Agar Amal Anda Diterima di Sisi-Nya
Setiap orang tentu menginginkan amal kebaikan yang ia lakukan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Butuh pengorbanan dalam beramal kebajikan, waktu tersita, tenaga terkuras, pikiran dan bahkan harta kekayaan sekalipun akan terkorbankan, demi mencapai kedudukan seorang hamba yang dekat dengan-Nya. Ujung-ujungnya, rasa letih dan penatlah yang datang menghampirinya.
Di balik letihnya pikiran dan penatnya badan setelah menjalankan aktivitas ibadah, terselip berjuta harapan bahwa jerih payahnya dalam menghambakan diri kepada Yang Maha Kuasa selama ini tidak sia-sia begitu saja. Cita-cita untuk meraup pahala berlimpah senantiasa terbetik di benaknya. Keinginan untuk mendapatkan ganjaran yang besar dan tambahan bobot timbangan kebaikan selalu terbayang di sanubarinya. Walhasil, dengan menanam amal kebaikan di dunia, setiap insan pasti berangan bisa memetik buahnya di akhirat kelak.
Manusia berusaha, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bisa menentukan. Ya, Allah menghendaki ada di antara hamba-Nya yang sia-sia amalannya. Rugi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103-104)
Walaupun konteks ayat ini berbicara khusus tentang orang-orang kafir, namun hukum yang terkandung di dalamnya mencakup umum, artinya bahwa siapa saja dari hamba Allah yang beramal dengan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, maka amalannya tersebut salah dan tidak diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walaupun ia meyakini bahwa amalan yang telah ia lakukan itu baik dan benar. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah)
Amalan Yang Diterima, Adakah Persyaratannya?
Jawabannya, tentu ada. Di antara ulama yang menjelaskan tentang hal ini adalah al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya. Yaitu ketika menafsirkan ayat ke-110 surat Al-Kahfi, beliau mengatakan, “Ini adalah dua rukun (pokok) dari suatu amalan yang diterima, yaitu (1) Seorang yang beramal harus ikhlas karena Allah, dan (2) Amalan itu harus benar sesuai dengan syariat (bimbingan dan petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Pembaca yang semoga dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari sini kita mengetahui bahwa syarat diterimanya suatu amalan ibadah ada dua, yaitu keikhlasan dari seorang yang beramal, dan kesesuaian amalan tersebut dengan syariat dan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat Pertama: Niat yang Ikhlas
Setiap amalan tergantung niatnya. Apabila seseorang beramal dengan niat semata-mata hanya mengharapkan pahala dan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka itulah ikhlas. Sesuai dengan niatannya tersebut, orang yang demikian akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari-Nya. Namun apabila beramal dengan niat untuk mendapatkan pujian orang lain, maka seperti ini bukan ikhlas. Misalnya seseorang yang rajin bershadaqah, memberikan santunan kepada fakir miskin, namun ia lakukan itu dengan niatan agar orang lain memuji dirinya dan berangan agar ia dikatakan sebagai orang yang dermawan, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan pahala dan keutamaan shadaqah, walaupun orang lain menyebut dirinya sebagai orang yang dermawan. Lalu bagaimana kalau niatan dalam beramal itu mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus mengharapkan pujian dari orang lain? Maka keadaan seperti inipun belum dikatakan ikhlas karena ia masih menduakan niatannya: niatan untuk meraih pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan niatan untuk mengharapkan pujian orang lain. Hakekat ikhlas adalah memurnikan niat dan tujuan dalam beribadah semata-mata hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk mengharapkan pahala dan ridha-Nya. Apabila niatan itu masih tercampur dengan niat dan ambisi duniawi, maka ia belum mewujudkan niat yang ikhlas dalam beribadah karena ia belum memurnikan ketaatan dan ibadahnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perhatikan sebuah kisah yang dituturkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut. Kisah tentang peristiwa yang terjadi di akhirat nanti. Kisah yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebesar apapun amal ibadah yang dilakukan oleh manusia, kalau tidak dibangun di atas niat yang ikhlas, maka amalan tersebut akan sia-sia, bahkan menjadi sebab kebinasaan si pelaku amalan tadi. Na’udzubillahi mindzalik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diputuskan hukumannya pada hari kiamat nanti (ada tiga), yaitu:
(1) Seseorang yang meninggal dunia di medan pertempuran (jihad). Didatangkanlah orang tersebut, lalu diperlihatkan kepadanya berbagai nikmat yang ia rasakan, maka iapun mengetahui dan mengakui semua nikmat tersebut.
Kemudian Allah bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?” Orang itu menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu hingga aku terbunuh di medan perang.” Allah berfirman, “Kamu dusta, kamu berperang karena kamu ingin dikatakan sebagai seorang pemberani, dan sungguh kamu benar-benar disebut sebagai seorang pemberani.”
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret hingga ia pun dilemparkan ke dalam neraka.
(2) Seseorang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Qur’an. Didatangkanlah orang tersebut, lalu diperlihatkan kepadanya berbagai nikmat yang ia rasakan, maka ia pun mengetahui dan mengakui semua nikmat tersebut.
Kemudian Allah bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?” Orang itu menjawab, “Aku mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Qur’an karena Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta, kamu mempelajari ilmu karena ingin disebut sebagai seorang alim (berilmu), dan kamu pun membaca al-Qur’an karena ingin disebut sebagai seorang qari’ (ahli membaca al-Qur’an), dan sungguh kamu benar-benar disebut sebagai alim dan seorang qari’.”
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret hingga ia pun dilemparkan ke dalam neraka.
(3) Seseorang yang dilapangkan rezekinya dan diberi oleh Allah berbagai harta kekayaan. Didatangkanlah orang tersebut, lalu diperlihatkan kepadanya berbagai nikmat yang ia rasakan, maka iapun mengetahui dan mengakui semua nikmat tersebut.
Kemudian Allah bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?” Orang itu menjawab, “Tidaklah ada satu pun jalan yang Engkau cintai untuk diberikan padanya infak, kecuali pasti aku akan berinfak di jalan tersebut karena Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta, kamu berinfak karena kamu ingin dikatakan sebagai seorang yang dermawan, dan sungguh kamu benar-benar disebut sebagai seorang yang dermawan.”
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret hingga ia pun dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 3527)
Lihatlah, amalan besar yang dilakukan ketiga orang itu: berjihad, mempelajari dan membaca al-Qur’an, serta berinfak, semuanya sia-sia, tidak bernilai sedikitpun di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu karena mereka melakukannya tidak ikhlas, namun semata-mata mengharapkan pujian dan sanjungan orang lain.
Syarat Kedua: Ibadah yang Sesuai dengan Petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Semata-mata niat yang ikhlas belumlah cukup untuk memenuhi syarat diterimanya ibadah. Syarat lain yang harus terpenuhi agar amal Anda diterima di sisi-Nya adalah bahwa amal ibadah yang Anda lakukan harus mencocoki dan sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap amal ibadah harus ada dalil yang menunjukkan pensyariatan ibadah tersebut, baik dalil al-Qur’an maupun hadits.
Yakinlah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh amanah telah menyampaikan serta mengajarkan dengan gamblang dan rinci seluruh jenis amalan ibadah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus kaifiyah (tata cara)nya. Apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang diamalkan. Sedangkan yang tidak diajarkan oleh beliau, maka jangan sekali-kali “melangkahi” beliau dengan menjalankan bentuk peribadatan yang tidak dibimbingkan oleh baginda Rasul, apalagi sampai berkeyakinan bahwa amalan tersebut merupakan amalan baik yang dituntunkan dalam syariat Islam ini. Tidak ada guna dan manfaatnya mengamalkan sebuah ritual ibadah yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak dibangun di atas urusan (ajaran dan bimbingan) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 3243)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya hadits ini sangat jelas menunjukkan tertolaknya segala bentuk bid’ah dan amalan yang diada-adakan (di luar tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Syarh Shahih Muslim). Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa barangsiapa mengada-adakan amalan bid’ah dalam agama yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat ini, maka dosanya akan ia tanggung sendiri dan amalannya tersebut akan tertolak. Ia pun pantas untuk mendapatkan ancaman…” (Syarh al-Arbain an-Nawawiyyah)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Memohon Agar Amalannya Diterima
Dalam doanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 1782)
Ini pelajaran penting bagi kita semua. Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk menerima amalan hamba dan menolak sebagian amalan yang lain, maka kita mesti berlomba-lomba untuk menjadi seorang hamba yang amalannya diterima. Setelah berupaya untuk memenuhi dua syarat diterimanya ibadah tadi, seorang muslim tidak sepantasnya lalai dari memanjatkan doa yang telah dicontohkan oleh Nabi tersebut. Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam -yang merupakan bapak dari para Nabi yang datang setelah beliau- dan Nabi Ismail ‘alaihi sallam juga telah mencontohkan sebuah doa yang agung, yang diabadikan dalam ayat-Nya yang mulia,
“Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 127)
Wallahu a’lam bish shawab.
Penyusun: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah