Tauhid

SYIRIK MAHABBAH

Ditanamkannya sifat mahabbah (cinta) pada jiwa setiap manusia di muka bumi ini merupakan faktor penggerak jiwa dan raganya untuk condong kepada sesuatu yang dia cintai. Tidaklah aneh, bila dia akan mencintai apa yang ia suka, dan membenci apa yang ia tak suka, senantiasa berusaha mencocoki siapa yang dicintai, dengan mentaati apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang.
Memang, sedemikian besar pengaruh mahabbah pada jiwa setiap manusia. Yang tentunya setiap dari mereka terutama seorang muslim yang telah mengikrarkan Laa Ilaaha lIlallah hendaklah benar-benar mencermati perkara yang ternyata rentan terhadap tauhidnya ini. Jangan sampai dia tidak memahami permasalahan urgent yang tidak sedikit kaum muslimin di tengah-tengah kita tertimpa kerancuan di dalamnya.
Tidak ada jalan yang lebih selamat dan hikmah melainkan dengan menelaah ilmu yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama, yang mereka paling tahu dan jujur di dalam menjelaskan kedua wahyu yang agung tersebut.
Adapun upaya yang mereka tempuh di dalam menerangkan pembahasan ini kepada kita adalah membagi bentuk-bentuk mahabbah di dalam karya-karya berharga mereka. Sehingga sangat disayangkan kalau terdapat seorang muslim tersesat disebabkan tidak mampu memilah pembagian tadi. Wallahul Musta’an.
Mahabbah secara garis besar terbagi menjadi tiga macam. Yang ini semua merupakan rangkuman dari keterangan Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah di dalam dua karya besar beliau “Al Jawabul Kafi” hal. 450-451 dan “Thoriqul Hijratain” hal. 295-296, Asy Syaikh Sulaiman Alu Syaikh di dalam “Taisirul ‘Aziizil Hamid” hal. 389, Asy Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’di di dalam “Al Qoulus Sadid” hal. 112-113 dan Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di dalam “Al Qoulul Mufid” 2/141-142 rahimahumulloh, dengan beberapa keterangan tambahan.

Pertama : Mahabbah Tabi’at
Macam mahabbah yang pertama ini bukanlah pembicaraan kita di sini. Namun sangat penting untuk kita singgung dan perhatikan seiring betapa banyak saudara-saudara kita tergelincir di dalam perkara ini, baik disadari maupun tidak.
Yaitu mahabbah yang seseorang condong kepada apa yang diinginkannya secara tabiat kemanusiaannya. Seperti kecintaan dan keinginannya kepada perkara-perkara mubah yang di antaranya Allah ? sebutkan di dalam ayat-Nya :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ من النِّسَاءِ وَ البَنِيْنَ وَ الْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ من الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ الْحَرْثِ ذَالك مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ اللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk mencintai apa-apa yang diingini dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan kehidupan dunia dan di sisi Allah adalah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran: 14).
dan juga ayat-ayat lainnya yang tidak sedikit jumlahnya.
Mahabbah jenis ini tidaklah dicela dan dilarang untuk diberikan di antara makhluk-makhluk Allah. Namun Allah senantiasa memperingatkan bahwa apa yang di sisi-Nya berupa kehidupan Jannah adalah kenikmatan yang hakiki. Allah jadikan perkara-perkara duniawi sebagai ujian, apakah mereka memahami dan mengindahkan peringatan tersebut. Allah ? berfirman :
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ اللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
“Hanyalah harta-harta dan anak-anak kalian adalah ujian. Dan yang di sisi Allah adalah balasan kebaikan yang besar.” (QS. At Taghabun: 15).
Jangan sampai mahabbah ini sampai menghalangi seseorang dari ketaatan kepada Rabb-Nya. Allah ? tegaskan :
يَأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمِْوَالُكُمْ وَ لاَ أَوْدُكُمْ عَنْ ذِكْرِاللهِ
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah harta-harta dan anak-anak kalian menghalangi dari dzikir kepada Allah”. (QS. Al Munafiqun: 9).
Bahkan sebaliknya, mahabbah ini justru dapat menjadi bagian dari sebuah ibadah sehingga mendatangkan balasan kebaikan jika mampu mendorong dan membantu seseorang untuk semakin taat dan cinta kepada Allah ?. Rasululloh ? bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِا لنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amalan-amalan kebaikan itu tergantung dengan niatnya. Dan hanyalah bagi seseorang balasan sesuai dengan apa yang diniatkan”. (Muttafaqun ‘Alaih).

Kedua : Mahabbah kepada apa yang dicintai Allah, karena Allah dan di jalan-Nya.
Mahabbah ini terwujud pada diri seseorang kepada sesuatu yang memang dicintai Allah baik berupa manusia, seperti para nabi, rasul, orang-orang mukmin, atau amalan, seperti sholat, zakat, amalan-amalan kebaikan, ataupun waktu, seperti bulan Ramadhan, seperti hari-hari terakhir di bulan tersebut, ataupun tempat seperti masjid-masjid Allah, Ka’bah dan selainnya.
Macam kedua ini diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam “Majmu’ Fatawa” 1/93 yang secara makna bahwa ini menunjukkan hakekat dari mahabbah kepada Allah. Karena hakekat mahabbah kepada Allah adalah mencintai apa yang Allah cintai dan membenci apa yang Dia benci. Rasululloh ? bersabda :
مَنْ أَحَبَّ للهِ وَ أَبغَضَ للهِ وَ أَعْطَى للهِ وَ مَنَعَ للهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيْمَانُ
“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, menahan pemberian karena Allah, maka telah sempurnalah keimanannya”. (H.R. Abu Dawud dengan sanad yang dishahihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam As Shahihah no. 360).
Tidaklah berlebihan bila macam mahabbah yang kedua ini merupakan penyempurna dan konsekuensi mahabbah seseorang kepada Allah, iman dan tauhidnya. Wa Lillahil Hamdu.

Ketiga : Mahabbah kepada Allah
Mahabbah ini adalah mahabbah ibadah yang menyebabkan seorang hamba menundukkan hatinya untuk mengagungkan Dzat yang dia cintai, mentaati dengan sebenar-benar ketaatan di dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya di atas seluruh makhluk-Nya.
Bila mahabbah ibadah ini diberikan kepada selain Allah, maka ini termasuk perbuatan syirik kepada Alloh ?. Asy Syaikh As Sa’di rahimahullah di dalam “Al Qoulus Sadid” hal. 110 tatkala menjelaskan mahabbah jenis ketiga ini mengatakan: “Pokok tauhid dan ruhnya adalah pemurniaan mahabbah kepada Allah saja. Mahabbah ini merupakan pokok penyembahan dan peribadatan kepada-Nya. Bahkan ia merupakan hakekat ibadah dan tidaklah sempurna tauhid sampai sempurnanya mahabbah seorang hamba kepada Rabbnya.”
Memang demikianlah kedudukan mahabbah di dalam lingkup ibadah. Kalaulah seseorang beribadah tanpa disertai mahabbah maka jadilah dia beribadah tanpa ruh yang menggerakkan hati untuk menghadap Allah ?.
Bahkan mahabbah sendiri merupakan faktor penggerak hati terkuat untuk senantiasa menghadap Allah dibandingkan khauf (rasa takut dari adzab Allah) dan roja’ (rasa harap terhadap rahmat-Nya). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam “Majmu’ Fatawa” 1/95 berkata : “Ketahuilah bahwa penggerak hati manusia untuk menghadap Allah ? ada tiga macam : mahabbah, khauf dan roja’. Yang paling kuat adalah mahabbah, karena dialah sendiri yang memang diinginkan secara dzatnya. Dia diinginkan di kehidupan dunia dan akhirat berbeda dengan khauf yang hilang dan sirna di kehidupan akhirat. Allah ? berfirman
: أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Ketahuilah sesunggunya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan (di kehidupan akhirat mendatang) dan tidak pula sedih (dari kehidupan dunia yang dia tinggalkan).” (QS. Yunus : 62).
Yang diinginkan dari khauf adalah menghindari dan mencegah dari keluarnya seorang hamba dari jalan kebaikan. Adapun mahabbah mendorong seseorang untuk menempuh jalan menuju Dzat yang dia cintai tersebut. Sesuai dengan lemah dan kuatnya kadar mahabbah, dia menempuh jalan tersebut. Sedangkan khauf dialah yang mecegahnya untuk keluar dari jalan tadi. Adapun roja’ membimbingnya dalam menempuh jalan tersebut. Maka ini adalah suatu asas yang agung. Wajib bagi setiap hamba untuk memperhatikannya. Karena tidaklah terwujud penghambaan diri (kepada Allah) tanpa dengannya. Padahal setiap orang wajib untuk menjadi hamba Allah bukan selain-Nya”.
Berdasarkan penjelasan tersebut tepatlah ungkapan murid terbesar beliau Syaikhul Islam Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah tatkala berkata di dalam “Al Jawabul Kafi” hal. 447 : “Dan asas kesyirikan kepada Allah adalah syirik mahabbah, sebagaimana Allah ? berfirman :
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَ الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا للهِ
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu yang mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman lebih besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165).
Para ulama tafsir memberikan tafsiran tentang ayat tersebut dengan dua penafsiran yang cukup kuat.
Pendapat pertama : mengatakan bahwa di antara manusia terdapat orang-orang musyrikin yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah sebagaimana mereka mencintai Allah. Berdasarkan tafsiran ini maka ucapan Allah :
وَ الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا للهِ
Memiliki makna bahwa orang-orang yang beriman lebih tinggi kecintaannya kepada Allah ? daripada kecintaan orang-orang musyrikin tadi kepada Allah. Karena kecintaan orang-orang mukminin murni untuk Allah sedangkan kecintaan orang-orang musyrikin terdapat unsur penyekutuan antara Allah dan selain-Nya.
Pendapat kedua : mengatakan bahwa orang-orang musyrikin mencintai sekutu-sekutu selain Allah sebagaimana kecintaan orang-orang mukmin kepada Allah. Sehingga berdasarkan penafsiran ini maka ucapan وَ الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا للهِ mengandung arti bahwa orang-orang mukmin lebih kuat cintanya kepada Allah daripada kecintaan orang-orang musyrikin kepada sekutu-sekutu selain Allah. Hal ini disebabkan cintanya orang-orang mukmin kepada Allah tetap terwujud baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan genting. Sedangkan kecintaan orang-orang musyrikin kepada selain Allah hanya terbentuk pada saat mereka senang saja.
Pendapat pertama nampaknya lebih dekat kepada kebenaran berdasarkan konteks ayat itu sendiri. Pendapat ini dipilih oleh Al Imam Ath Thobari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dan Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah.
Titik fokus pengkajian ayat Allah ? ini benar-benar mengarah kepada kondisi yang terjadi pada akidah dan keimanan orang-orang musyrikin ketika ayat itu turun. Bukanlah mereka orang-orang yang menyakini bahwa selain Allah mampu mendatangkan rizki, mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan dari segala mudharat. Sekali-kali bukan. Bahkan mereka benar-benar mengimani bahwa itu semua hanya mampu dilakukan Allah ? .
Hanyalah menurut mereka bahwa mahabbah ibadah itu dapat diberikan kepada Allah dan selain-Nya. Allah sendiri memberi nama perbuatan dan keyakinan mereka sebagai kesyirikan. Lebih menyedihkan lagi, masih banyak terdapat di sebagian besar kaum muslimin, semoga Allah melimpahkan dan menetapkan hidayah kepada kita semuanya mewarisi keyakinan mereka. Kita saksikan wujud gambaran mahabbah mereka kepada selain Allah tatkala mendatangi kota Makkah dan Madinah. Mereka bahkan berpendapat bahwa ziarah ke kubur Nabi ? lebih utama dan agung daripada ziarah ke Baitul Haram. Mengapa demikian? Tidaklah aneh bila itu didasarkan pada kecintaan mereka kepada Rasul ? setara dengan kecintaan mereka kepada Allah bahkan lebih daripada itu. Padahal kecintaan kepada Rasul ? hendaklah diberikan sebagai penyempurna dan mengikuti kecintaan kepada Allah ?.
Betapa banyak pula mereka lebih khusu’ bila beribadah di dekat kubur seorang nabi atau wali daripada di masjid-masjid Allah. Mereka lebih ikhlas untuk mengeluarkan harta yang banyak untuk memperbaiki kubur tersebut daripada menginfakkan kepada orang-orang fakir muslimin. Tidak takut untuk bersumpah dengan nama Allah untuk berdusta namun takut bila bersumpah dengan nama wali fulan untuk berdusta. Bahkan berani membela fasilitas-fasilitas kesyirikan dengan harta dan jiwanya bila merasa terganggu dengan seruan dakwah tauhud. Wal’ iyadzubillah. Ingatlah dengan berita Allah di dalam firman-Nya :
وَ إِذّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوْبُ الذِّيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِالآخِرَةِ وَ إِذَا ذُكِرَ الَّذِيْنَ من دُوْنِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُون
“Dan bila disebut nama Allah saja kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Namun bila disebut sekutu-sekutu selain Allah tiba-tiba mereka langsung bergembira.” (QS. Az Zumar: 45)
Dan ingatlah pula kejadian yang pasti akan terjadi di Hari Kiamat antara orang-orang yang memberikan mahabbah kepada sekutu-sekutu selain Allah dengan sekutu-sekutu itu sendiri.
ِAllah ? berfirman :
“Hanyalah apa yang kalian jadikan sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah ? itu, kalian saling mencintai di kehidupan dunia saja. Lantas pada Hari Kiamat sebagian kalian dengan sebagian yang lainnya saling mengingkari dan melaknat. Dan An Naar lah tempat tinggal kalian.” (QS. Al Ankabut: 25).
Bila mereka telah tinggal di An Naar maka dengarkanlah suatu kepastian dari Allah :
“Dan tidaklah mereka bisa keluar dari An Naar.” (QS. Al Baqarah: 167). “Ya Allah selamatkan kami semua dari An Naar.”

Tanya Jawab
Soal : Apa tanda-tanda seorang hamba itu mencintai Rabbnya ? ?
Jawab :
“Sebenarnya pertanyaan di atas dapat di jawab apabila kita membaca awal-awal pembahasan ini dengan seksama. Namun tidak berlebihan bila kita bawakan jawaban seorang alim yaitu Asy Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahullah di dalam Kitab A’lamus Sunnah Al Mansyurah hal. 31, beliau menjawab :
Tanda-tandanya adalah seorang hamba mencintai apa yang Dia cintai, membenci apa yang Dia benci, menunaikan perintah-perintah-Nya menjauhi larangan-larangan-Nya, mencintai wali-wali-Nya, membenci musuh-musuh-Nya. Oleh karena itu tali iman yang paling kokoh adalah mencintai dan benci di jalan Allah”.
Kita katakan: ”Jawaban akhir beliau tersebut didasarkan pada sebuah hadits Ibnu Abbas, beliau berkata : “Rasulullah ? bertanya kepada Abu Dzar tali iman apa-aku (pariwayat hadist) menduga – yang paling kokoh ? Dia (Abu Dzar) menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau ? bersabda : “
المُوَالاةُ فىِ اللهِ وَ المُعَادَاةُ فىِ اللهِ وَ الحُبُّ فىِ اللهِ وَ البُغْضُّ فىِ اللهِ
“Saling mencintai di jalan Allah, saling membenci di jalan-Nya, mencintai dan membenci di jalan-Nya. (Diriwayatkan Ath Thabrani dan dihasankan Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihhah no. 998 dan 1728)
Wallahu A’lam bish Showab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button