Adab

Adab Menguap

Seorang penyair berkata:

تَعْصِيْ الِإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ

                        هَذَا مُحَالٌ فِيْ الِقِيَاسِ شَنِيْعُ

لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ

                        إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ

“Engkau bermaksiat kepada al-Ilah (Allah) sementara engkau mengaku mencintai-Nya

Ini adalah mustahil dan dalam kias tercela (buruk)

Jika memang cintamu jujur dan setia tentu engkau akan menaati-Nya

Karena sesungguhnya sang pencinta akan selalu patuh kepada yang dicinta.”

Para pembaca rahimakumullah, itulah gambaran kejujuran cinta seorang muslim kepada Allah subhanahu wa ta’ala, hendaknya dia menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Maka suatu bentuk ketidakjujuran cinta dia kepada Allah subhanahu wa ta’ala jika dia masih banyak bermaksiat kepada-Nya.

Demikianlah semestinya sikap seorang muslim terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Penuh ketundukan dan ketaatan yang disertai dengan keikhlasan dan berusaha semaksimal mungkin untuk meninggalkan hal-hal yang tidak disukai dan dibenci Sang Pencipta, Rabbul ‘alamin.

 

Allah subhanahu wa ta’ala Membenci Kuap (Jw. Angop)

Para pembaca rahimakumullah, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam kehidupan ini ada keadaan-keadaan yang disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan ada pula keadaan-keadaan yang tidak disenangi oleh-Nya. Salah satu keadaan yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah menguap. Dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ العِطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ…

“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci kuap…” (HR. al-Bukhari no. 6223)

Maka sebagai seorang muslim hendaknya dia membenci kuap sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala membencinya. Yang demikian ini sebagai bentuk kejujuran dan kesetiaan cintanya kepada-Nya subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun orang-orang yang beriman maka amat sangat cinta kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)

Lalu mungkin timbul pertanyaan mengapa Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyukai kuap. Dijelaskan oleh para ulama bahwa di sana ada beberapa sebab yang menjadikan kuap tidak disukai:

1. Kuap itu berasal dari syaithan, dan syaithan tidaklah mendatangkan sesuatu kecuali berupa hal-hal yang jelek. Hal ini sebagaimana baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terangkan pada lanjutan hadits di atas:

“Adapun kuap maka sesungguhnya ia dari syaithan.” (HR. al-Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994)

Makna hadits ini bahwa syaithan sangat menginginkan dan senang melihat seseorang menguap karena yang demikian itu menunjukkan perubahan keadaan orang tersebut kemudian syaithan tertawa. Jadi, perantara terjadinya kuap itu adalah syaithan. (Lihat Fathul Bari)

2. Kuap muncul disebabkan memperturutkan hawa nafsu terutama makan sehingga menimbulkan rasa malas dan hilang semangat. Maka dari sini, ada peringatan bagi kita untuk menjauhi sikap berlebihan ketika makan karena merupakan pemicu munculnya kuap, sebagai tanda diri sedang dalam keadaan malas dan tidak bersemangat. (Lihat Syarah Shahih Muslim)

Kuap termasuk sesuatu yang sangat tidak disukai, terlebih jika terjadi ketika sedang shalat karena syaithan senantiasa berupaya semaksimal mungkin untuk mengganggu seseorang yang sedang shalat. Seseorang yang menguap ketika sedang shalat menjadikan keadaan dirinya tidak tenang .

Oleh karena itu dalam sebuah hadits yang berkaitan dengan kuap disebutkan padanya tambahan lafadz ‘ketika shalat’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Menguap ketika shalat adalah dari syaithan, maka jika salah seorang dari kalian menguap tahanlah semaksimal mungkin.” (HR. at-Tirmidzi no. 370) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Hal ini menunjukkan bahwa menguap ketika sedang shalat lebih tidak disukai. Demikian pula jika sedang membaca al Quran di dalam shalatnya tersebut lalu datang keinginan untuk menguap maka hendaknya dia hentikan terlebih dahulu bacaannya. Sehingga merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang sedang shalat untuk benar-benar khusyuk dan konsentrasi agar syaithan tidak mengganggu dirinya dengan berbagai macam gangguan, salah satunya dengan menguap. (Lihat Fathul Bari dan Fatawa Ibn Utsaimin)

 

Etika Ketika Menguap

Para pembaca rahimakumullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits menerangkan kepada kita beberapa etika dan adab ketika menguap. Di antaranya adalah:

1. Menjaga dan menahan mulut semaksimal mungkin untuk tidak terbuka. Hal ini sebagaimana tersebutkan dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian menguap maka tahanlah semaksimal mungkin (agar mulutnya tidak terbuka).” (HR. al-Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994).

2. Jika tidak mampu untuk menahan mulut agar tidak terbuka, maka tutuplah dengan tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian menguap maka tahanlah dengan meletakkan (menutupkan) tangannya ke mulutnya karena sesungguhnya syaithan bisa masuk (bila tidak ditutup).” (HR. Muslim no. 2995) dari sahabat Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Cara yang kedua ini tidak harus menutup dengan tangan secara langsung, namun bisa juga dengan menggunakan kain atau sapu tangan atau yang semisalnya. Demikian pula tidak harus dengan tangan kanan atau tangan kiri atau dengan keduanya, boleh yang mana saja asalkan mulut bisa tertutup dan tertahan. (Lihat Fathul Bari dan Fatawa ibn Utsaimin)

3. Janganlah sampai bersuara aah.. aah.. atau haah.. haah.. atau yang semisalnya. Mengenai hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian menguap maka tahanlah semaksimal mungkin dan janganlah bersuara haah haah.” (HR. Abu Dawud no. 5028 dan at-Tirmidzi no. 2747) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Adab-adab ini dilakukan baik di dalam shalat ataupun di luar shalat. (Lihat Syarah Shahih Muslim dan Fatawa ibn Utsaimin)

 

Apakah Perlu Mengucapkan Ta’awwudz

Para pembaca rahimakumullah, pada hadits-hadits di atas disebutkan bahwa kuap dari syaithan. Allah subhanahu wa ta’ala juga dalam Al-Qur`an telah menjelaskan tentang cara menghilangkan gangguan yang datang dari syaithan, yaitu dengan ber-ta’awudz (mengucapkan A’udzu billahi minasy syaithanir rajim). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)

Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah ketika seseorang menguap disyariatkan pula baginya untuk ber-ta’awudz? Maka jawabannya adalah tidak, karena yang dimaukan dari ayat di atas adalah perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang yang terbetik untuk bermaksiat atau meninggalkan kewajiban ibadah agar ber-ta’awudz, karena semua itu merupakan bisikan dan gangguan dari syaithan. Adapun dalam permasalahan kuap, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan dan mengajarkan kepada para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya sebatas menahan dan menutup mulut agar tidak terbuka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mengucapkan ta’awudz pada waktu itu. Sehingga dari sini kita bisa mengetahui bahwa apa yang dilakukan sebagian manusia ber-ta’awudz atau mengucapkan ucapan yang lain ketika menguap merupakan suatu amalan yang tidak dibimbingkan oleh Rasulullah n, sehingga amalan tersebut menjadi amalan yang sia-sia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada bimbingannya dari kami maka amalan tersebut tertolak (tidak diterima).” HR. Muslim no. 1718 dari sahabat ‘Aisyah x.

 

Nasehat

Para pembaca rahimakumullah, setelah kita mengetahui beberapa hal mengenai kuap maka hendaknya kita berusaha untuk menerapkan bimbingan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang menguap namun tidak menjalankan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut maka sungguh ia telah terjatuh ke dalam keadaan yang membahayakan dirinya karena:

1. Syaithan akan menjadi senang dan tertawa melihat dirinya menguap sambil bersuara ‘haah’. Yang demikian ini disebabkan syaithan mengetahui bahwa orang tersebut sedang dalam keadaan malas dan tidak bersemangat, syaithan senang dengan keadaan seorang insan yang seperti ini. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian menguap maka tahanlah semaksimal mungkin karena sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian bersuara haah (ketika menguap) maka syaithan akan tertawa.” (HR. al-Bukhari no. 3289 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

2. Syaithan akan masuk ke dalam dirinya. Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian menguap maka tahanlah dengan meletakkan (menutupkan) tangannya ke mulutnya karena sesungguhnya syaithan bisa masuk (bila tidak ditutup).” (HR. Muslim no. 299 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Ketika syaithan telah berhasil masuk maka dia pun akan ikut mengalir bersama aliran darah manusia serta mempengaruhi orang tersebut untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, dan Syarah Sunan at-Tirmidzi)

3. Merupakan suatu pemandangan yang kurang baik dan tidak menyenangkan ketika menguap dengan keadaan mulut terbuka lebar dan bersuara. Bahkan terkadang keadaan seperti ini juga dinilai sebagai keadaan yang kurang beradab dan kurang sopan bagi sebagian orang.

Dari pembahasan ini kita pun bisa mengetahui bahwa agama islam adalah agama yang sempurna dan sangat memperhatikan keadaan pemeluknya serta mengajak agar senantiasa bisa berbuat kebajikan di setiap langkah mereka, subhanallah. Maka hendaknya bagi kita semua untuk menyadari hal ini dan mengamalkan bimbingan tersebut sebagai salah satu bentuk kejujuran cinta kita kepada Allah tabaraka wa ta’ala. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullaahu ta’ala

 

Tanya Jawab

Pertanyaan: Bismillah. Ustadz jika seorang istri meninggal dan dia semasa hidupnya memiliki sebidang tanah/ yang lainnya, dia meninggalkan dua anak laki-laki dan satu perempuan. Apakah suaminya yang masih hidup juga mendapatkan harta waris yang ditinggalkan oleh istrinya?

                                                                                                            +628213279xxxx

Jawab: Ya, seorang suami mempunyai hak dari harta warisan yang ditinggalkan istrinya setelah dikurangi wasiat atau hutang (jika ada) sebanyak 1/2 dari harta peninggalan istrinya jika sang istri tidak mempunyai anak. Atau 1/4 dari harta yang ditinggalkan oleh istrinya, jika sang istri mempunyai anak. Hal ini didasarkan kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah an-Nisa` ayat 12, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…” (An-Nisa`: 12) Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah no. 9713.

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button