KEBANGKITAN MANUSIA menuju KEHIDUPAN KEDUA
Menakutkan, itu mungkin kesan yang kita dapati ketika mendengar frasa “hari kiamat”. Kesan tersebut telah begitu melekat dalam benak kita. Memang tidak ada yang salah padanya, hanya saja alangkah baiknya apabila rasa takut itu benar-benar dilandasi pengetahuan akan dahsyatnya kejadian hari kiamat yang didasarkan firman Allah serta sabda Rasul-Nya. Karena dengan itulah rasa takut tadi bukan sekedar menjadi kesan yang terlintas, tidak berbekas pada diri seseorang, namun sebaliknya justru menjadi lecutan untuk mulai beramal dan terus beramal.
Pada edisi yang lalu telah kita lewati pembahasan tentang nama-nama hari kiamat serta sebagian peristiwa-peristiwa yang terjadi padanya sebagaimana yang diberitakan oleh Allah dalam al-Qur`an. Pada edisi ini insyaallah kita akan melengkapi pembahasan tentang kebangkitan manusia dari kuburnya.
Pengingkaran kaum musyrikin terhadap hari kebangkitan
Kebangkitan manusia adalah sesuatu yang wajib diimani oleh seorang muslim. Manusia akan dibangkitkan dan dihidupkan kembali untuk menjalani kehidupannya yang kedua, kehidupan akherat. Akan tetapi perkara keimanan yang penting ini ternyata diingkari oleh kaum musyrikin jahiliyah, di samping mereka memang sama sekali tidak mengimani terjadinya hari kiamat secara keumuman. Allah berfirman artinya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, “Memang, demi Rabbku, benar-benar kalian akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (at-Taghabun: 7)
Pengingkaran mereka ini, didasari logika akal pikiran mereka semata. Allah berfirman menukilkan ucapan mereka, yang artinya, “Apakah setelah kami mati dan menjadi tanah (kami akan kembali lagi)?, itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin.” (Qaaf:3)
Mereka tidak mengetahui tentang kemaha-kuasaan Allah. Segala sesuatu yang Allah kehendaki untuk terjadi, maka Dia dapat mewujudkannya dengan mudah, tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Oleh karena itu dalam al-Qur`an Allah mengajak mereka untuk berpikir lebih jernih bahwa kebangkitan manusia pada hari kiamat sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, justru itu adalah perkara yang sejalan dengan akal pikiran yang lurus. Mari kita sejenak menyimak ayat-ayat yang Allah tujukan kepada kaum musyrikin tersebut.
Allah berfirman artinya, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, mampu untuk menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan) sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Ahqaf: 33)
Kaum musyrikin mengakui bahwa Allahlah yang menciptakan langit dan bumi, Allah berfirman artinya, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab, “Allah”.” (Luqman: 25)
Sedangkan penciptaan langit dan bumi yang demikian luas, teratur dan rumit tentu saja lebih sulit dari penciptaan manusia, maka Dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi sudah barang tentu Dia mampu menciptakan manusia. Allah berfirman artinya,“Sungguh penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ghafir: 57)
Adapun mengembalikan manusia yang sudah mati menjadi utuh seperti semula tentu lebih mudah dari penciptaan manusia pada awal mulanya, dari keadaan tidak ada menjadi ada. Allah berfirman artinya, “Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan (menghidupkan kembali) itu adalah lebih mudah bagi-Nya.” (Rum: 27)
Maka demikianlah hujjah-hujjah (argumen) yang tidak dapat terbantahkan, bahwa kebangkitan bukanlah sesuatu yang di luar kemampuan Allah Sang Pencipta alam semesta.
Proses kebangkitan manusia
Kebangkitan manusia pada hari kiamat tidaklah dimaknakan bahwa Allah menciptakan jasad baru untuk mereka, namun justru jasad manusia yang telah hancur lebur bercampur tanah akan dikembalikan menjadi utuh seperti sedia kala. Allah berfirman artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka” (Qaaf: 4)
Berkata al-Imam al-Qurthuby dalam tafsir ayat tersebut, “Yakni apa-apa yang dimakan tanah dari tubuh-tubuh mereka, maka tidak sedikit pun akan luput dari Kami sehingga Kami tidak mampu mengembalikannya (seperti semula pada hari kiamat).”
Maksudnya, tubuh-tubuh manusia yang telah dimakan oleh tanah tidak sedikitpun akan luput dari Allah, sehingga Dia pasti mampu mengembalikan tubuh-tubuh tersebut seperti semula pada hari kiamat. (lihat Tafsir al-Qurthubi 17/4).
Hakikatnya pada saat manusia dikubur tidak semua bagian tubuh manusia akan hancur dimakan bumi. Ada satu bagian tubuh yang akan terus utuh, yaitu pangkal tulang ekor. Darinya tubuh manusia akan dikembalikan pada hari kiamat. Rasulullah bersabda,
وَلَيْسَ مِنَ الْإِنْسَانِ شَيْئٌ إِلَّا يُبْلَى إِلَّا عَظْمًا وَاحِدًا وَهُوَ عَجْبُ الْذَنَبِ وَمِنْهُ يُرَكَّبُ الْخَلْقُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Dan tidaklah ada sedikit pun dari bagian tubuh manusia kecuali pasti akan hancur, kecuali satu tulang saja, ialah pangkal tulang ekor, darinya (tubuh) manusia akan disusun pada hari kiamat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Pangkal tulang ekor ini adalah bagian pertama yang Allah ciptakan dari manusia, bagian ini pula yang kemudian tersisa dari tubuh manusia sampai hari kiamat di mana tubuhnya akan dikembalikan seutuhnya dari pangkal tulang ekor tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi.
Rasulullah pada hadits yang sama juga menerangkan bagaimana dikembalikannya tubuh manusia, beliau bersabda,
ثُمَّ يُنْزِلُ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيَنْبُتُونَ كَمَا يَنْبُتُ الْبَقْلُ
“(Setelah tiupan sangkakala yang kedua) kemudian Allah akan menurunkan air hujan dari langit, maka mereka pun akan tumbuh seperti tumbuhnya baqal (sejenis sayur)”
Keadaan manusia ketika dibangkitkan dari kuburnya
Ada beberapa hadits Rasulullah yang memberitakan tentang keadaan manusia ketika bangkit dari kuburnya. Di antaranya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (3114) dan dishahihkan oleh asy- Syaikh al-Albani bahwa sahabat Abu Sa’id al-Khudri menjelang kematiannya meminta untuk dibawakan pakaian-pakaian baru lalu ia pun mengenakannya, kemudian beliau berkata, menjelaskan alasan perbuatan beliau tersebut, aku mendengar Rasulullah bersabda,
إِنَّ الْمَيِّتَ يُبْعَثُ فِيْ ثِيَابِهِ الَّتِيْ يَمُوْتُ فِيْهَا
“Sesungguhnya orang yang sudah mati akan dibangkitkan dengan pakaian yang ia kenakan ketika kematiannya”
Pada saat kebangkitan, ada beberapa jenis manusia yang diberitakan oleh Rasulullah bahwa mereka dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sebagaimana saat dia meninggal. Di antaranya adalah seorang yang meninggal dalam keadaan sedang melaksanakan ibadah haji. Pernah pada masa Rasulullah ada seorang yang terjatuh dari unta ketika sedang melaksanakan wuquf di Arafah, kemudian unta tersebut menabraknya sehingga ia meninggal seketika. Maka Rasulullah memerintahkan agar ia dimandikan, dikafani dan beliau melarang untuk memakaikannya minyak wangi dan menutup kepalanya seperti halnya larangan bagi orang yang berihram, lalu beliau menyebutkan alasannya,
فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيُا
“Karena sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah”
Yang dimaksud bertalbiyah yaitu mengucapkan kalimat, labbaikallahumma labbaik …. dst.
Demikian pula seorang yang mati syahid di medan jihad fisabilillah. Rasulullah memerintahkan para shahabat ketika mengurusi jenazah para syuhada yang terbunuh pada peperangan Uhud,
زَمِّلُوْهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ كَلْمٍ يُكْلَمُ فِي اللّٰهِ إِلَّا وَهُوَ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُدْمَى لَوْنُهُ لَوْنُ الدَّمِ وَرِيْحُهُ رِيْحُ الْمِسْكِ
“Selubungi (kafani) mereka dengan (tanpa membersihkan) darah yang ada pada mereka, karena tidak suatu luka pun yang terjadi (di medan jihad) karena Allah kecuali akan datang pada hari kiamat dalam keadaan mengucurkan darah, warnanya warna darah namun baunya aroma misik”
Hikmah dibangkitkannya mereka pada hari kiamat dalam keadaan ini adalah agar menjadi bukti bahwa mereka telah mengorbankan jiwanya dalam menjalankan amalan ketaatan.
Apabila kita mengamati hadits-hadits di atas, maka insyaallah kita akan mendapati suatu titik kesamaan di antara hadits-hadits tersebut, yaitu bahwa setiap orang akan dibangkitkan dalam keadaan yang sama seperti ketika maut menjemputnya. Dan ternyata kesimpulan ini benar adanya, sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadits Jabir bin Abdillah,
يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ
“Setiap hamba akan dibangkitkan sebagaimana keadaannya di saat kematiannya.” (HR. Muslim)
Maka hadits ini memberikan makna yang umum, seluruh manusia, siapa pun ia, akan dibangkitkan sesuai dengan keadaannya ketika meninggal, baik itu dalam keadaan sedang melakukan ketaatan atau sedang bermaksiat.
Nasihat dan peringatan
Dari apa yang kita uraikan di atas, tentu seharusnya seorang muslim menjadi tersadar atas arti penting husnul khatimah (akhir hayat yang baik). Seseorang apabila mendapatkan husnul khatimah maka niscaya dia akan mendapatkan kemuliaan pada hari kiamat dengan dibangkitkan dalam keadaan yang baik itu. Maka sungguh sangat beruntung seseorang yang meninggal dalam keadaan berbuat ketaatan kepada Allah, seperti seorang yang meninggal dalam shalatnya, atau sedang menunaikan umrah, haji atau ibadah-ibadah lainnya. Sebaliknya, seorang muslim juga tentu akan merasa khawatir bahwa hidupnya akan berakhir dengan su’ul khatimah (akhir hayat yang buruk). Bagaimana tidak? Orang yang meninggal dalam keadaan su`ul khatimah akan dibangkitkan dalam keadaan yang buruk tersebut dengan disaksikan oleh para manusia pada hari kiamat. Maka sungguh sangat hina seorang yang menutup kehidupannya dengan amalan kemaksiatan, melanggar syariat Allah dan memperturutkan hawa nafsunya.
Oleh karena itu sudah sepantasnya kita memanfaatkan setiap detik dalam hidup kita untuk senantiasa berbuat ketaatan dan menghindari segala perbuatan kemaksiatan. Karena tidak seorang pun yang tahu kapankah datang ajalnya dan bagaimana ia akan mengakhiri hayatnya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abu Ahmad