Untuk Apa Kita Diciptakan?
Tujuan hidup manusia sudah jelas Allah Ta’ala terangkan di dalam firman-Nya :
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ} [الذاريات: 56]
“Tidaklah Kami (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56).
Ayat di atas sudah cukup menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia hanyalah satu, yaitu beribadah kepada Allah.
Menurut tata ilmu Bahasa Arab, ayat tersebut mengandung makna hashr (pembatasan). Karena susunan kalimat di awali dengan penafian, “tidaklah Kami menciptakan”, kemudian dikecualikan darinya, “kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Sehingga maknanya, tidak ada tujuan lain Allah menciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk menunaikan ibadah kepada-Nya.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan makna ayat di atas adalah : “hanyalah Aku menciptakan mereka dalam rangka Aku perintahkan mereka untuk beribadah, bukan karena keperluan-Ku terhadap mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Adapun inti dari ibadah itu sendiri adalah mentauhidkan Allah. Sebagaimana para ulama menjelaskan, bahwa makna “beribadah kepada-Ku” adalah mentauhidkan-Ku. Mentauhidkan Allah, maknanya menjadikan Allah satu-satunya yang diibadahi bukan selain-Nya.
Ibadah kepada Allah bukan semata-mata berkaitan dengan hubungan kita dengan Allah dalam wujud ibadah sehari-hari seperti: shalat, puasa, dan haji saja. Akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Jika kita mampu mengorientasikan hidup kita dalam rangka ibadah, maka kegiatan sehari-hari kita pun bisa bernilai ibadah.
Contohnya, seorang yang bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal ini bisa bernilai ibadah, jika diniatkan untuk menaati perintah Allah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sallam pernah berpesan kepada Sa’ad bin Abi Waqash,
«إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ»
“Sungguh, tidaklah kamu memberi nafkah dalam rangka untuk mencari wajah Allah kecuali kamu akan mendapat pahala karenanya, sampaipun makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘alaih).
Hal-hal yang lumrah sekalipun bisa berbuah pahala, hanya saja terkadang kita lalai meniatkannya untuk ibadah. Suatu ketika para shahabat pernah bertanya kepada Rasulullah tentang jimak (menggauli istri),
يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟
“Apakah jika salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya kemudian mendapat pahala karenanya?”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,
«أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ»
“Bukankah jika ia melampiaskannya kepada yang haram maka ia akan mendapat dosa? Demikian sebaliknya, jika dilampiaskan kepada yang halal maka akan berbuah pahala.” (HR. Muslim).
Jika seorang berhasil mengaplikasikan ibadah pada seluruh kegiatan hidupnya, maka itulah tujuan ia diciptakan. Oleh karena itu Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan, bahwa kunci keberhasilan ada tiga : jika seorang diberi nikmat maka bersyukur; jika ditimpa bencana maka bersabar; dan jika terjatuh dalam dosa maka beristighfar. (al-Wabil ash-Shayib).
Dengan demikian kehidupan seseorang akan penuh dengan ibadah. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang mampu merealisasikan tujuan hidup kita di dunia.