Tafsir

Mewaspadai Orang-orang yang Menghalalkan Daging Anjing

JUDUL EDISI9

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau makanan dari hasil perbuatan fasik yaitu binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(al-An’am: 145)

Para pembaca rahimakumullah, sebelum masuk ke dalam pembahasan inti edisi kali ini, ada baiknya kita renungi sejenak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut.

يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ، يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي، فَيَقُولُ: بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ، وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ، أَلَّا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللهُ.

“Telah dekat saatnya kemunculan seseorang yang bertelekan di atas singgasananya, kemudian ketika disampaikan padanya sebuah hadits dariku, justru mengatakan: “Antara kami dengan kalian ada Kitabullah ‘azza wajalla, apa yang kami dapati di dalamnya sesuatu yang halal, maka kami halalkan sesuatu tersebut. Dan apa yang kami dapati di dalamnya sesuatu yang haram, maka kami haramkan sesuatu tersebut.” (Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda): “Ketahuilah bahwa segala yang diharamkan oleh Rasulullah, maka itu adalah seperti yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Ahmad no. 17194, Ibnu Majah no. 12, dan selain keduanya)

          Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitakan akan adanya orang yang tidak mau menjadikan seluruh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai pijakan dalam meniti kehidupan beragamanya. Mereka menolak hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dinilai bertentangan dengan al-Qur’an. Ketika disampaikan padanya hadits, mereka mengingkarinya dengan dalih bahwa al-Qur’an itu sudah cukup. Orang seperti inilah yang biasa disebut dengan orang yang berpaham inkarus sunnah (mengingkari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam).

          Benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Di zaman ini kita dapati kelompok yang seperti itu. Persis sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jika ada kelompok atau yayasan atau majelis taklim yang menerapkan prinsip inkarus sunnah tersebut, maka biasanya tujuan pendirian yang ditampakkan adalah untuk mengajak umat Islam kembali ke al-Qur’an. Sepintas, tujuan tersebut nampak luhur. Namun hakekatnya tidak demikian. Karena hanya menyebutkan al-Qur’an sebagai cita-cita untuk menjadi tempat kembali bagi umat Islam hakekatnya, kelompok tersebut bermaksud untuk menolak hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (as-Sunnah). Padahal semestinya umat Islam menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah/hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai landasan dalam menjalani kehidupan beragama ini (tidak hanya al-Qur’an saja), sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم.

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat (menyimpang dari jalan yang lurus) selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’ no. 1874. Sanadnya hasan. Lihat al-Misykah no. 186)

          Prinsip inkarus sunnah ini telah menyelisihi dan berbeda dengan yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di atas. Bahkan menyelisihi misi diutusnya beliau sebagai nabi dan teladan bagi seluruh umat manusia. Maka jadilah kelompok pengusung prinsip ini terjerumus ke dalam kesesatan dan sekaligus menyesatkan orang lain. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita semua darinya.

 Daging Anjing Halal?

          Di antara buah prinsip menyimpang yang diusung oleh kelompok inkarus sunnah ini adalah munculnya keyakinan bahwa daging anjing itu halal dimakan. Mereka berdalil dengan ayat 145 surah al-An’am  di atas, karena dalam ayat itu tidak disebutkan hal-hal yang diharamkan kecuali hanya empat saja, yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Ini berarti bahwa selain keempat jenis makanan tersebut hukumnya halal, termasuk daging anjing. Inilah keyakinan batil mereka.

          Untuk menyanggah keyakinan mereka ini, marilah memperhatikan beberapa poin berikut:

          Pertama: Dalam al-Qur’an sendiri telah ditegaskan tentang perintah untuk beriman, mendengar, dan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, di antaranya adalah firman-Nya (artinya),

“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya, jika mereka berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 32)

          Masih banyak ayat-ayat semakna dengan ini yang berisi perintah untuk menaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dalam al-Qur’an pula telah ditegaskan tentang ancaman bagi orang yang menyelisihi dan berpaling dari ketaatan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

          Di antara perkara yang beliau larang adalah mengomsumsi daging binatang buas yang bertaring, sebagaimana sabdanya,

كُلُّذِيْنَابٍمِنَالسِّبَاعِفَأَكْلُهُحَرَامٌ.

“Setiap hewan buas yang memiliki taring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim, no. 1933)

          Tidak bisa dipungkiri bahwa anjing termasuk dalam kategori hewan ini karena anjing memiliki taring yang digunakan untuk memangsa hewan yang lain. Sehingga barangsiapa yang kembali kepada al-Qur’an -sebagaimana yang selalu dikampanyekan oleh komunitas pengingkar sunnah-, maka ia harus menaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang telah mengharamkan daging anjing.

          Kedua: Penentuan halal dan haram adalah hak Allah dan Rasul-Nya. Sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengharamkannya, sebagaimana hadits yang telah disebutkan pada awal pembahasan di atas. al-Qur’an sendiri juga telah mengisyaratkan tentang hal tersebut, yaitu ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum mukminin untuk memerangi Ahlul Kitab yang di antara sifat mereka adalah tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dalam ayat-Nya (artinya),

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya…” (at-Taubah: 29)

          Maka dari itu, perkara yang haram tidak sebatas yang disebutkan dalam al-Qur’an saja. Jika ada hadits shahih yang menerangkan tentang haramnya makanan tertentu, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali tunduk dan patuh terhadap ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)

          Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang orang yang makan bawang untuk pergi ke masjid, maka orang-orang pun mengatakan, “Telah diharamkan, telah diharamkan.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun bersabda (artinya),

“Wahai sekalian manusia, tidak diperkenankan bagiku untuk mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah untukku. Namun itu (bawang) adalah sebuah tanaman yang tidak kusukai baunya.” (HR. Muslim, no. 565)

          Benar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berhak untuk mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kalau kita menjumpai hadits shahih yang menunjukkan haramnya sesuatu, maka sudah pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewahyukannya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

          Ketiga: Kalaulah makanan haram itu hanya sebatas yang disebutkan dalam surat al-An’am ayat 145, maka ketahuilah bahwa ayat ini adalah ayat Makkiyah (diturunkan pada masa awal Islam, sebelum hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ke Madinah). Dari sini kita menjadi paham bahwa maksud firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya), “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku.” Adalah bahwa apabila yang diharamkan itu hanya sebatas empat jenis makanan saja, maka itu adalah sebatas wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kala itu saja. Hal ini tidak menutup kemungkinan diturunkannya ayat setelah itu yang menyebutkan perkara-perkara haram selain keempat perkara yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti dalam surat al-Maidah ayat 3 yang merupakan ayat Madaniyyah (diturunkan setelah hijrahnya Nabi ke Madinah).

          Di samping keempat jenis makanan tersebut, dalam surat al-Maidah ayat 3 juga disebutkan beberapa jenis makanan haram yang lain yaitu hewan yang mati tercekik, terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas kecuali jika hewan tersebut sempat disembelih sebelum mati.

          Jika demikian apakah dasar untuk menghukumi halal dan haramnya suatu makanan itu hanya dari satu ayat saja dengan mengabaikan ayat yang lain? Tentu, jawabannya “Tidak.”

          Tidak menutup kemungkinan pula setelah diturunkannya ayat 145 surat al-An’am itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menerima wahyu yang berisi pengharaman beberapa jenis makanan selain yang disebutkan dalam ayat itu, seperti pengharaman memakan binatang buas yang bertaring dan lain sebagainya. Wahyu yang diturunkan olah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya tidak mesti al-Qur’an. as-Sunnah (hadits) pun hakekatnya juga merupakan wahyu sebagaimana firman-Nya (artinya),

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3-4)

          Atas dasar itulah, sebagian ulama berpendapat bahwa ayat 145 surat al-An’am telah dinasakh (dihapus) hukumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk menasakh ayat-Nya sesuai dengan hikmah-Nya yang sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106)

          Keempat. Ada ulama yang berpendapat bahwa sebenarnya ayat 145 surat al-An’am menyebutkan seluruh jenis makanan haram. Sebagiannya disebutkan secara sharih (jelas) yaitu empat jenis makanan tersebut, dan sebagiannya hanya disebutkan dengan isyarat tidak langsung, yaitu pada potongan ayat (artinya),

“karena sesungguhnya semua itu kotor.”

          Artinya bahwa setiap makanan yang kotor masuk dalam kategori makanan yang haram dimakan. Sekarang apakah daging anjing termasuk makanan yang kotor? Yang jelas jika ada bejana/wadah milik kita yang dijilat anjing, maka kita diperintahkan untuk mencucinya sebanyak tujuh kali basuhan yang salah satu dari basuhan tersebut dicampur dengan tanah. Tentu ini menunjukkan sangat kotor dan najisnya air liur anjing. Kalau begitu bagaimana lagi dengan dagingnya jika air liurnya saja demikian keadaannya?

          Wallahu a’lam bish shawab.

Penyusun: Al-Ustadz Abu Abdillah hafidhzahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button