Menuai Faedah dari Surat Al-Kautsar
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa, surat ini terdiri dari 3 ayat dan tergolong surat Makkiyah (surat yang diturunkan sebelum hijrahnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah). Penamaan surat ini diambil dari kata terakhir dari ayat pertama yaitu Al-Kautsar.
Kandungan Surat Al-Kautsar
Ayat pertama:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.”
Apa itu Al-Kautsar? Ada 2 penafsiran di kalangan para ulama ahli tafsir tentang makna Al-Kautsar:
Pertama, Al-Kautsar adalah sebuah sungai yang berada di Al-Jannah (surga) yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa persiapkan untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan sebuah riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sempat terkantuk hingga tertidur. Tiba-tiba Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya sambil tersenyum, kemudian para sahabat bertanya kepada beliau, ‘Kenapa engkau tersenyum wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya baru saja turun kepadaku sebuah surat.” Kemudian beliau membaca, “Bismillahirrahmanirrahim
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
sampai akhir surat, kemudian beliau berkata, ”Tahukah kalian apa itu Al-Kautsar?, para sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya saja-lah yang lebih tahu”. Maka Rasulullah menjawab, “Dia adalah sebuah sungai yang berada di Al-Jannah (surga) yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa berikan kepadaku dan padanya terdapat kebaikan yang banyak.” (HR. Al-Imam Ahmad 3/102).
Kedua: Al-Kautsar berarti kebaikan yang sangat banyak. Sehingga Al-Kautsar tidak hanya sebatas sebuah sungai yang ada di Al-Jannah (surga), karena kebaikan yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa berikan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat banyak, sebagaimana disebutkan dalam beberapa surat di Al-Qur`an. Di antaranya ialah dengan dipilihnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang nabi dan rasul, bahkan yang terbaik di antara para nabi dan rasul. Juga dengan diturunkannya Al-Qur`an kepada beliau, satu-satunya dari kalangan nabi dan rasul yang diberi izin oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa untuk memberikan syafaat ‘uzhma di padang mahsyar, orang pertama yang Allah beri izin untuk membuka pintu Al-Jannah (surga), diampuninya dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang, dan masih banyak kebaikan yang lainnya yang tidak terhitung. Sehingga itu semua yang dimaksud dengan Al-Kautsar.
Makna yang kedua ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata tentang makna Al-Kautsar, “Dia (Al-Kautsar) adalah kebaikan-kebaikan yang telah Allah subhaanahu wa ta’aalaa berikan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih al-Bukhari no. 4966)
Pendapat yang kedua ini dikuatkan oleh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan beliau tegaskan dalam kitab tafsirnya, ”Tafsir ini (tafsir Ibnu Abbas tentang Al-Kautsar) meliputi banyak hal bahkan termasuk sungai yang berada di Al-Jannah (surga) dan yang lainnya, dikarenakan Al-Kautsar itu sebuah kata yang berasal dari kata al-katsrah (sesuatu yang banyak kuantitasnya) sehingga makna Al-Kautsar adalah kebaikan-kebaikan yang banyak. (Tafsir Ibnu Katsir) Wallahu a’lam.
Sifat Sungai Al-Kautsar
Banyak hadits yang menjelaskan tentang sifat dan ciri-ciri sungai Al-Kautsar. Salah satunya adalah hadits dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang berisi berita tentang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa isra` dan mi’raj bahwasanya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku berjalan-jalan mengelilingi Al-Jannah (surga) ditampakkan kepadaku sebuah sungai yang kedua tepinya terdapat bangunan-bangunan kubah yang terbuat dari intan berlian, kemudian seorang malaikat yang bersama beliau mengatakan kepada beliau, “Tahukah engkau (Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam) apa yang sedang engkau saksikan ini? Inilah Al-Kautsar yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah persiapkan untukmu.” (Tafsir ath-Thabari 30/208)
Inilah sekilas sifat sungai Al-Kautsar yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa siapkan untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Al-Jannah (surga). Setelah Allah subhaanahu wa ta’aalaa menyebutkan nikmat tersebut kemudian Allah perintahkan Nabi-Nya untuk bersyukur dalam ayat yang berikutnya.
Ayat Kedua:
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkurbanlah.”
Ada dua ibadah yang diperintahkan dalam ayat ke 2 ini, yaitu ibadah shalat dan kurban. Maka shalatlah untuk Rabb-mu satu-satunya, ikhlaskan niat, bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakannya dan sembelihlah hewan kurbanmu, baik berupa onta, sapi ataupun kambing, semuanya harus diserahkan dan dipersembahkan hanya untuk Allah subhaanahu wa ta’aalaa satu-satunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy rahimahullah berkata, “Disebutkan secara khusus dua ibadah dalam ayat ini, dikarenakan keduanya (shalat dan kurban) merupakan ibadah yang paling utama dan paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Dalam shalat terkandung ketundukan hati dan perbuatan untuk Allah subhaanahu wa ta’aalaa, dan dalam ibadah kurban merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa dengan sesuatu yang terbaik dari apa yang dimiliki oleh seorang hamba berupa hewan kurban. (Tafsir as-Sa’diy hal. 936)
Hubungan Ayat Kedua dengan Ayat Pertama
Hubungan ayat kedua ini dengan ayat pertama adalah bimbingan untuk bersyukur bagi yang diberi nikmat yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada sang pemberi nikmat yaitu Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Demikian pula pada dua ayat tersebut terdapat penjelasan bagaimana semestinya mensyukuri nikmat, yaitu tidak hanya dengan ucapan saja, tetapi juga dengan amalan ibadah yang terkait dengan anggota badan kita. Arti syukur adalah nampaknya pengaruh nikmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Lihat Madarijus Salikin, 2/244)
Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin 2/247)
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa, ketahuilah bahwa ibadah-ibadah yang kita amalkan ataupun segala sesuatu yang kita persembahkan untuk Allah subhaanahu wa ta’aalaa tidaklah sebanding dengan apa yang telah Allah subhaanahu wa ta’aalaa berikan kepada kita berupa nikmat-nikmat yang begitu banyak. Sepanjang hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa berikan. Setiap saat kita merasakan berbagai nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Bahkan terkadang kita tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak nikmat-nikmat tersebut hingga tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih apapun di masa kini. Semua ini tentunya menunjukkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah subhaanahu wa ta’aalaa kepada hamba-hamba-Nya.
Faedah Hukum yang Terkandung dalam Ayat Kedua
Dalam ayat kedua ini terdapat dalil penting yang terkait dengan hukum dan tata cara dalam ibadah kurban bahwa proses pelaksanaan ibadah kurban itu dilakukan setelah shalat Idul Adha, bukan sebelum shalat. Kesimpulan ini dilihat dari ayat yang kedua:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkurbanlah,” disebut shalat terlebih dahulu baru kemudian menyembelih hewan kurban. Karena jika ibadah kurban itu dilakukan sebelum shalat maka posisi dia bukan sebagai hewan kurban, dagingnya bukan daging kurban akan tetapi terhitung sebagai daging sedekah biasa. Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat salah seorang sahabat yakni Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Idul Adha, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Kambingmu adalah kambing untuk (diambil) dagingnya saja.” (HR. al-Bukhari no.5556 dari al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu). Dalam lafazh lain (no.5560) disebutkan, “Barangsiapa yang menyembelih (sebelum shalat Idul Adha), maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, bukan termasuk hewan qurban sedikit pun.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam khotbah Idul Adha, “Barangsiapa mengerjakan shalat seperti shalat kami dan menyembelih hewan kurban seperti kami, maka telah benar kurbannya. Dan barangsiapa menyembelih sebelum shalat (Idul Adha) maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain.” (HR. al-Bukhari no. 5563 dan Muslim no. 1553)
Ayat Ketiga:
“Sesungguhnya orang yang membencimu dialah orang yang terputus.”
Ada 2 penafsiran tentang makna dari
إِنَّ شَانِئَكَ
Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa makna dari ayat diatas adalah
1. “Sesungguhnya musuhmu.”
2. “Sesungguhnya orang yang membencimu. (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam )”
(Tafsir ath-Thabari hal. 602)
Adapun makna الْأَبْتَرُ ialah orang yang terputus tidak memiliki keturunan/tidak memiliki generasi penerus atau bisa diartikan tidak adanya kelanjutan dari sisi nasab.
Disebutkan oleh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah bahwa salah seorang ahlul kitab yang bernama Ka’ab bin al-Asyraf ketika datang ke kota Mekah dan bertemu dengan kaum Quraisy, lalu mereka mengatakan kepada Ka’ab bin al-Asyraf, “Bagaimana menurutmu wahai Ka’ab tentang orang yang tidak memiliki keturunan lagi, memutus hubungan dengan kaumnya (yaitu Muhammad) dan menganggap dirinya lebih baik dari kami, padahal kami adalah kaum yang senantiasa berhaji, berkhidmat menjaga Ka’bah dan melayani serta memberi minum kepada jamaah haji? Kemudian Ka’ab bin al-Asyraf menyatakan, “Kalian lebih mulia dibandingkan dia (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam).” Setelah pernyataan tersebut turunlah ayat
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
artinya, “Sesungguhnya orang yang membencimu dia lah orang yang terputus.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/295)
Terputus dalam artian terputus dari setiap kebaikan, amalan, sanjungan. Adapun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi manusia yang paling sempurna dan memiliki kedudukan di sisi seluruh makhluk, berupa tingginya pujian kepadanya, banyaknya pembela dan pengikutnya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir as-Sa’di hal. 936)
Para pembaca yang semoga senantiasa dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, mudah-mudahan dengan kita mengetahui tafsir surat Al-Kautsar ini akan menambah pengetahuan kita tentang Al-Qur`an sehingga menjadi pendorong bagi kita untuk semakin dekat dengan Allah subhaanahu wa ta’aalaa, semakin takut akan adzab dan siksa-Nya.
Akhirnya sebagai penutup, kita memohon kehadirat Allah Yang Maha Agung, Rabb Arsy yang mulia agar menganugerahkan kepada kita semua ketetapan hati dan istiqamah dalam menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi segala yang dilarang-Nya, Amin.
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Nur
subhanallah, sungguh dalam makna surah al kautsar, suratnya pendek, tapi bisa menentramkan hati.