Hadits

Suap, Nikmat Sementara Membawa Sengsara

            Para pembaca yang berbahagia.

            Kasus suap memang sering menjadi topik pembicaraan yang hangat di tengah masyarakat. Beritanya pun telah menghiasi halaman berbagai surat kabar serta media massa lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut sangat merugikan berbagai pihak. Padahal junjungan kita yang mulia yaitu Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan akan bahayanya. Hanyalah laknat, celaan, umpatan, dan hujatan yang akan menyelimuti diri mereka. Namun sayang, sangat sedikit yang mau mengambil pelajaran darinya.

 

Kedudukan Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baghawi, al-Baihaqi, Ibnu Hibban dan sejumlah ulama di dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu Hibban dan para pakar hadits lainnya seperti Ibnu Hajar.

Sementara itu dalam riwayat lain yang shahih juga disebutkan:

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

“Rasulullah telah melaknat penyuap dan penerima suap.”

Dalam 2 hadits tersebut sangat jelas menerangkan tentang kesengsaraan yang akan menimpa para pelaku suap baik sebagai penyuap maupun penerima suap, yaitu akan mendapatkan laknat Allah dan Rasul-Nya.

Kalau ada seorang yang bertanya, “Atas dasar apa mereka berhak mendapatkan laknat?” Maka jawabannya ialah, “Karena dalam perbuatan yang dilakukan oleh keduanya mengandung berbagai kerusakan yang besar, menggugurkan hak-hak manusia dan ada unsur penipuan di dalamnya.” (Lihat Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)

Makna suap (risywah) secara bahasa adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut tercapainya suatu maksud yang diinginkan.

Adapun makna suap secara syar’i adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut tercapainya suatu tujuan yang tidak benar atau untuk menggugurkan suatu hak. (Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)

Contohnya, seseorang memberikan sejumlah uang kepada pimpinan agar diterima sebagai PNS padahal dia tidak lulus dalam ujian. Atau membayar sejumlah uang untuk mendapat SIM padahal dia belum cukup umur.

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullaah mengatakan, “Suap hukumnya adalah haram menurut kesepakatan para ulama, sama saja apakah diberikan kepada hakim (atau jaksa) atau petugas yang menarik zakat dan selain keduanya. Karena sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang tidak benar dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, dalam keadaan kamu mengetahui.” (Al-Baqarah:188) (Lihat Subulus Salam 2/577)

 

Mengapa suap diharamkan?

Suap diharamkan dengan beberapa alasan berikut:

1. Berdasarkan hadits yang shahih disebutkan bahwa Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap. (Ini adalah ancaman yang sangat keras) Oleh karena itulah suap digolongkan ke dalam dosa besar.

2. Suap akan mengakibatkan rusaknya norma kehidupan manusia. Seorang yang memberi suap dengan nilai yang lebih tinggi maka dialah yang akan mendapatkan kemudahan. Sehingga setiap orang akan bersaing untuk memberi suap dengan nilai yang lebih tinggi dari pihak lawannya.

3. Dengan suap, akan mendorong seseorang untuk melakukan perubahan terhadap hukum Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Suap yang diterima oleh seorang hakim, akan mendorongnya untuk memberi putusan yang tidak sesuai dengan hukum Allah subhaanahu wa ta’aalaa (keadilan). Berarti ia telah melakukan perubahan terhadap hukum Allah subhaanahu wa ta’aalaa.

4. Suap merupakan tindak kezhaliman. Hakim yang menerima suap akan memberi putusan (menguntungkan) bagi si penyuap melalui cara yang tidak benar. Berarti ia telah berbuat zhalim (tidak adil) terhadap lawan si penyuap.

5. Suap merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.

6. Suap adalah perbuatan menyia-nyiakan amanah (khianat).

(Lihat asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 15/306)

Pelajaran yang dapat kita petik dari hadits di atas adalah sebagai berikut:

1. Bolehnya melaknat penyuap dan penerima suap. Akan tetapi kebolehan melaknat di sini maksudnya adalah secara umum dan bukan kepada pribadi tertentu. Adapun melaknat pribadi tertentu maka tidak diperbolehkan walaupun orang tersebut terbukti melakukan suap. Karena bisa jadi suatu saat nanti Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberinya hidayah sehingga ia pun bertaubat dan dengan taubatnya tersebut Allah subhaanahu wa ta’aalaa mengampuni dosanya dan ia selamat dari laknat-Nya.

2. Suap adalah masalah yang besar dan merupakan bagian dari dosa besar. Hal ini karena Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap.

3. Wajibnya menegakkan keadilan di antara manusia. Dan di dalam suap, unsur ketidakadilan sangat mendominasi. Dilihat dari sisi, si penyuap lebih diutamakan (mendapat pelayanan) daripada selainnya. Atau mendapat putusan (yang menguntungkan) melalui cara yang tidak benar padahal dalam keadaan sebagai pihak yang bersalah. (Lihat Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/43)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullaah meletakkan pembahasan suap pada bab riba dalam kitab Bulughul Maram. Mengapa dimasukkan pada bab riba? Karena antara suap dan riba ada sisi kesamaan. Suap adalah memakan harta (orang lain) melalui cara yang tidak benar dan ini mirip dengan riba. (Lihat Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/43)

 

Praktek Suap

Praktik suap yang dilakukan oleh beberapa oknum telah mencoreng kewibawaan berbagai lembaga baik lembaga hukum, legislatif, pendidikan, olahraga, dll. Sejak zaman dahulu sampai sekarang telah dikenal bahwa lembaga hukum merupakan lembaga yang di dalamnya banyak sekali diwarnai kasus suap.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “…dan kebanyakan kasus suap terjadi pada lembaga hukum, di mana salah satu pihak yang bermasalah akan menyuap hakim (atau jaksa) agar memberi putusan sesuai yang diinginkan. Kasus suap juga terjadi pada lembaga yang lain, seperti seorang memberi suap kepada pimpinan atau direktur agar diterima sebagai pegawai padahal dia bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut.” (Lihat Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan y mengatakan, “Dan diharamkan bagi seorang hakim untuk menerima suap, berdasarkan hadits Ibnu ‘Amr, beliau berkata, “Rasulullah melaknat penyuap dan penerima suap.” (HR. at-Tirmidzi)

Kasus suap yang dilakukan oleh seorang hakim memiliki 2 bentuk :

1. Seorang hakim mau menerima suap dari salah satu pihak yang bermasalah untuk kemudian dimenangkan kasusnya melalui jalan yang tidak benar.

2. Seorang hakim menolak memberi putusan yang adil kepada pihak yang benar, hingga pihak yang benar memberi suap kepadanya barulah sang hakim memberi putusan. Ini adalah bentuk kezhaliman yang besar.”

(Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/626)

 

Suap adalah Budaya Kaum Yahudi

Para pembaca yang kami hormati.

Suap adalah budaya kaum yang dimurkai Allah subhaanahu wa ta’aalaa yakni kaum Yahudi. Padahal dalam kitab mereka sendiri yaitu Taurat, suap hukumnya adalah haram. Budaya yang buruk ini kemudian dilestarikan oleh sebagian manusia sampai sekarang tanpa ada rasa takut kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Allah telah menceritakan tentang kebobrokan akhlak kaum Yahudi dalam banyak ayat-Nya. Di antaranya adalah firman-Nya:

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

“Mereka itu (Yahudi) adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan sesuatu yang haram (suap).” (Al-Maidah: 42)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu dan para ulama ahli tafsir lainnya menafsirkan bahwa makna (السُّحْتُ) dalam surah Al-Maidah ayat 42 di atas adalah suap. (Tafsir ath-Thabari 10/319)

Al-Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kalangan hakim kaum Yahudi (di zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) semacam Ka’b bin al-Asyraf dan yang semisalnya. Mereka dahulu biasa menerima suap dan memberi putusan (yang menguntungkan) kepada orang yang menyuap. (Tafsir al-Baghawi 2/53)

            Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Rifqi hafizhahullaahu ta’aalaa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button