Fiqih

Ya Rabbi, Terimalah Kurbanku…

IMG-20141021-WA0006 uploadPara pembaca rahimakumullah.

          Waktu bergulir cepat, tak terasa sebentar lagi kita kan bertemu dengan bulan Dzul Hijjah, yang juga dikenal dengan bulan Haji atau bulan Kurban. Disebut bulan Haji, karena pada bulan inilah kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia, berbondong-bondong memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala, melaksanakan ibadah haji di Makkah al-Mukarramah.

          Disebut bulan Kurban, karena pada bulan inilah tepatnya tangga 10 Dzul Hijjah dan tiga hari setelahnya yaitu hari-hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzul Hijjah), kaum muslimin beramai-ramai menyembelih hewan kurban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di sisi lain sebagai bentuk solidaritas sesama saudara seiman dengan membagi-bagikan daging hewan kurban tersebut kepada mereka. Subhanallah, demikian agungnya syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 Kurban Realisasi Tauhid   

          Kurban adalah suatu ibadah yang besar nilainya disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyerahkan sembelihan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan perwujudan dari kemurnian tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, sembelihanku, matiku dan hidupku hanyalah untuk Rabb (Pencipta, Penguasa dan Pengatur) alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-pertama menyerahkan diri(kepada Allah).” (al-An’am: 162-163)

          Al-Imam as-Sa’di rahimahullah dan para ahli tafsir lainnya menjelaskan makna nusuki pada ayat di atas adalah dzabhi yaitu sembelihanku (kurbanku).

          Dari ayat di atas jelaslah bahwa nusuk (kurban) termasuk jenis ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya ibadah kurban harus ditujukan semata-mata kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ibadah shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya harus ditujukan kepada-Nya semata. Terlebih lagi, ibadah kurban dalam ayat tersebut diiringkan dengan ibadah shalat, maka ini menunjukkan betapa besarnya keutamaan ibadah kurban di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

          Laa syarika lahu (tiada sekutu bagi-Nya), penegasan dari Allah Rabbul ‘alamin bahwa tidak ada sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal penciptaan dan pengaturan alam semesta sehingga tidak ada sekutupula bagi–Nya dalam hal peribadatan. Termasuk menyembelih kurban, maka wajib dipersembahkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’aladan tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya.

          Tak samar lagi, mempersembahkan sembelihan untuk ‘penjaga laut’, ‘penjaga gunung’ atau tempat-tempat yang dikeramatkan merupakan contoh dari praktek kesyirikan, karena telak memperuntukkan sebuah ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bentuk kesyirikan yang nyata. Selain dosa besar bahkan paling besar yang bakal dipikul, ditambah lagi dengan laknat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wal’iyadzubillah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ولَعَنَاللهمَنْذَبَحَلِغَيْرِالله

… dan Allah melaknat barangsiapa yang berkurban untuk selain Allah... (HR. Muslim no. 1978 dan an-Nasa’ai no. 4434)

 Kurban, Syiar Para Nabi Terdahulu

          Ibadah kurban tidak hanya syiar yang disyariatkan bagi umat Islam, bahkan sebagai syiar yang disyariatkan bagi umat-umat terdahulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Dan bagi tiap-tiap umat Kami syariatkan penyembelihan kurban, supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak yang telah direzekikan kepada mereka, maka Rabbmu adalah sesembahan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya,…” (al-Hajj: 34)

          Kita pun ingat akan kisah Nabi Ibrahim ​’alaihi sallam bersama putranya Isma’il. Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji Nabi Ibarhim ‘alaihi sallam dengan ujian yang amat besar, yaitu diperintahkan untuk berkurban putra kesayangannya. Secara manusiawi terasa sulit dan berat untuk dilaksanakan. Tapi kita mendapati sosok Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam dan putranya benar-benar nyata sebagai suri teladan dalam ketundukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kasih sayang-Nya kepada para hamba-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantinya dengan hewan kurban.

          Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga syariat kurban sejak umat terdahulu hingga umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini menunjukkan betapa besar kedudukan ibadah kurban dan betapa ia menjadi syiar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung nan mulia.

          Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan telah Kami jadikan untuk kalian al-Budn (unta-unta) itu sebagian dari syiar Allah, kalian memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kalian menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat), dan apabila telah roboh (mati) maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah al qani’ (orang yang rela dengan apa yang ada padanya/tidak meminta-minta) dan al mu’tar (yang meminta).” (al-Hajj: 36)

          Kata al-Budn pada ayat di atas tidak hanya mencakup unta saja tapi mencakup pula hewan kurban lainnya yaitu sapi, kambing, dan domba. (Lihat Fathur Rabbil Wadud 1/370, karya asy-Syaikh Ahmad an-Najmi rahimahullah)

 Ibadah Kurban, Perintah Allah dan Rasul-Nya

          Kurban, ibadah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Maka shalatlah untuk Rabbmu dan berkurbanlah.” (al-Kautsar: 2)

          Dari shahabat Jundub bin Abdillah al-Bajali radhiyallahu ‘anhum berkata: Aku bertemu Nabi pada hari Iedul Adha, beliau bersabda:

مَنْذَبَحَقَبْلَأَنْيُصَلِّيَفَلْيُعِدمَكَانَهَاأُخْرَىوَمَنْلَمْيَذْبَحْفَلْيَذْبَحْ

“Barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat maka hendaknya dia mengulangi lagi dengan hewan lain yang semisalnya, dan barangsiapa yang belum menyembelih hewan kurban hendaknya dia menyembelih hewan kurban.” (HR. al-Bukhari no. 5242 dan Muslim no. 1960)

          Dari shahabat Mikhnaf bin Sulaim radhiyallahu ‘anhum, beliau bertemu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah pada hari Arafah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

يَاأَيُّهَاالنَّاسُإِنَّعَلَىكُلِّأَهْلِبَيْتٍفِىكُلِّعَامٍأُضْحِيَةًوَعَتِيرَةًأَتَدْرُونَمَاالْعَتِيرَةُهَذِهِالَّتِىيَقُولُالنَّاسُالرَّجَبِيَّةُ

“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap tahunnya “udhiyah” (kurban) dan “atirah”, apakah kalian tahu apa itu “atirah”? inilah yang dikenal oleh manusia “rajabiyah”.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Abu Dawud, hadits dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah)

          Rajabiyah adalah suatu kebiasaan pada zaman jahiliyah di bulan Rajab menyembelih hewan kurban, setelah datang Islam hukumnya mansukh (terhapus), adapun yang tetap berlaku adalah udhiyah menyembelih kurban di bulan Dzul Hijjah. (Lihat Jami’ul Ushul 3/316 karya Ibnul Atsir rahimahullah)

          Dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

مَنْكَانَلَهُسَعَةٌوَلَمْيُضَحِّفَلاَيَقْرَبَنَّمُصَلاَّنَا

“Barangsiapa memiliki kelapangan (rizki) sementara dia tidak berkurban maka jangan sekali kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad no. 8496 dan Ibnu Majah no. 3123, namun para ulama ada yang menyatakannya sebagai hadits marfu’ (pernyataan dari Rasululah shalallahu ‘alaihi wa sallam) di antaranya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, dan ada yang menyatakannya hadits mauquf (pernyataan dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

          Al-Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari shahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

قَسَمَالنَّبِيُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَبَيْنَأَصْحَابِهِضَحَايَا،فَصَارَتْلِعُقْبَةَجَذَعَةٌ،فَقُلْتُ: يَارَسُولَاللهِ،صَارَتْلِيجَذَعَةٌ؟قَالَ: «ضَحِّبِهَا»

“Rasulullah membagi-bagikan hewan-hewan kurban kepada para shahabatnya, maka aku mendapat seekor jadza’ah. Aku berkata: Wahai Rasulullah sekarang aku memilki seekor jadza’ah, lalu Rasulullah bersabda: Berkurbanlah dengannya.”

          Jadza’ah adalah hewan kurban yang telah mencapai umur siap kurban. Domba minimal telah berusia 6 bulan adapun kambing berusia 1 tahun.

 Kurban Lebih Utama Dari Shadaqah

          Berkurban lebih afdhal daripada shadaqah walaupun yang senilai dengan harganya. Karena kurban adalah syiar Islam yang agung dan juga syiar para nabi terdahulu. Kalau seandainya shadaqah yang senilai dengan kurban itu lebih utama niscaya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya baik dengan perkataan atau perbuatannya, demikianlah penjelasan dari para ulama.

          Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Berkurban dengan memperhatikan ketentuannya, lebih utama dari pada shadaqah yang senilai dengannya. (Lihat Ahkam al-Udhhiyah wadz dzakah, karya asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah)

 Hukum Berkurban

          Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, hukum menyembelih hewan kurban adalah sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Mereka berhujjah dengan riwayat Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَادَخَلَتِالْعَشْرُ،وَأَرَادَأَحَدُكُمْأَنْيُضَحِّيَ،فَلَايَمَسَّمِنْشَعْرِهِوَبَشَرِهِشَيْئًا

“Jika masuk 10 Dzul Hijjah dan salah seorang dari kalian berkeinginan menyembelih kurban, maka janganlah dia mengambil (memotong) rambutnya dan kulitnya (termasuk kuku) sedikitpun.” (yakni rambut/kuku dari orang yang berkurban).” (HR. Muslim no. 1977)

          Sisi pendalilannya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan ibadah kurban bagi yang berkehendak. Kalau seandainya wajib maka tidak akan dikaitkan dengan kehendak. Demikianlah sisi tinjauan jumhur ulama kita.

          Walau demikian, ibadah kurban ini senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan dengan meneladani beliau akan mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ampunan dari-Nya.

          Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah, jika kalian benar-benar cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)

          Sebagian ulama ada yang berpendapat wajib. Kalau kita cermati semua dalil-dalil di atas maka pendapat sebagian ulama yang menyatakan wajib (bagi yang mampu) adalah pendapat yang kuat juga. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (23/162-164).

 Berapa hewan kurban untuk satu keluarga?

          Satu keluarga cukup baginya berkurban dengan seekor kambing. Shahabiyah Zainab binti Humaid radhiyallahu ‘anhum berkata:

وَكَانَيُضَحِّيبِالشَّاةِالوَاحِدَةِعَنْجَمِيعِأَهْلِهِ

“Dahulu Rasulullah berkurban dengan seekor kambing untuk seluruh keluarganya.” (HR. al-Bukhari no. 6784)

          Atha’ bin Yasar bertanya kepada shahabat Abu Ayub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu: bagaimana pelaksanaan kurban di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau berkata:

كَانَالرَّجُلُيُضَحِّىبِالشَّاةِعَنْهُوَعَنْأَهْلِبَيْتِهِفَيَأْكُلُونَوَيُطْعِمُونَ

“Dahulu seseorang itu berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya beserta keluarganya, mereka memakan (dari hewan kurban) dan juga memberikan (kepada yang lain).” (HR. at-Tirmidzi no. 1587 dan Ibnu Majah no. 3267)

          Wallahu a’lam bish shawab

Penyusun: Ustadz Arif hafidzahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button