Siroh

Fathimah az-Zahra’ Sekuntum Bunga dari Kota Makkah

     Fathima Az Zahra

          Wanita ini lebih dikenal dengan sebutan az-Zahra’ (Sekuntum Bunga). Tak berlebihan, karena keshalihannya memancar layaknya sekuntum bunga yang merekah di tengah teriknya Jazirah Arab. Begitu jelas terlihat pesona keindahan pada kebaikan akhlaknya. Beliaulah Fathimah bintu Rasulullah al-Qurasyiyah al-Hasyimiyah. Ibunya adalah Khadijah bintu Khuwailid.

          Sifat-sifat mulia yang lekat pada pribadinya, menjadikannya wanita yang demikian anggun. Sosok yang penyabar, taat beragama, murah hati, dan menjaga kehormatan dirinya. Seorang istri yang qana’ah lagi pandai bersyukur.

          Dilahirkan beberapa waktu sebelum sang Ayah diangkat sebagai nabi. Tatkala itu, kaum Quraisy sedang memperbaiki Ka’bah. Beliau lebih muda dari dua saudarinya, Zainab dan Ruqayyah.

          Di usia lima belas tahun lebih, ketika beliau beranjak dewasa, datanglah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu kepada sang Ayah hendak meminangnya. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu duduk di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terdiam dan tak berbuat apa-apa. Sungguh ‘Ali radhiyallahu ‘anhu tak kuasa berbicara lantaran agungnya kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga bertanyalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, “Apa yang membuatmu datang, apakah ada keperluan?.” ‘Ali terdiam. “Sepertinya engkau datang untuk meminang Fathimah? Ali mengiyakan hal itu. Beliau radhiyallahu ‘anhu datang meminang dalam keadaan tak memiliki sesuatupun sebagai mahar. Hanya bersandar kepada kebaikan hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

          Di bulan Dzulqa’dah dua tahun setelah perang Badr, akhirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenikahkan mereka dengan mahar sebuah baju besi yang dahulu pernah diberikan Rasul kepada ‘Ali. Demikian teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberikan kemudahan pada pernikahan putrinya dengan mahar yang ringan, hanya senilai empat dirham saja.

          Berlangsung pula walimah pernikahan Fathimah radhiyallahu ‘anha yang penuh berkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal  radhiyallahu ‘anhu untuk menyiapkan seekor kambing dan lima mud (+ 3 kg) tepung yang dihidangkan di sebuah nampan besar. Diundanglah kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Tatkala Bilal radhiyallahu ‘anhu membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menusuk di bagian atasnya lalu meniup dan menjadikan barokah padanya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan agar para shahabat berkumpul di masjid, dengan cara kelompok yang satu bersusulan dengan kelompok berikutnya tanpa jeda waktu. Seusai mereka menikmati hidangan tersebut, kembali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniup dan menjadikan barokah padanya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berikutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal radhiyallahu ‘anhu agar  menghidangkannya bagi kaum wanita.

          Dalam perjalanan rumah tangga mereka, lahirlah anak-anak dari rahim Fathimah. Hasan, Husain, Muhsin yang meninggal ketika kecil, Ummu Kultsum dan Zainab. Mulanya, ‘Ali menamai Hasan dengan Hamzah dan Husain dengan Ja’far. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti nama keduanya. Ketika Fathimah radhiyallahu ‘anha melahirkan Hasan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mencukur rambut sang Bayi, kemudian menyedekahkan perak seberat timbangan rambut tersebut. Hal serupa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika lahir Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum.

          Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menyayangi dan memuliakan Fathimah radhiyallahu ‘anha. Begitu nyata kasih sayang dan perhatian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap putrinya ini. Dan Fathimah radhiyallahu ‘anha sendiri memiliki banyak kemiripan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dari gaya berbicara hingga cara berjalannya.

          Apabila Fathimah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui sang Ayah, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit berdiri, menciumnya, dan menyambutnya. Demikian pula yang dilakukan Fathimah terhadap ayahnya.

          Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah demikian marah. Ketika itu sampai kepada beliau kabar tentang keinginan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu untuk meminang putri Abu Jahl. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dan putri musuh Allah. Dan sungguh Fathimah itu adalah bagian dariku. Menyenangkanku apa yang menyenangkannya, dan menyakitiku apa yang menyakitinya.”

          ‘Ali radhiyallahu ‘anhu pun mengurungkan keinginannya demi menjaga perasaan putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidaklah ‘Ali memadu Fathimah, tidak pula memiliki budak wanita. Di kemudian hari, ketika Fathimah telah wafat, barulah beliau menikahi wanita-wanita dan memiliki budak. Tercatat di akhir hayatnya, ‘Ali radhiyallahu ‘anhu meninggalkan empat orang istri dan sembilan belas budak wanita. Dan seluruh keturunan ‘Ali berjumlah 14 anak laki-laki dan 17 anak perempuan.

          Pada kali yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi rumah Fathimah di malam hari, lalu membangunkan putri dan menantunya ini agar keduanya bangun dan menegakkan shalat malam.

          Demikianlah kedekatan dan perhatian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap keduanya. Dalam kesempatan yang lain, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka pada perang Uhud, Fathimah radhiyallahu ‘anha membasuh luka beliau sementara ‘Ali yang menuangkan air. Namun, hal ini justru menambah banyak darah yang mengalir. Maka Fathimah mengambil  sehelai tikar, membakarnya, dan melekatkan abunya pada luka beliau hingga darah berhenti mengalir.

          Dalam kehidupan rumah tangga, demikian mulia keteladanan az-Zahra’ yang senantiasa menunaikan tanggung jawab sebagai seorang istri dalam melayani suami. Kesabaran dan sifat qana’ah mengiringi kepayahan dan keletihan hari-harinya.

          Seorang diri beliau radhiyallahu ‘anha menjalankan alat penggiling tepung, hingga pekerjaan ini membuat kedua telapak tangannya menebal kasar dan pecah-pecah. Beliau radhiyallahu ‘anha pula menimba air dari sumur, lalu memanggul geriba air guna memberi minum unta di kandangnya, hingga hal ini meninggalkan bekas di lehernya. Selain itu, Fathimah menyapu lantai rumahnya sampai berdebu pakaian-pakaian beliau. Bahkan, kulit wajah beliau berubah karena panasnya tungku perapian untuk membuat roti. Bersamaan dengan itu, beliau dengan tekun membesarkan, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Subhanallah.

          Gambaran kehidupan seorang istri yang shalihah. Merasa cukup dengan pemberian suami, jauh dari sikap terlalu menuntut suami agar membantu pekerjaannya. Atau, malah membebankan banyak pekerjaan rumah kepada suami. Sementara itu, istri justru sibuk dengan beragam alat kecantikan dan kawan-kawan dekatnya.

          Suatu ketika, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan sejumlah tawanan. Demi mengetahui besarnya kepayahan sang Istri, ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menyuruh Fathimah meminta seorang pembantu dari sang Ayah. Berangkatlah Fathimah hendak menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sesampainya di sana, beliau mendapati kerumunan manusia. Beliau pun urung menyampaikan niatnya. Keesokan harinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi putrinya dan menanyainya. Fathimah radhiyallahu ‘anha begitu malu menyampaikan maksudnya, hanya terdiam. Berbicaralah ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengutarakan  perihal kepayahan yang ditanggung sang Istri sekaligus maksud kedatangannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

          Begitu mulia akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau belum bisa memenuhi permintaan itu karena lebih mengutamakan kaum muslimin daripada putrinya sendiri. Bersamaan dengan itu, beliau bimbing putrinya kepada hal yang lebih baik.

          “Bertakwalah kepada Allah, wahai Fathimah, dan tunaikanlah kewajiban terhadap Rabbmu, serta kerjakanlah pekerjaan rumahmu”, nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Fathimah. Lalu beliau mengajarkan lafazh-lafazh dzikir agar dibaca ketika Fathimah berbaring hendak tidur. Tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali. “Seratus kalimat ini lebih baik bagimu daripada seorang pembantu”, pesan sang Ayah. Menjawablah Fathimah dengan ketulusan hatinya, “Aku ridha terhadap Allah dan terhadap Rasulullah.”

          Sebuah faedah ilmu didapatkan Fathimah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pembicaraan lirih  di penghujung waktu kehidupan sang Ayah. Ketika itu seluruh istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul. Datanglah Fathimah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kala itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambutnya, mendudukkannya, kemudian membisikkan kabar tentang dekatnya kematian beliau. Menangislah Fathimah radhiyallahu ‘anha karenanya. Kembali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membisikinya. Sebuah kabar sekaligus ungkapan tentang kemuliaan Fathimah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliaulah yang pertama kali akan menyusul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari keluarganya dan beliau adalah pemuka kaum wanita di Jannah-Nya. Fathimah pun  tertawa.

          Hingga akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, menangislah Fathimah. Dalam kesedihannya beliau berkata, “Duhai ayahku, kepada Jibril kami mengabarkan kepergiannya! Duhai ayahku, dia penuhi panggilan Rabbnya! Duhai ayahku, Jannah Firdaus tempat kembalinya!”

          Setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan, Fathimah radhiyallahu ‘anha kembali mengungkapkan kesedihannya, “Wahai Anas, bagaimana kalian bisa menimbunkan tanah atas diri Rasulullah?”

          Demikianlah, perpisahan menjadi suatu hal yang menyaputkan kesedihan. Kedua mata meneteskan air mata, namun hati senantiasa menerima segala ketentuan yang digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

          Sekitar enam bulan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba saatnya Fathimah radhiyallahu ‘anha meninggal dunia. Ketika sakit sebelum wafatnya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu datang meminta izin bertemu. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menyampaikan kedatangan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Berkatalah Fathimah kepada sang Suami, “Apakah engkau suka jika aku mengizinkannya?” ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengiyakannya hingga Fathimah radhiyallahu ‘anha mengizinkan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu masuk rumahnya. Begitulah Fathimah, mengamalkan sunnah hingga di penghujung hayatnya. Beliau radhiyallahu ‘anha tidak pernah mengizinkan seorang pun masuk ke rumah kecuali dengan izin suami.

          Demikianlah hendaknya seorang istri. Tidak pula dia keluar dari rumah kecuali dengan izin dari suaminya. Bukan malah bepergian sekehendaknya sendiri hingga membuat kecemasan suami terhadap keselamatan diri dan agamanya. Selalu terlintas dalam benaknya, bahwasanya suami adalah nakhoda bahtera rumah tangganya.

          Pada hari Selasa, 3 Ramadhan tahun 11 H, Fathimah az-Zahra’ radhiyallahu ‘anha menghadap Rabbnya, di usia 24 tahun lebih. Jenazah beliau dimandikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Asma’ bintu ‘Umais.

          Beliau radhiyallahu ‘anha lalu dimakamkan pada malam hari. ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib mengimami shalat jenazahnya. Adapun yang turun ke liang kuburnya adalah ‘Ali, ‘Abbas, dan  Fadhl bin ‘Abbas.

          Kepergiannya menyisakan kesedihan bagi orang-orang yang mencintai kebaikan dan pemiliknya.  Kerinduan meliputi hati-hati yang terpukau akan keshalihannya. Beliau telah pergi, namun keteladanannya akan terus memancar dalam kehidupan setiap wanita muslimah. Duhai, sekuntum bunga dari kota Makkah.

          Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Muhammad Hadihafizhahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button