Fiqih

Shalat Sunnah Rawatib

Edisi: 28 || 1440H
Tema: Fikih

بسم الله لرّحمان الرّحيم

Para pembaca rahimakumullah, pada edisi yang lalu kita telah membahas tentang keutamaan shalat-shalat sunnah. Di antaranya, shalat sunnah bisa menjadi penyempurna pahala shalat fardhu, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam (artinya),

“Sesungguhnya amalan manusia yang akan dihisab pertama kali pada hari kiamat adalah shalat. Allah ta’ala berfirman kepada malaikat, -dan Dia lebih mengetahui-, ‘Lihatlah shalat hamba-Ku apakah sempurna ataukah kurang? Jika sempurna maka akan dicatat sempurna.

Namun jika ada sesuatu yang kurang maka lihatlah apakah hamba-Ku mengerjakan shalat sunnah? Jika dia mengerjakan shalat sunnahnya’.” (HR. Ahmad no. 9494, Abu Dawud no. 864, at-Tirmidzi no. 413 dan yang lainnya dari shahabat Abu Hurairah radhiallahuanhu)

Pada edisi kali ini, kita akan membahas tentang salah satu dari ragam shalat sunnah, yaitu shalat sunnah rawatib.
Para pembaca rahimakumullah, kata rawatib (رواتب) merupakan bentuk jamak dari kata ratibah (راتبة) yang bermakna senantiasa/rutin.

Adapun yang dimaksud shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang senantiasa mengiringi shalat fardhu lima waktu, baik dikerjakan sebelum ataupun sesudahnya. Disebut rawatib karena bersifat rutin setiap hari.

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

Di antara hadits yang menyebutkan keutamaan shalat sunnah rawatib adalah sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam,

مامن عبد مسلم يصلي الله كلّ يوم ثنتي عشرة ركعة تطوّعا, غير فريضة,إلّا بنى الله له بيتا في الجنّة

“Tidaklah seorang muslim mengerjakan shalat sunnah ikhlas karena Allah setiap hari 12 rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728, dari shahabiyah Ummu Habibah radhiallahuanha)

12 rakaat yang disebutkan pada hadits ini diperjelas rinciannya dalam hadits lain. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,

من ثابر على ثنتى عشرة ركعة من السّنّة بنى الله له بيتا في الجنّة أربع ركعات قبل الظّهر وركعتين بعدها وركعتين بعد المغرب وركعتين بعد العشاء وركعتين قبل الفجر

“Barangsiapa yang senantiasa melakukan shalat sunnah 12 rakaat maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga. (Yaitu) 4 rakaat sebelum shalat zhuhur, 2 rakaat setelah shalat zhuhur, 2 rakaat setelah shalat maghrib, 2 rakaat setelah shalat isya’ dan 2 rakaat sebelum shalat shubuh.” (HR. at-Tirmidzi no. 416 dan yang lainnya)

Dalam hadits yang lain disebutkan tentang keutamaan shalat sunnah rawatib shubuh dan zhuhur. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,

ركعتا الفجر خير من الدّنيا وما فيها

“Dua rakaat shalat sunnah sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 1721 dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahuanha)

Tentang keutamaan shalat sunnah rawatib zhuhur, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,

من حافظ على أرنع ركعات قبل الظّهر وأربع بعدها حرّمه الله تعالى على النّار

“Barangsiapa yang menjaga empat rakaat shalat sunnah sebelum shalat zhuhur dan empat rakaat setelah shalat zhuhur maka Allah mengharamkan baginya api neraka.” (HR. Abu Dawud no. 1271, an-Nasa’i no. 1815, dan at-Tirmidzi no. 430 dari shahabiyah Ummu Habibah bintu Abi Sufyan radhiallahuanha)

Satu Hari Satu Rumah

Para pembaca rahimakumullah, asy-Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah balasan berupa sebuah rumah di surga ini diperoleh dengan melaksanakan shalat rawatib 12 rakaat secara berkesinambungan?

Apakah yang mengerjakannya tidak secara terus menerus juga bisa mendapatkan keutamaannya?” Beliau rahimahullah menjawab, “Yang nampak dari hadits tersebut, bahwa seseorang akan dibangunkan sebuah rumah di surga oleh Allah ta’ala meskipun hanya mengerjakan satu kali.

Jika dia mengerjakan di hari berikutnya, maka akan dibangunkan rumah yang lain dan seterusnya. Kebaikan Allah ta’ala amatlah luas akan tetapi wajib bagi seseorang untuk tidak terlena dengan pahala yang diraih dari amalan ini, hendaknya dia juga memperhatikan balasan dari perbuatan jelek yang mungkin dia perbuat.

Bisa jadi perbuatannya jeleknya menjadi penghapusan dari pahala amalan shalat sunnah ini. Penimbangan amalan hamba mesti terjadi nanti pada hari kiamat. Allah ta’ala berfirman (artinya),

“Kami akan memasang timbangan yang adil pada hari kiamat.” (al-Anbiya: 47)

Jangan sampai seseorang menyatakan, ‘Kalau begitu akan dibangunkan bagiku rumah yang banyak di surga.’ Kebaikan Allah ta’ala amatlah luas. Luas surga seluas langit dan bumi.

Akan tetapi bersemangatlah untuk meninggalkan segala hal yang dilarang oleh Allah ta’ala sehingga nanti saat ditimbang pada hari kiamat amalan kejelekanmu tidak mengalahkan amalan kebaikanmu. Karena jika amalan kebaikannya yang unggul maka dia menjadi ahlul jannah (penghuni surga).

Namun jika amalan kejelekannya yang unggul maka dia menjadi ahlun-nar (penghuni neraka) yang kemudian dia akan diadzab dengan kehendak Allah lalu diselamatkan oleh Allah ta’ala. Kecuali jika dari awal Allah ta’ala mengampuninya, maka dia tidak akan diadzab.

Adapun orang yang amalan kebaikannya seimbang dengan amalan kejelekannya maka dia termasuk ahlul a’raf yang berdiri di tempat yang tinggi memperhatikan neraka dan surga. Namun nanti pada akhirnya mereka akan masuk surga.” (lihat Liqa’ al-Bab al-Maftuh, [86/19])

Mengqadha’ Shalat Rawatib

Bagi yang terluput atau terlewatkan dari mengerjakan shalat sunnah rawatib maka diperbolehkan baginya untuk mengqadha’ shalat rawatib yang terlewatkan tersebut. Diperbolehkan untuk diqadha’ dengan syarat bahwa terlewatkannya disebabkan adanya udzur syar’i seperti: lupa, tertidur, atau tersibukkan dengan sesuatu yang lebih penting yang menyebabkan dirinya terluput atau terlewatkan mengerjakannya.

Misalkan: seseorang yang terlewatkan shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat shubuh karena terlambat bangun, maka tidak mengapa baginya untuk mengerjakan shalat sunnah tersebut setelah dia mengerjakan shalat shubuh.

Adapun bagi yang sengaja meninggalkan shalat rawatib hingga habis waktunya maka tidak diperkenankan baginya untuk mengqadha’ shalat tersebut.

Di antara dalil yang menjelaskan tentang diperbolehkannya mengqadha’ shalat rawatib yang terlewatkan adalah kisah shahabat Qais bin Qahd radhiallahuanhu.

Disebutkan bahwa Qais radhiallahuanhu shalat shubuh bersama Rasulullah shalallahu’alaihi wasalllam dalam kondisi dia belum sempat shalat sunnah dua rakaat. Tatkala Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam salam, dia pun salam lalu berdiri mengerjakan shalat sunnah dua rakaat yang terlewatkan sebelumnya.

Kemudian Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya (artinya), “Apakah engkau mengerjakan shalat fardhu dua kali dalam satu waktu?” Maka Qais radhiallahuanhu menjawab, “Sesungguhnya aku belum mengerjakan shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat shubuh.” Mendengar jawaban Qais tersebut Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam berkata, “Tidak mengapa bagimu untuk mengerjakannya.” (HR. at-Tirmidzi no. 422)

Dalil yang lain adalah kisah dari Ummu Salamah radhiallahuanha bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam mengqadha’ shalat sunnah dua rakaat setelah shalat zhuhur pada waktu setelah shalat ashar.

Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya telah datang kepadaku rombongan orang dari Abdul Qais untuk menyatakan keislaman kaum mereka sehingga aku tersibukkan dan tidak sempat mengerjakan shalat sunnah dua rakaat setelah shalat zhuhur. Maka yang aku kerjakan sekarang ini adalah dua rakaat tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834)

Juga sebagai dalil adalah keumuman sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam,

من نسي صلاة, أونام عنها,فكفّارتهاأن يصلّيها إذا ذكرها

“Barangsiapa yang lupa dari satu shalat atau tertidur maka kafarahnya adalah segera mengerjakannya saat dia ingat.” (HR. Muslim no. 684)

Shalat Sunnah di Rumah

Para pembaca rahimakumullah, yang paling utama (afdhal) adalah mengerjakan shalat sunnah di rumah. Di antara dalil yang menjelaskan tentang hal ini adalah kisah para shahabat radhiallahuanhum yang ikut shalat malam bersama Nabi shalallahu’alaihi wasallam pada bulan ramadhan.

Saat Rasulullah mengetahui tentang hal ini di hari berikutnya, beliau tidak shalat. Beliau menemui mereka seraya berkata,

قدعرفت الّذي رأيت من صنيعكم, فصلّوا أيّها النّاس في بيوتكم,فإنّ أفضل الصّلاة صلاة المرءفي بيته إلّاالمكتوبة

” Aku mengetahui apa yang aku lihat dari yang kalian lakukan. Wahai sekalian manusia, hendaklah kalian shalat di rumah masing-masing karena sebaik-baik shalat adalah shalatnya seseorang di rumahnya sendiri, kecuali shalat fardhu.” (HR. al-Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781)

Juga ucapan Ummul Mukminin Aisyah radhiallahuanha (artinya), “Dahulu Rasulullah shalat empat rakaat sebelum shalat zhuhur di rumahku lalu keluar untuk shalat bersama manusia. Kemudian beliau pulang ke rumahku lalu mengerjakan dua rakaat shalat sunnah.” (HR. Muslim no. 730)

Para ulama menyebutkan beberapa hikmah mengerjakan shalat sunnah di rumah, di antaranya:

1. Yang demikian ini lebih terjauhkan dari sifat riya’ dan ujub serta dalam rangka tidak menampakkan amalan di hadapan manusia.

2. Yang demikian ini pula bisa menjadi sebab kesempurnaan khusyuk dan keikhalasan.

3. Dalam rangka menghidupkan rumah dengan dzikrullah dan shalat yang dengannya akan turun rahmat bagi penghuninya dan terjauhkan dari syaithan.

Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,

اجعلوا في بيوتكم من صلاتكم ولا تتّخذوهاقبورا

“Jadikanlah (kerjakanlah) shalat di rumah kalian dan janganlah kalian jadikan seperti kuburan.” (HR. al-Bukhari no. 432 dan Muslim no. 777 dari shahabat Abdullah bin Umar radhiallahuanhu)

Wallahu a’lam bishshawab. Semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button