Aqidah

MEWASPADAI PRAKTEK PERDUKUNAN

Buletin Islam AL ILMU Edisi 20/V/IX/1432

Zaman modern dengan laju modernisasi dan perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)nya tidak menjamin bahwa orang yang hidup di dalamnya menjadi modern/ilmiah cara berpikirnya. Bahkan tidak sedikit orang yang mengaku modern yang kehidupan realnya justru jauh dari apa yang mereka elukan. Begitu mudahnya mereka dibodohi tentang hal-hal yang bernuansa gaib. Sebut saja praktek perdukunan yang belakangan ini meruak dengan aneka warna, nama, model dan jenisnya. Tak sedikit dari kalangan modernis dan intelek yang menyambutnya. Janji-janji manis (baca: ramalan) para dukun ternyata telah membuat akal dan kemampuan berpikir mereka tumpul. Apalagi kalangan yang notabene lekat dengan animisme dan dinamisme.

Demikianlah di antara fenomena buruk yang ada pada sebagian masyarakat kita. Kehidupan perdukunan menjadi sesuatu yang biasa padahal di mata agama adalah besar. Para dukun dijadikan sebagai nara sumber bahkan rujukan dalam berbagai masalah kemasyarakatan. Padahal, mereka adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Tak beda dengan kondisi umat di era jahiliah sebelum diutusnya Rasulullah, yang menjadikan para dukun semisal; syiqq, sathih dan selainnya sebagai rujukan dalam berbagai masalah kemasyarakatan. (Lihat An-Nihayah fii Gharibil Hadits, Ibnul Atsir 4/214)

DEFINISI DUKUN

Dukun dalam bahasa Indonesia mempunyai cakupan yang luas. Namun yang dimaukan dalam pembahasan ini adalah orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib atau mengetahui segala bentuk rahasia batin. Di antara ulama ada yang merinci; jika hal-hal yang bersifat ghaib itu berupa kejadian yang akan datang (belum terjadi) maka orang yang mengaku mengetahuinya diistilahkan dengan kahin dan jika hal-hal yang bersifat ghaib itu berupa kejadian yang telah terjadi (seperti tempat barang hilang, dll.) maka orang yang mengaku mengetahuinya diistilahkan dengan ‘arraf. Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau menyatakan bahwa semua yang mengaku mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib atau mengetahui segala bentuk rahasia batin baik yang akan terjadi maupun yang telah terjadi tercakup dalam istilah‘arraf.

Dalam koleksi fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah /Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi 1/393-394, disebutkan bahwa mayoritas dukun adalah orang-orang yang mempelajari ilmu perbintangan (nujum) kemudian dikaitkan dengan berbagai kejadian, atau dengan mempergunakan bantuan jin untuk mencuri berita-berita, dan yang semisal mereka dari orang-orang yang mempergunakan garis di tanah, melihat di cangkir, atau di telapak tangan atau melihat kitab (primbon) untuk mengetahui hal-hal yang ghaib tersebut. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah /Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi 1/393-394)

Al Imam Al Qurthubi berkata: “Barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasulullah, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut.” (Fathul Bari, Al Hafizh  Ibnu Hajar 1/151)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata: “Yang paling banyak terjadi pada umat ini adalah pemberitaan jin kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai peristiwa ghaib di muka bumi ini. Orang yang tidak tahu (proses ini, -pen) menyangka bahwa itu adalah kasyaf dan karamah. Bahkan banyak orang yang tertipu dengannya dan beranggapan bahwa pembawa berita ghaib (dukun, paranormal, orang pintar dll, -pen) tersebut sebagai wali Allah, padahal hakekatnya adalah wali setan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

“Dan (ingatlah) akan suatu hari ketika Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan mereka semua, (dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman): ‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah Engkau tentukan’. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila Allah ‘Azza wa Jalla menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128) (Fathul Majid, hal. 353)

Bahkan jin-jin yang dijadikan narasumber oleh para dukun itu, tak mengetahui perkara ghaib. Allah berfirman:

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghaib tentulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan.” (Saba: 14)

CIRI-CIRI DUKUN

Untuk menilai bahwa seseorang itu adalah dukun terkadang agak kesulitan, mengingat tidak sedikit dari para dukun itu yang tak mau lagi menggunakan gelar dukun. Mereka lebih suka menyebut diri dengan orang pintar, paranormal, tabib atau yang semisalnya.  Berikut  ini ada beberapa ciri dukun yang dapat dijadikan acuan untuk menilainya:

  1. Bertanya kepada si pasien tentang namanya, nama ibunya atau semisalnya.
  2. Meminta barang-barang si sakit baik pakaian, sorban, sapu tangan, kaos, celana, atau sejenisnya dari sesuatu yang biasa dipakai si pasien. Terkadang pula meminta fotonya.
  3. Terkadang meminta hewan dengan sifat tertentu untuk disembelih tanpa menyebut nama Allah, atau dalam rangka untuk diambil darahnya untuk kemudian dilumurkan pada diri pasien atau untuk dibuang ke tempat yang sunyi.
  4. Menulis mantra-mantra atau jampi-jampi yang berbau kesyirikan.
  5. Membaca mantra-mantra atau jampi-jampi (doa-doa) yang tidak jelas.
  6. Memberikan kepada pasien kain, kertas atau sejenisnya yang bergariskan kotak yang di dalamnya terdapat huruf-huruf dan nomor-nomor.
  7. Memerintahkan kepada si pasien untuk menjauh dari manusia beberapa saat tertentu, di sebuah tempat yang gelap yang tidak tersinari matahari.
  8. Meminta kepada si pasien untuk tidak menyentuh air beberapa waktu tertentu, biasanya selama 40 hari.
  9. Memberikan kepada si pasien sesuatu untuk ditanam di dalam tanah.
  10. Memberikan kepada si pasien sesuatu untuk dibakar kemudian tubuhnya diasapi dengannya.
  11. Terkadang mengabarkan kepada si pasien tentang namanya, asal daerahnya, dan problem yang menyebabkan dia datang, padahal belum diberi tahu oleh si pasien.
  12. Menuliskan untuk si pasien huruf-huruf yang terputus-putus baik di kertas atau mangkok putih kemudian menyuruh si pasien untuk menuangkan dan mencampurkan dengan air lantas meminumnya.
  13. Terkadang menampakkan suatu penghinaan kepada agama. Misalnya menyobek tulisan-tulisan ayat Al Qur’an atau menggunakannya pada sesuatu yang hina.
  14. Mayoritas waktunya untuk menyendiri dan menjauh dari manusia, karena dia lebih sering menyepi bersama setannya yang membantu praktek perdukunannya. (Lihat kitab Kaifa tatakhallash minas sihr)

HUKUM PERDUKUNAN

Hukum perdukunan adalah haram. Ia merupakan kesyirikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan sangat bertentangan dengan pokok ketauhidan. Karena adanya unsur menandingi Allah dalam bentuk mengaku mengetahui permasalahan ghaib, yang merupakan kekhususan Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian pula terdapat unsur pendustaan terhadap firman Allah ‘Azza wa Jalla yang berbunyi:

“Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah atau pun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)

“Katakan bahwa tidak ada seorangpun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara ghaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)

Asy Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh menjelaskan bahwa praktek perdukunan sangat bertentangan dengan pokok ketauhidan. Adapun si dukun, maka ia tergolong musyrik kepada Allah Azza wa Jalla, karena tidak mungkin jin berkenan memberitakan kepadanya berbagai permasalahan ghaib melainkan jika dia telah mempersembahkan ibadah kepada jin tersebut. (At Tamhid Lisyarhi Kitabittauhid)

Hukum Mendatangi Dukun

Adapun hukum mendatangi dukun dan bertanya kepadanya, maka para ulama memberikan rincian sebagai berikut:

1)      Mendatangi dukun semata-mata untuk bertanya sesuatu yang ghaib. Ini adalah perkara yang diharamkan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

(( مَنْ أَتَى عَرَّافاً فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً ))

“Barangsiapa mendatangi dukun lalu dia bertanya tentang sesuatu kemudian membenarkan apa yang diucapkan dukun tersebut, tidaklah diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Penetapan adanya ancaman dan siksaan karena bertanya kepada dukun, menunjukkan haramnya perbuatan itu, dan tidaklah datang sebuah ancaman melainkan bila perbuatan itu diharamkan.

2)      Mendatangi mereka lalu bertanya kepada mereka tentang sesuatu yang ghaib dan membenarkan apa yang diucapkan. Ini adalah bentuk kekufuran karena membenarkan dukun dalam perkara ghaib termasuk mendustakan Al Qur`an. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Katakan bahwa tidak ada seorangpun yang ada dilangit dan dibumi mengetahui perkara ghaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)

3)      Mendatangi dukun dan bertanya kepadanya dalam rangka untuk mengujinya, apakah dia benar atau dusta. Hal ini tidak mengapa. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, saat beliau bertanya kepada Ibnu Shayyad:

( إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيْئًا )

“Apa yang aku sembunyikan buatmu?” Ibnu Shayyad berkata: “Ad-dukh (asap).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata:

( اِخْسَأ فَلَنْ تعْدُوَ قَدْرَكَ )

“Diam kamu! Kamu tidak lebih dari seorang dukun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyembunyikan sesuatu dari Ibnu Shayyad dalam rangka mengujinya.

4)      Mendatangi dukun lalu bertanya kepadanya dengan maksud membongkar kedustaan dan kelemahannya. Mengujinya dalam perkara yang memang jelas kedustaan dan kelemahannya. Hal ini dianjurkan bahkan wajib hukumnya. (Al-Qaulul Mufid, Ibnu ‘Utsaimin)

Dari penjelasan tersebut kita bisa mengetahui haramnya mendatangi dan bertanya kepada mereka (dukun) kecuali apa yang dikecualikan dalam masalah ketiga dan keempat (dan inipun khusus bagi mereka yang memang ahli dan mumpuni dalam masalah ini). Sebab dalam mendatangi dan bertanya kepada mereka terdapat padanya kerusakan yang amat besar, yang berakibat mendorong mereka untuk berani mengerjakan praktek perdukunan dan mengakibatkan manusia tertipu dengan mereka, padahal mayoritas mereka datang dengan segala macam bentuk kebatilan. (Al-Qaulul Mufid, Ibnu ‘Utsaimin)

Demikian sekelumit pembahasan tentang perdukunan. Kami nasehatkan kepada kaum muslimin semua, agar bersama-sama menjauhi praktek perdukunan dan yang semisalnya. Saling bahu membahu bersama pemerintah untuk membersihkan negeri ini dari praktek perdukunan yang bisa menyebabkan kekufuran dan kesyirikan. Kami nasehatkan pula bagi mereka yang telah terjatuh di dalamnya serta bagi para dukun dan semisalnya, agar segera bertaubat dan kembali kepada Allah sebelum datang azab-Nya yang pedih, dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. Allahu a’lam.

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button