Siroh

Shafiyyah bintu huyay Hembusan Angin Lembut dari Khaibar

Tatkala embun hidayah membasahi hati yang gersang, menjadi sirnalah duka cita dan kepahitan. Kesejukan hadir mengisi relung hati, menumbuhkan benih keluhuran. Seseorang yang Allah kehendaki menerima hidayah Islam, maka sungguh dia telah meraih kesempatan untuk menjalani kehidupan dengan penuh kebaikan. Demikianlah kiranya takdir yang Allah tetapkan atas seorang hamba, Shafiyyah bintu Huyay. Perjalanan hidupnya ibarat bertaburan intan permata dan menyebarkan wewangian.

Shafiyyah bintu Huyay bin Akhthab an-Nadhiriyyah. Pemilik nasab yang mulia, dari bangsa Bani Israil. Termasuk anak cucu dari garis keturunan Nabi Harun. Ayahnya adalah seorang tokoh Yahudi Bani Nadhir, demikian pula pamannya. Ibunya bernama Barrah bintu Samuel.

Masa kecilnya beliau lalui dalam asuhan keluarga Yahudi di kota Madinah. Hingga Allah persiapkan beliau untuk menerima hidayah Islam. Dalam sebuah kesempatan, Shafiyyah menuturkan tentang sepenggal kisah masa kecilnya.

Shafiyyah kecil, sebelum kedatangan Rasulullah dan para shahabatnya. Tak ada satupun dari anak-anak ayah dan pamannya yang lebih dicintai oleh keduanya daripada Shafiyyah. Setiap kali beliau berjumpa dengan ayah dan pamannya di antara anak-anak mereka yang lain, Shafiyyah pun menyambut keduanya. Maka pastilah mereka berdua mengambil Shafiyyah, bukan selainnya.

Hingga suatu hari, tibalah Rasulullah di Quba’. Berangkatlah Huyay dan Abu Yasir, sang Paman di kegelapan dini hari untuk menemui Nabi. Hingga akhirnya keduanya kembali saat matahari telah tenggelam. Kedua tokoh kaumnya itu datang dalam keadaan lemas. Shafiyyah kecil menyambut ayah dan pamannya sebagaimana yang biasa dilakukannya. Sungguh mengherankan, Shafiyyah tiada dihiraukan oleh keduanya.

Shafiyyah kemudian mendengar Abu Yasir bertanya kepada ayahnya, “Apakah benar dia orangnya?” Berkata Huyay, ”Ya, demi Allah!.” Pembicaraan di antara dua pembesar Yahudi, yang telah sekian lama menanti kedatangan Rasul terakhir. “Apakah engkau mengenalinya dengan sifat dan ciri-cirinya?”, lanjut sang Paman. “Ya, demi Allah!”, jawab Huyay tanpa keraguan. Abu Yasir melanjutkan, “Lalu apa yang ada dalam dirimu?” “Permusuhan terhadapnya, demi Allah, selama hidupku!”, tegas Huyay.

Demikianlah, Shafiyyah menyaksikan betapa ayahnya mengetahui akan kerasulan Muhammad. Bersamaan dengan itu, beliau mendapati pengingkaran ayahnya. Sungguh, kedengkian telah menghalanginya untuk mengimani Muhammad yang Allah pilih dari bangsa Arab, bukan dari bangsa mereka, Yahudi.

Waktu terus berjalan, gadis jelita ini tumbuh dewasa. Seorang wanita yang mengarungi samudera tak bertepi. Shafiyyah akhirnya dinikahi oleh Sallam bin Abil Huqaiq, kemudian sepeninggalnya menjadi istri Kinanah bin Abil Huqaiq. Keduanya termasuk di antara penyair Yahudi sekaligus tokoh kaumnya.

Di malam pengantinnya dengan Kinanah, Shafiyyah bermimpi. Dalam mimpinya, bulan datang dari Yatsrib (Madinah) lalu jatuh di pangkuannya. Dikisahkannya mimpi tersebut kepada Kinanah. Tanpa diduga, dia dengan serta-merta menampar Shafiyyah hingga membekaskan rona kehijauan di wajahnya. “Apakah engkau mendambakan penguasa Yatsrib sebagai suamimu!”, cela Kinanah.

Siapa menyangka, mimpi yang baik itu akan menjadi kenyataan. Tak berselang lama setelah pernikahan mereka, pada peristiwa penaklukan Khaibar, Kinanah terbunuh. Sementara itu, Shafiyyah tertawan sebagaimana para wanita kaumnya.

Sebuah peristiwa besar dalam kehidupan Shafiyyah. Ayahnya telah lebih dulu terbunuh di hadapan Rasulullah pada hari pertempuran dengan Yahudi Bani Quraidzhah. Lalu saat ini, suaminya pun mengalami hal yang sama. Lebih dari itu, Shafiyyah yang selama ini hidup terhormat sebagai seorang putri tokoh Bani Nadhir kini menjadi tawanan. Hitam putih tak lagi berarti. Tak terbayang, goresan-goresan luka begitu menyayat hatinya.

Di hari itu, Bilal membawa Shafiyyah dan seorang wanita lainnya. Dibawanya dua wanita itu mengelilingi mayat-mayat lelaki mereka. Menyaksikan hal tersebut, wanita yang bersama Shafiyyah berteriak-teriak, menampar-nampar wajah dan menaburkan debu ke kepalanya. Sisi yang lain, Shafiyyah tampak lebih tegar.

Tatkala Rasulullah melihat perbuatan wanita Yahudi yang pertama, berkatalah Nabi kepada Bilal, “Telah dicabut belas kasih dari dirimu wahai Bilal, hingga engkau sampai hati membawa dua wanita ini melewati mayat-mayat para lelaki mereka!” Lalu beliau memerintahkan wanita tadi agar dijauhkan.

Betapa banyak manusia yang diuji dengan kegundahgulanaan yang berkepanjangan. Kepiluan justru menutupi kalbunya dari sikap tunduk kepada takdir-Nya.

Setelahnya, Rasulullah memerintahkan agar Shafiyyah didekatkan. Lalu beliau menggiringnya sampai di belakang tubuh beliau, kemudian menutupinya dengan selendang. Para shahabat pun mengetahui bahwa Nabi telah memilih Shafiyyah.

Mulanya, Shafiyyah adalah tawanan yang termasuk pembagian untuk Dihyah al-Kalbi. Namun, dikatakan kepada Rasulullah bahwa hanyalah beliau yang pantas memilikinya. Nabi kemudian memberi ganti kepada Dihyah atas diri Shafiyyah.

Rasulullah seorang yang penuh belas kasih. Demi menyembuhkan duka lara Shafiyyah yang mendalam, beliau pun menikahinya. Sebelumnya, Nabi menawarkan kepada Shafiyyah untuk masuk Islam. Wanita ini pun berislam tanpa merasa berat. Baru kemudian Rasulullah memerdekakannya dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar pernikahan. Pernikahan yang berlangsung tanpa saksi, sebagai kekhususan bagi Rasulullah. Ketika itu Shafiyyah berusia belum genap 17 tahun.

Pada saat itu, Nabi menjadi orang yang paling dibenci oleh Shafiyyah. Lantaran beliau telah membunuh ayah, paman, serta suaminya. Maka Rasulullah dengan penuh kelembutan mengemukakan bahwa ayahnya telah bersekongkol memusuhi islam dan kaum muslimin. Nabi senantiasa menyampaikan sejumlah alasan. Hingga pada akhirnya, amarah pun larut menjadi cinta.

Dalam perjalanan pulang dari Khaibar menuju Madinah, Rasulullah menghabiskan tiga hari mengawali rumah tangga beliau dengan Shafiyyah. Beliau mendapati bekas tamparan di wajah istrinya dan menanyakannya. Shafiyyah pun mengisahkan hal tersebut.

Anas bin Malik mengundang para shahabat untuk menghadiri walimah Rasulullah. Hanya ada kurma, keju, dan mentega tanpa roti ataupun daging. Mereka lalu bertanya-tanya, apakah Shafiyyah ini seorang Ummul Mukminin ataukah budak. Di perjalanan, ternyata Rasulullah membonceng Shafiyyah dan menghijabi beliau. Para shahabat mengetahui dengan itu bahwa beliau adalah istri Nabi.

Akhirnya, sampailah rombongan dari Khaibar tersebut. Setiba di Madinah, Shafiyyah menghadiahkan anting-anting emas yang dipakainya kepada Fathimah dan beberapa wanita yang bersamanya.

Shafiyyah kini berada di tengah rumah tangga nubuwwah. Ketaatan kepada suami telah membingkai kesehariannya sebagai seorang istri salehah. Merajut asa seindah pelangi, seharum bunga kasturi.

Lain halnya dengan sebagian wanita di masa ini. Tak jarang, ia menyakiti suaminya dengan lisan dan perbuatannya. Memercik api, membakar kenangan lama. Perangainya buruk sebanding dengan ketajaman lisannya. Di saat lapang saja ia demikian, terlebih lagi di kala susah.

Bumi yang luas ini terasa sempit dalam benak sang Suami. Siapa gerangan yang berani atas laknat dari Allah?

Dengan membanggakan kecantikan serta kedudukannya, patuh dan tunduk menjelma menjadi dua kata yang tiada guna.

Suatu ketika, Rasulullah menemui Shafiyyah dan mendapatinya sedang menangis. Nabi pun menanyainya. Rupanya, sampai kepada Shafiyyah bahwa ‘Aisyah dan Hafshah berkata tentangnya, “Kami lebih baik dari Shafiyyah. Kami adalah putri-putri paman Rasulullah dan istri-istrinya!”. Mendengar hal itu, Rasulullah menghibur hati sang Istri seraya berkata, “Tidakkah engkau katakan kepada mereka, bagaimana kalian bisa lebih baik dariku, sementara bapakku adalah Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad!”

Demikianlah, kala cemburu melanda. Sesuatu yang lazim terjadi pada setiap wanita. Dalam kenyataannya, sebagian istri belum mampu menyikapi tatkala api cemburu memenuhi sukma. Pelanggaran, pengabaian hak suami, hingga percikan konflik rumah tangga bakal menanti.

Di masa Khalifah ‘Umar, pernah terjadi kedustaan atas diri Shafiyyah. Seorang budak wanita miliknya mendatangi Khalifah dan mengadukan bahwa Shafiyyah masih menyukai hari Sabtu dan menyambung hubungan dengan kaum Yahudi. ‘Umar mengirim utusan, menanyakan hal itu. Berkata Shafiyyah, “Tentang hari Sabtu, aku tidak lagi menyukainya sejak Allah menggantikannya dengan hari Jum’at. Adapun Yahudi, sesungguhnya aku masih memiliki kekerabatan maka akupun menyambungnya.” Shafiyyah lalu bertanya kepada budaknya, “Apa yang membuatmu melakukannya?” Si Budak menjawab, “Setan!” Subhanallah, mendengar jawaban itu, beliau justru membebaskannya.

Inilah Shafiyyah bintu Huyay. Di bulan Ramadhan tahun 50 H, pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Shafiyyah mengembuskan napas terakhirnya. Jenazahnya lalu dikuburkan di Baqi’. Semoga Allah meridhainya.

Para pembaca yang mulia, kecantikan serta kedudukan tidak lain hanyalah kesenangan dalam kehidupan dunia. Tetapi, keduanya bukanlah menjadi segala-segalanya dalam timbangan agama.

Kebahagiaan hanyalah didapatkan dengan amalan kebajikan. Karena, para pemilik kebaikan berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dipertemukan dengan Rasulullah beserta kaum mukminin.

Wallahu Ta’ala a’lam bish showaab

Penulis: Ustadz Muhammad Hadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button