Tafsir

Sudah Jujurkah Kecintaan Kita kepada Allah?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Katakanlah (wahai Muhammad), Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)

Setiap muslim pasti mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Cinta tidak cukup hanya sekedar pengakuan lisan namun perlu bukti nyata untuk mengetahui kejujuran cinta tersebut.

Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya mengatakan bahwa ada suatu kaum yang mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala pun menguji mereka dengan diturunkannya ayat ke-31 dari surah Ali Imran ini. (Tafsir Ibnu Katsir)

 

Ittiba’ (Mengikuti) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Bukti Kejujuran Cinta Seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala

Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada umat manusia bahwa jika mereka benar-benar mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka mereka harus berittiba’ (mengikuti) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menurut al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ayat ini sebagai hakim yang menghukumi (memutuskan) bahwa setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, padahal dia tidak berada di atas jalan dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia adalah orang yang dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syariat dan agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan segenap keadaannya.

Perwujudan Ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Untuk mewujudkan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang harus merealisasikan dua hal berikut:

Pertama, mengikuti agama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu dengan memeluk agama Islam secara tulus dan hati yang lapang. Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan merekapun mengaku kekasih Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” (Al-Maidah: 18)

Namun pengakuan ini tidaklah bermanfaat karena mereka tidak mau beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang Yahudi menjadi kaum yang terlaknat, sementara orang Nasrani menjadi kaum yang tersesat dari jalan yang lurus.

Kedua, mengikuti sunnah (ajaran) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu dengan berpegang teguh dan menjalankan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh aspek kehidupan beragama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Maka wajib atas kalian untuk menjalankan sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegangteguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, no. 4607, Ahmad, no. 17145, dan selainnya)

Berakidah, berakhlak, beribadah, dan bermuamalah, semuanya dijalankan sesuai dengan yang telah dicontohkan dan dibimbingkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak berakidah dengan keyakinan yang menyelisihi akidah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidak beribadah dan beramal dengan suatu amal ibadah yang tidak diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seorang yang jujur dalam mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia tidak akan mengada-adakan perkara baru dalam agama ini yang tidak ada tuntunannya dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi salaf, baik dalam hal akidah maupun cara beribadah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan bagian dari urusan (agama) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Wajib atasmu untuk bertakwa kepada Allah dan istiqamah, ber-ittiba’-lah (ikutilah Rasulullah) dan janganlah mengada-adakan perkara baru yang tidak ada tuntunannya dalam agama ini.” (Sunan ad-Darimi 1/53, al-Ibanah al-Kubra 1/no. 200. Lihat Haqqun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

 

Buah Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pada ayat ke-31 dari surah Ali Imran ini, Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan keutamaan orang yang mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan diampuni dosa-dosanya. Sungguh ini merupakan kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya. Pengakuan cinta seorang hamba kepada Rabb-nya yang dibuktikan dengan sikap ittiba’ kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, membuahkan hasil yang jauh lebih baik. Tidak sekedar mendapatkan kecintaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, namun juga ampunan dari-Nya atas segala dosanya.

Di samping itu, orang yang benar dalam ittiba’-nya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijamin mendapatkan hidayah (petunjuk) sebagaimana firman-Nya (artinya),

“Dan ikutilah dia (Rasulullah), supaya kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raf: 158)

Rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala pun telah ditetapkan bagi orang-orang yang jujur dalam ittiba’-nya tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi.” (Al-A’raf: 156-157)

Dan di akhir ayat ke-157 dari surah Al-A’raf, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa merekalah yang akan meraih keberuntungan.

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)

Umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijamin masuk surga selama mereka mau mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjalankan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):

“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Barang siapa yang menaatiku, ia akan masuk surga, dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku, ialah orang yang enggan (masuk surga).” (HR. al-Bukhari no. 7280)

 

Akibat Enggan Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah mengajak umat manusia untuk meniti jalan yang lurus agar mereka meraih keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Namun ternyata tidak sedikit dari umatnya yang enggan mengikuti seruan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Kita perhatikan bagaimana permisalan diri beliau dengan umat manusia sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):

“Permisalan diriku seperti orang yang menyalakan api. Ketika api itu telah menyinari semua yang ada di sekelilingnya, berdatanganlah serangga-serangga padanya dan mereka pun berjatuhan ke dalam api tersebut. Orang itu pun berusaha menghalangi serangga-serangga itu dari api, namun mereka tidak menghiraukannya sehingga mereka pun banyak terjatuh ke dalam api itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah permisalan diriku dan diri kalian, aku memegangi ikat-ikat pinggang kalian agar kalian selamat dari api neraka. Jauhilah api neraka! Jauhilah api neraka! Akan tetapi kalian tidak menghiraukanku sehingga kalian pun berjatuhan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim no. 2284)

Itulah akibat bagi orang yang tidak menghiraukan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan enggan mengikuti apa yang telah dituntunkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masih banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini, namun cukuplah hadits di atas menjadi peringatan.

 

Para Rasul pun Membenarkan Syariat Nabi Muhammad n

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa`: 64)

Setiap umat dan generasi wajib menaati dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh nabi dan rasul yang diutus di tengah-tengah mereka. Namun, begitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai nabi dan rasul terakhir, maka seandainya para nabi dan rasul sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maka pasti akan beriman dan mengikuti syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (Ali Imran: 81)

Ayat ini menjelaskan bahwa para nabi telah berjanji kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jika Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang rasul setelah mereka, niscaya para nabi itu akan beriman kepadanya dan membenarkan risalah yang dibawa rasul tersebut. Perjanjian ini pun juga berlaku bagi umat dari setiap nabi tersebut. Yang demikian itu karena Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan kepada para nabi agar mereka saling mengimani dan membenarkan risalah, karena syariat dan ajaran yang mereka bawa semuanya dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala, dan setiap ajaran yang datang dari-Nya wajib untuk dibenarkan dan diimani.

Nabi dan rasul terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan hal yang sudah diketahui oleh para nabi sebelum beliau, sehingga kalau seandainya mereka masih hidup dan menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta risalahnya, pasti mereka akan beriman dan mengikuti risalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menolong dan membela beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah imam para nabi, sayyid (pemuka), dan panutan mereka. Sehingga ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan tingginya kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan besarnya kemuliaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan para nabi yang lain. (Lihat Taisirul Karimirrahman).

Para nabi adalah orang yang paling mulia di tengah-tengah kaumnya karena mereka telah mendapatkan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa ilmu dan cahaya kenabian. Namun kemuliaan yang dimiliki oleh para nabi tersebut tidaklah menghalangi mereka untuk membenarkan risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tunduk terhadap syariat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, jika seandainya para setelah diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka masih hidup.

Dengan berdasarkan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا، مَا وَسِعَهُ إِلا أَنْ يَتَّبِعَنِي

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Nabi Musa masih hidup pasti dia akan mengikutiku.” (HR. Ahmad 3/387, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1589)

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik.

            Wallahu a’lam bish shawab..

Penulis: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah

 

Tanya-Jawab

Pertanyaan: Bagaimana hukum darah/ lendir yang keluar sebelum melahirkan padahal rentang waktu sampai dengan melahirkan melewati waktu shalat, apa sudah termasuk nifas?

08523259xxxx

Jawab: Jika hanya keluar lendir ketika menjelang kelahiran maka tidak termasuk nifas sehingga tetap wajib melaksanakan shalat. Berbeda ketika yang keluar berupa darah yang bersamaan dengan rasa sakit karena dekatnya waktu melahirkan maka hal ini termasuk nifas walaupun masih berselang waktu sehari atau dua hari sebelum melahirkan, sehingga tidak lagi melaksanakan shalat. Wallahu a’lam.. (Lihat Fatawa Nur ‘ala ad-Darbi Li al-‘Utsaimin 7/2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button