan ini kalau disedekahkan dalam bentuk ibadah yang disyariatkan seperti disedekahkan untuk kemakmuran masjid-masjid (yang ditegakkan syiar-syiar Islam – pen) atau untuk orang-orang sholih dari kalangan orang-orang fakir muslimin yang mereka menjadi terbantu dengan harta dalam beribadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, maka yang demikian itu sangat baik. Di antara tempat-tempat tadi ada yang disangka, bahwa tempat itu adalah kuburan seorang nabi atau orang sholih padahal bukan. Atau tempat itu adalah tempat ibadah mereka padahal bukan. Adapun kalau memang ternyata tempat itu adalah kubur Nabi atau tempat ibadahnya maka ini masuk ke dalam jenis kedua (tempat yang tidak ada kekhususan untuk pergi ke sana dalam rangka mendapatkan barokah)”

. TANYA – JAWAB
Tanya : Nadzar untuk selain Allah adalah batil. Bila seseorang misalnya bernadzar seekor kambing untuk Syaikh Muhyiddin atau Abdul Qodir Al Jailani. Kemudian menginfakkan dagingnya kepada para faqir dengan harapan untuk tersampainya pahala infak tersebut kepada ruh syaikh tersebut. Yang dari perbuatan itu akan muncul barokah kepada orang yang bernadzar menurut keyakinannya. Apakah nadzar seperti ini dianggap sah? Bila tidak, apakah dihalalkan makan daging tadi ataukah termasuk di dalam firman Allah ?:
وَما أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ به
“Dan apa-apa yang disembelih karena selain Allah”. (QS. Al Maidah : 3) Sebab, hewan yang dinadzarkan tadi adalah hewan suci. Apakah menjadi haram untuk dimakan karena nadzar yang batil tadi?
Jawab :
Pertama : Nadzar dan menyembelih karena Allah adalah sebuah ibadah dari bentuk-bentuk ibadah yang tidak boleh sedikit pun diperuntukkan kepada selain Allah. Barangsiapa yang bernadzar atau menyembelih karena selain Allah, maka dia telah berbuat syirik kepada-Nya. Makin besar dosanya apabila orang tersebut berkeyakinan bahwa si mayit mampu memberikan manfaat atau mudhorot karena dia telah menyekutukan Allah di dalam rububiyyah dan sekaligus uluhiyyah-Nya.
Kedua : Nadzar untuk selain Allah tidaklah sah bahkan batil. Sehingga segala sesuatu yang dinadzarkan untuk selain Allah berupa makanan atau pun hewan yang boleh dimakan, namun tidak disembelih karena Allah merupakan bangkai yang diharamkan untuk dimakan pemiliknya atau orang lain. Maka masuklah di dalam keumuman ayat tadi. (Fatwa Lajnah Da’imah no. 4299)
Wallahu A’lam bish Showab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button